Wednesday 27 September 2017

Hikayat Seorang Santri Bodoh

Usiaku lima belas tahun waktu itu. Saat aku terbuang ke Madura. Ya, di sebuah pesantren Al-Amien inilah aku harus bersemedi. Tak tanggung-tanggung. Empat tahun harus aku tempuh tanpa melihat seragam abu-abu di luar. Padahal, aku sangat benci pesantren. Apalagi kalau bukan sistem pendidikannya yang kolot dan terbelakang. Tak satupun kudapati sosok inspiratif yang menyuruhku masuk pesantren. Kecuali orang tua. Bagiku, sudah seharusnya, sebuah fase pencarian jati diri berada di luar. Bersama kawan sekelas mencorat-coret seragam, merayakan kelulusan SMA. Sayangnya, keinginan tersebut harus sirna. Dan semenjak itu, aku merasa Tuhan tak lagi ada
Masa-masa awal menyantri, tentu bukanlah hari yang menggembirakan. Selain cuaca Madura yang lebih panas dibandingkan kampung halaman, kerudung yang kukenakan juga menambah riuh cuaca. Aku tak pernah memakai kerudung sebelumnya. Tak pernah. Pakaianku setiap hari, hanya celana dan kaos pendek. Jauh dari kesan muslimah apalagi sebagai sosok yang saliha. Jadilah aku harus beradaptasi dengan menggunakan kerudung kemanapun pergi. Kecuali di dalam kamar dan kamar mandi.
Selain itu, aku kesulitan dalam pelajaran imla’. Aku sangat benci pelajaran ini. Sebenarnya, pelajaran semacam dikte sewaktu Sekolah Dasar ini, amatlah mudah. Apa susahnya menulis kalimat yang diucapkan pengajar. Hanya saja, kalimat-kalimat tersebut berbahasa Arab. Dan aku, selalu berhasil celingak-celinguk tak karuan. Tak tahu cara menulisnya. Memang, aku bisa sedikit mengaji. Tetapi menulis kalimat yang terdiri dari huruf-huruf hijaiyah, belum pernah aku lakukan. Alhasil, seluruh kalimat yang aku tulis tak memiliki spasi. Bak rimbun rerumputan saja. Bagaimana mungkin tulisanku memiliki jarak antar kata, sedangkan aku sendiri tak paham dimana seharusnya spasi itu diletakkan dan apa pula maksud dari kalimat tersebut. Parahnya, pelajaran ini berlangsung dua kali dalam seminggu ditambah pelajaran yang berbau bahasa Arab lainnya yang dalam sehari notabene berlangsung dua sampai empat mata pelajaran.
Tentu keadaan ini yang membuatku tak kerasan. Berbagai macam keinginan sempat muncul di dalam benak. Termasuk niat untuk kabur dari pesantren. Apa susahnya keluar tengah malam sedangkan uang ada. Hanya membulatkan tekad untuk keluar dari ‘penjara suci’ ini. Sayangnya, bukan persoalan tekad yang membuatku ciut kala itu, tapi wajah kedua orang tua yang pasti kecewa sebab aku kalah oleh keadaan.
Ah, andai kau tau kawan, betapa tersiksanya berdiam diri di dalam penjara suci dengan beban pikiran yang melebihi muatan. Kepala terasa sesak. Tak ada jalan berpikir. Aku merasa kalah gara-gara pelajaran. Bahkan aku sering berdiri di dalam kelas serta menjadi bahan tawa kawan-kawan yang lain sebab susah menghafal mahfudzot tetapi cepat pula menghilang. Pernah pula aku disuruh keluar ruangan sebab tak setor hafalan. Aku benar-benar merasa Tuhan sengaja mempermainkanku saat itu.
Terkadang pula, aku bertanya pada diri sendiri, mengapa Tuhan memberikan jalan hidup yang sama sekali tak ada dalam daftar cerita hidup yang kurangkai. Sungguh aku tak bisa menerka keinginan Tuhan kala itu. Aku hanya bisa bertanya tanpa pernah kutemui jawaban. Seakan alam pun tak mau memberi alasan mengapa Pencipta Semesta melemparku ke dalam keterpurukan.
Sungguh, menjadi orang bodoh dan ditertawakan itu amat menyakitkan. Hingga suatu sore, aku teringat percakapan dengan salah seorang ustadzah. Namanya, ustadzah Fatma. Beliau memanggilku tatkala masih dalam masa syu’bah. Tak diduga, beliau bertanya mengenai bela diri yang kutekuni sebelum menyantri.
Ah, saat itu aku merasa berbeda. Terasa ada celah dalam jalan gelap. Aku tak tau, darimana ustadzah mendapati kabar tentang pencak silat ini. Yang jelas, aku tak mau tau sebab tak ada gunanya. Yang kubutuhkan saat itu, adalah sebuah cerita baru. Sebuah cerita akan hidup setiap manusia yang berbeda-beda dan memiliki tantangan sesuai kodratnya. Hingga akhirnya, aku berhasil menjadi alumni dari sebuah pesantren. Dari sebuah lembaga, yang jauh dari kesan kolot dan terbelakang. Tak seperti anggapanku pada awal mondok dulu. Barangkali, manusia itu akan jadi lebih baik dengan berhijrah. Bukan karena aku merasa menjadi orang baik, tapi hakekat hijrah itu sendiri yang akan menyediakan perubahan.

Sunday 16 July 2017

Saatnya Membangun Kurikulum Keberagaman Gender


Sebagai negara yang memiliki ribuan pulau, Indonesia memiliki kekayaan yang amat melimpah. Baik kekayaan alam bahkan sumber daya manusia. Berbagai suku dan ras juga tersedia. Mulai dari ujung Banda Aceh sampai tanah Papua, semua memiliki tradisi berbeda dan disatukan dengan Bhineka Tunggal Ika.
Beruntung, semua perbedaan tersebut dapat melebur dan tak memecah belah bangsa. Kendati demikian, tak semua persoalan dapat diatasi dengan mudah. Salah satunya terkait kedudukan gender dan seksualitas seseorang.
Sebagai makhluk sosial yang selalu berinteraksi sesama insan, gesekan antar individu atau bahkan kelompok sering terjadi. Anggapan masyarakat tentang seorang yang memiliki kecenderungan gender yang tak seperti pada umumnya, akan menghasilkan suatu pandangan yang kurang pantas didengungkan.
Saat seseorang lelaki lebih condong bersikap seperti perempuan yang di dalam bahasa Madura disebut sebagai Banduh, atau seorang perempuan yang bertingkah layakanya lelaki, maka masyarakat akan mudah memberikan stigma negatif terhadap mereka. Tanpa ampun dan tanpa pengertian.
Disadari atau tidak, seseorang yang memiliki kecenderungan seksualitas yang berbeda, seringkali dianggap sebagai sampah di dalam masyarakat. Padahal, kecenderungan seksualitas ini timbul dari diri pribadi yang sampai sekarang tak ditemukan penyebabnya.
Sebagian ilmuwan mengklaim jika lelaki yang berperangai layaknya perempuan ataupun sebaliknya, diakibatkan oleh gen yang ada di dalam tubuh. Sebagian lain menjelaskan bahwa kecenderungan ini diakibatkan oleh sebuah penyakit. Sedang sebagian yang lain menyatakan bahwa faktor lingkungan semisal kekerasan seksual sewaktu kecil yang membuatnya bersikap tak seperti orang normal.
Sayangnya, perbagai spekulasi di atas tak mampu meredam amuk pandangan orang-orang. Masyarakat masih senantiasa memandang mereka dengan tatapan nyinyir. Kendati Indonesia adalah bangsa yang beradab yang mengutamakan sopan santun dalam bertingkah dan bertutur sapa, nyatanya, anggapan mereka terhadap sekelompok minoritas ini masih tak berubah.
Terlepas dari sebagian mereka yang memilih sebagai LGBT, penulis melihat bahwa toleransi terhadap seorang yang memiliki kecenderungan gender yang berbeda sangatlah rendah. Tentu hal ini harus diberantas sedini mungkin. Salah satunya dengan membentuk kurikulum keberagaman gender.
Sebagai satu-satunya alat yang memadai, guna menumbuhkan kesadaran bahwa orang yang memiliki gender yang berbeda juga memiliki hak sebagaimana orang normal lainnya, tentu pendidikan mampu menjadi transportasi yang dapat menjangkau seluruh elemen masyarakat. Dengan adanya kurikulum ini, sejak dini, anak didik akan dikenalkan dengan adanya kelompok minoritas ini. Sehingga, mereka akan lebih menghargai dengan perbedaan yang ada di sekitar.

Untuk itu, kurikulum ini perlu dibentuk. Mengingat, keberadaan kelompok minoritas ini terkadang terpaksa menutup diri sebab label yang diberikan masyarakat sangat terasa berat.

Mereka Juga Manusia!



Menjadi manusia normal, tentu impian setiap manusia yang lahir di dunia. Jika tak percaya, tanyakan kepada mereka yang tuna netra, tentu mereka menginginkan sepasang mata agar bisa merasakan siang dan malam. Bagi mereka yang terlahir cacat fisik, tentu mereka menginginkan anggota tubuhnya lengkap seperti manusia yang lain. Pun begitu dengan mereka yang memiliki kecondongan seksual yang berbeda, tentu jauh dalam hati sanubarinya terbesit keinginan agar memiliki ketertarikan terhadap lawan jenis. Sayang, semua yang ada sudah menjadi kuasa dari Sang Maha Kuasa.
Parahnya, orang yang mengalami perbedaan daya tarik seksualitas ini, rentan akan cemoohan masyarakat. Penampilannya yang tak biasa, menimbulkan teori labeling yang terus melekat bahkan sampai dia meninggal. Sungguh, seandainya disodorkan sebuah pertanyaan, tentu orang ini akan meminta agar Tuhan tak melahirkannya saja ke dunia daripada terlahir namun dengan fitrah yang berbeda. Sebab, orang tuna netra ataupun cacat fisik dapat dinilai dari luar, namun seorang yang menderita batin seumur hidup akan menderita sampai ajal menjemput.
Bukan tak mungkin pula, selama hidup, manusia yang memiliki orientasi seksualitas sesama jenis ini mengalami tekanan batin yang diperoleh dari masyarakat. Tak jarang, bagi mereka yang takut menampakkan diri, terpaksa mengelabui jati diri yang sebenarnya. Tentu, sebuah manipulasi yang terpaksa dilakukan dengan tujuan agar tak dihina masyarakat setempat.
Sejujurnya, segala sesuatu yang terjadi merupakan takdir Tuhan. Termasuk orientasi seksual yang dialami segelintir orang ini. Jika didalami lebih lanjut, menyukai seseorang merupakan fitrah Tuhan termasuk yang dirasakan mereka. Namun, agama jelas melarang hubungan sesama jenis sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab suci agama Islam. Dari sinilah kita melihat bahwa menyukai sesama jenis itu merupakan fitrah Tuhan, hanya saja Ia memiliki cara dalam menguji hambaNya. LGBT adalah sebuah pilihan bukan sebagai takdir. Takdir hanya berpihak pada rasa suka, namun menolak terhadap tindakan selanjutnya yaitu berhubungan dengan sesama jenis apalagi sampai terlibat LGBT.
Lantas, hanya satu cara yang perlu dilakukan oleh mereka yang merasa memiliki orientasi berbeda, yakni mendekatkan diri pada Tuhan. Itu saja. Apapun agamanya. Tak peduli dia pencopet atau pembunuh, dekatkan saja dengan Yang Di Atas. Sebab dia Yang Maha Bisa Segalanya. Tuhan bisa serta merta mengganti fitrah rasa suka sesama jenis menjadi suka lawan jenis dalam satu detik. Hal ini tak sulit bagiNya. Namun, jika Tuhan tak berkehendak, tentu Ia memiliki maksud sendiri dalam menguji makhlukNya yang bernama manusia ini.
Untuk itu, mari saling mengunci mulut dan hati. Mereka yang merasakan pebedaan dalam orientasi seksualnya, justru merasakan tekanan batin sepanjang dia hidup. Orang miskin jelas terlihat penderitaannya dalam mencari uang. Tetapi seorang yang menderita batin, akan terpaksa bersembunyi dan tak bakalan membuka diri. Kecuali, bagi mereka yang dengan terang-terangan menjalin LGBT.
Sekali lagi, LGBT adalah pilihan, tetapi rasa suka terhadap siapapun itu merupakan fitrah Tuhan. Jika Anda termasuk dari seorang yang memiliki orientasi seksual sesama jenis, alangkah baiknya dekatkan diri pada Tuhan. Sebab kepadaNyalah semuanya kembali. Percayalah. Segala beban yang Anda pikul selama ini, akan terasa ringan jika Anda nyaman bercerita denganNya. Barangkali pula, sempat Anda terbesit untuk melakukan bunuh diri akibat menanggung beban hidup. Sekali lagi, dekatkan diri pada Tuhan. Hanya ini jalan satu-satunya yang terbuka lebar agar Anda memahami mengapa Ia berkenan menciptakan Anda di dunia dengan segala cobaan hidup seperti ini.
Saya tak mau menyebut bahwa kelainan semacam ini disebut suatu penyakit layaknya beberapa pakar dan ulama yang menyebutnya demikian. Tetapi, saya lebih nyaman menyebutnya sebagai cobaan hidup yang akan diderita seumur hidup. Yang harus dijalani, apapun yang terjadi.

Terakhir, saya juga tak mau bersikap sok suci dengan mengajak lebih dekat dengan Tuhan. Namun, kepada siapa lagi kita akan bercerita kalau bukan denganNya? Sedang manusia sendiri banyak yang mencibir.

Sunday 9 October 2016

Antara Ahok dan Al-Maidah Ayat 51


Siapa yang patut disalahkan? 
Akhir-akhir ini, saya melihat propaganda politik kian miris. Bahkan, embel-embel agama, diusung lebih jauh lagi. Salah satunya, kutipan ucapan Ahok terkait surat Al-Maidah ayat 51.
Sebelum menelisik lebih jauh, alangkah baiknya saya tegaskan di awal. Tulisan saya berikutnya, terlahir bukan untuk membela pak Ahok, atau sebaliknya, untuk menyerang pak Ahok. Bukan. Bukan seperti itu maksud saya menulis seperti ini.
Adakalanya, tulisan saya terlahir dari sebuah kegelian tatkala melihat hebohnya perpolitikan, sekalipun saya tak memiliki pengetahuan apa-apa terkait tafsir Al-Qur’an. Jangankan ahli tafsir, sebagai makhluk Tuhan saja saya tak becus melakukan segala titah-Nya.
Begini, terjemahan surat Al-Maidah ayat 51 itu menyatakan, bahwa terdapat larangan untuk memilih orang-orang Nashrani dan Yahudi untuk dijadikan pemimpin. Adapun kata kunci dari segala perdebatan yang ada sekarang ini, terdapat di dalam satu kata: أولياء
Awliya’ jamak dari kata wali. Kata awliya’ sendiri diartikan sebagai pemimpin. Apa hanya memiliki satu arti yakni pemimpin? Tentu, sekali lagi saya bukan ahli bahasa Arab yang mengetahui segala arti bentuk bahasa. Hanya saja, saya melihat penjelasan dari ahlinya. Salah satunya, dari ahli tafsir Quraisy Shihab. Beliau mengatakan, kata awliya’ tidak hanya memiliki arti pemimpin, tetapi bermacam-macam.
Saya pun tergelitik untuk menelusuri lebih jauh lagi. Saya buka kitab suci terjemahan saya, mushaf.... edisi wanita dengan penerbit...... Ternyata benar. Di dalam mushaf saya, kata awliya’ tidak diartikan sebagai pemimpin, melainkan sebagai teman setia. Jadilah, ayat 51 tadi memiliki arti seperti ini:
Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan orang Yahudi dan Nashrani sebagai teman setia(mu)....................................”
Lihat! Di dalam mushaf saya, kata awliya’ tidak diartikan sebagai pemimpin. Lantas, saya beranjak ke Al-Qur’an terjemahan yang lain dengan penerbit yang berbeda. Ternyata, Benar! Awliya’ diartikan sebagai pemimpin. Jadilah terjemahan ayat 51 seperti ini:
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan orang Yahudi dan Nashrani sebagai pemimpin-pemimpin........................................”
Ternyata, apa yang diungkapkan Quraisy Shihab memang benar. Kata awliya’ tidak memiliki satu arti yakni pemimpin, tapi lebih dari satu arti.
Lantas, timbullah pertanyaan kembali. Jika diartikan sebagai teman setia, berarti ada larangan sebagai umat muslim untuk berkawan selain orang non muslim? Mari kita lihat terjemahan al-qur’an yang lain.
Kali ini, dua al-qur’an dengan penerbit yang sama, dengan judul mushaf yang berbeda. Di dalam kedua kitab suci ini, rupanya kata awliya’ diartikan seperti mushaf saya yakni, sebagai teman setia. Hanya saja, terdapat sebuah footnote yang memberikan penjelasan terkait asbabun nuzul dari ayat 51.
Ubaidah bin Shamit berkata, "Abdullah bin Ubay bin Salul (tokoh munafik madinah) dan saya, terikat oleh suatu perjanjian untuk saling membela dengan kelompok Yahudi bani Qainuqa. Ketika bani Qainuqa berperang melawan Rasulullah, Abdullah bin Ubay tidak mau melibatkan diri dan saya berangkat menuju Rasulullah, hendak membersihkan diri dari ikatan perjanjian tersebut dan hendak menggabungkan diri dengan rasulullah serta menyatakan tunduk hanya kepada allah dan rasulNya. Maka, turunlah ayat ini.
Melihat sejarah turunnya ayat 51, jelas, terdapat satu konteks dilarangnya seorang muslim untuk berkawan setia dengan orang kafir dengan kategori ia sampai melebur dan tidak ada lagi perbedaan serta keyakinannya. Konteks inilah yang dilarang. Artinya, terdapat satu persoalan seorang muslim dilarang berkawan dekat dengan non muslim, jika menyangkut perubahan keyakinan di dalam dirinya. Sedangkan, dalam konteks yang lain, semisal yang dicontohkan oleh Quraisy Shihab yakni jika ada pilihan antara pilot pesawat yang pandai namun kafir dengan pilot kurang pandai yang Muslim atau contoh lain, antara dokter kafir yang kaya pengalaman dan dokter Muslim tapi minim pengalaman, dalam hal ini, tidak ada larangan untuk bersahabat dengan non muslim.
Kembali kepada kata awliya’ di atas, setelah melihat empat al-qur’an tadi, dengan terjemahan kata awliya’ yang tidak sama, lantas, siapakah yang patut disalahkan?
Tak ada yang salah. Sebab kata awliya’ memang memiliki arti lebih dari satu. Hanya saja, saya sedikit miris, tatkala ayat suci yang notabene menjadi pemersatu, justru dijadikan propaganda kekuasaan.
Saran saya, setidaknya regulasi di Kemenag atau MUI, hendaknya memiliki satu pedoman dalam menerjemahkan al-qur’an dengan syarat menggandeng seluruh penerbit Al-qur’an. Saya memang tidak mengetahui bagaimana regulasi saat ini, dan saya tidak mau menyalahkan Kemenag atas asumsi saya hanya berdasar empat al-qur’an terjemahan yang saya lihat sebelumnya.
Tetapi, dengan adanya satu pedoman terkait penerjemahan al-qur’an, barangkali disertai dengan asbabun nuzul bagi ayat-ayat yang memang sangat diperlukan untuk dijelaskan agar tidak memecah persatuan, tentu hal ini sangat bermanfaat ke depannya. Tentu, bukan berarti, selama ini bahasa Indonesia yang ada di semua Al-Qur’an terjemahan salah total. Hanya saja, diperlukan satu metode dalam upaya menerjemahkan kita suci umat Islam ini agar tidak menimbulkan konflik sesuai perkembangan bahasa Indonesia.
Lantas, jika dikaitkan dengan judul di atas, antara Ahok dan Al-Maidah ayat 51, menurut hemat saya, sudah terlanjur banyak tulisan, serta komentar-komentar antar seorang dengan yang lain. Dalam hal ini, bukan kapasitas saya untuk menafsirkan ayat 51. Adakalanya kita serahkan kepada sang ahli tafsir, sekalipun antar ahli tasfir sendiri tidak semuanya memiliki satu pandangan yang sama. Jika hal ini terjadi, dibutuhkan sikap intelektualitas dalam diri kita, untuk menyikapi perbedaan tanpa adanya perpercahan.
Sekali lagi, terdapat ayat-ayat suci Al-Qur’an, yang tidak serta merta dapat kita pahami hanya secara tekstual, melainkan harus dilihat ke arah kontekstual. Salah satunya, dengan mengetahui asbabun nuzul dari ayat yang dimaksud. Pun dengan mengetahui sejarah turunnya ayat suci yang kita maksud, tidak serta merta dapat kita pahami secara utuh. Adakalanya, kita membutuhkan seorang ahli tafsir untuk memberikan gambaran, bagaimana ayat suci tadi diturunkan, lalu dihubungkan dengan kehidupan manusia saat ini. Dalam hal inilah, dibutuhkan sikap intelektualitas.
Kembali kepada video pak Ahok, terlepas apakah kita melihat video tersebut secara utuh, atau setengah-tengah, terlepas dari siapa yang mendukung dan mencaci pak Ahok, terlepas dari siapa yang menyatakan diri sebagai yang paling benar dengan argumen masing-masing, saya hanya bisa mengatakan, demokrasi memang terkadang mendatangkan kampanye hitam. Menyerang lawan demi kekuasaan. Hanya saja, jangan gunakan ayat suci sebagai tujuan mencapai kekuasaan.
Jika memang benar pak Ahok menistakan ayat suci, biarkan ranah hukum yang menyelesaikan. Jika yang diserang pak Ahok bukanlah ayat suci melainkan orang-orang yang menggunakan ayat suci ini sebagai propaganda politik, silahkan dibawa ke ranah hukum. Toh, siapapun yang terbukti, entah pak Ahok atau orang-orang yang menggunakan ayat suci sebagai propaganda politik lalu memfitnahnya, dapat dihukum asal terbukti bersalah. Itu saja.



Sunday 31 July 2016

Petuah Juk Tuah

Dimuat di Radar Jember Tanggal 24 Juli 2016



Galah yang jauh lebih jangkung dari tubuhku, masih terus kugenggam. Bambu tempat pengait tembakau ini agak berat memang. Akan terasa ringan saat dibawa lari. Tentu ujung bambu yang di belakang tak boleh terangkat. Supaya ikut terseret.
Seperti sore ini. Banyak galah ikut berlari. Mengejar layangan yang kalah bertarung di langit sana. Sepertinya, angin tak seribut hari kemarin. Mengamuk saat banyak layangan tengah sibuk berjuang pertahankan kekuatan senar. Tak apa. Bagiku sama saja. Aku bukan petarung layangan yang harus kecewa saat angin tak bersahabat. Aku hanya sekedar pengejar layangan. Bahagia bila ada layangan putus lalu menyangkut di dahan pohon. Kaki ini akan berlari secepat mungkin, berlomba dengan kawan lain. Sambil membawa galah yang ujungnya telah dikaitkan reranting kecil, untuk menggulung sisa senar layangan yang tengah tersangkut.
“Har, sudah banyakkah layangannya?”
“Belum, Rus. Masih enam.”
“Oh, buatku saja, ya?”
            Tak sulit Rustam menemuiku di bukit Juk Tuah ini. Selain cerita angkernya, ada sebuah kuburan di puncak bukit. Tak ada yang berani melewati kuburan tadi apalagi mengejar layangan. Termasuk aku. Hanya saja, aku sering berada di bawah kaki bukit. Meramal ujung lintasan yang akan dilewati layangan.
            “Eh, itu ada yang putus,” gumam Rustam
Ya, sebuah layangan melintas tepat di atas kepala. Angin membawanya lebih jauh. Layangan tadi menukik ke bawah perlahan. Kuseret kaki meliuk-liuk diantara semak rerumputan. Menaiki bukit bersama galah yang turut kuseret. Sementara tangan kiri, memegangi saku celana yang mengeluarkan gemerincing logam.
Benar dugaanku. Layangan tadi menyangkut di atas pohon rambutan. Galah yang sudah terpasang reranting, kujulurkan ke atas. Ah, sial. Tubuhku terlalu kecil meski memakai galah yang lebih jangkung. Ujung senar layangan yang melambai-lambai, tak bisa kugulung. Terpaksa kedua kaki harus menjinjit di atas sebongkah batu yang dilumuti lumut. Agak licin memang.
“Anak nakal. Apa kau tak lihat, batu yang kau injak itu nisan Juk Tuah?” ibu mengawali kemarahannya sambil menenteng telinga kananku.
Kulihat batu yang telah kuinjak. Sial. Ada satu batu lagi di bawah pohon rambutan. Membentuk sebuah ukuran kuburan.
“Bukankah sudah kukatakan berkali-kali. Jangan pernah main kesini. Kau tak takut biibih membawa lari dan tak kembalikan tubuhmu ke dunia ini?” omelan ibu meluncur lebih lanjut. Kupegangi lengannya lebih erat. Cerita biibih telah menjadi legenda turun temurun di kampungku. Sosok dari dunia lain yang membawa lari anak kecil ke dalam dunia gaib. Beberapa waktu lalu, Anai tetanggaku yang bermain sendiri di belakang rumah, tiba-tiba hilang tak ada kabar. Semua penduduk di kampung ikut mencari. Di sungai, di bukit Juk Tuah, tetap tak ada. Hingga adzan maghrib, warga menemukan tubuh Anai tak sadarkan diri di tengah rimbun bambu dekat sungai. Setelah siuman, ia tak menangis. Bahkan bertanya akan sosok yang membawanya terbang selepas adzan tadi siang.
“Harusnya kau itu belajar. Tak usah mengejar layangan sampai ke bukit sana. Dahulu saja tak ada yang berani lewati bukit itu. Bapakmu meninggal sedari kuburan itu, Har. Ia tak sengaja mengencingi batu nisan Juk Tuah. Kuburan itu memang angker. Juk Tuah bukan orang sembarangan. Hari lahir dan meninggalnya sama. Jum’at Kliwon.” Dan Seterusnya, seterusnya. Ah, betapa seringnya ibu mengulang cerita ini.
***
“Jangan lagi kau tanyakan yang lain. Tak ada yang pantas untuk diingat, selain kenangan yang mengenaskan,” lirih ibuku. Lalu kembali berpaling mengambil tembakau. Mengaitkannya ke atas ghelengan.
            “Mengapa aku tak boleh mengingatnya?”
            “Sebab, kau akan memiliki amarah seperti ibumu ini.”
            “Tapi, aku anaknya, Bu. Apa salahnya aku mengingat orang tuaku sendiri?”
            “Ehar!” sergah ibu tiba-tiba. “Tak cukupkah ceritaku tentang bapakmu? Ia mati setelah mengencingi batu nisan Juk Tuah. Kuburan itu bukan sembarang kuburan. Itu kuburan keramat.”
            Ada sedikit amarah diantara keriput wajah ibu. Sambil terus menata ghelengan, mata ibu tetap bersungut.
            “Kalau kau hanya ingin bertanya tentang bapakmu, lebih baik tak usah bantu. Aku bisa kerjakan sendiri,” ucap ibu kembali.
            Aku memandangnya lekat. Pergi dari hadapan Ibu. Membiarkannya terus bekerja. Menata tembakau milik kepala desa.
            Tiba-tiba saja ada seorang lelaki mendekati ibu. Lelaki separuh baya itu terlihat menyeramkan. Kumisnya lebat melengkung ke atas. Matanya terlihat menaruh hati-hati. Aku tak pernah melihat lelaki itu sebelumnya. Kulihat Ibu terperangah melihat sosok lelaki yang berpakaian serba hitam itu. Telunjuknya mengarah ke sebuah rimbun bambu di ujung pekarangan Wak Buto.
            Aku yang masih duduk di bawah pohon sawo, menguntit langkah keduanya. Wajah ibu terlihat sedikit gusar. Lebih gusar dari amarahnya tadi.
            “Apa yang kau lakukan di sini, Pardi?”
            “Sudah waktunya aku kesini. Sudah waktunya pula Ehar harus tau tentang semuanya.”
            “Takkan kubiarkan Ehar pergi. Dia anakku. Aku yang melahirkannya.”
            “Ya, aku mengerti, Yati. Tapi, ini hukum kita. Sudah waktunya kau harus ceritakan semua. Tak kasiankah kau melihat anakmu dijauhi orang-orang?”
            “Tak mungkin aku berikan Ehar pada mereka. Aku ibunya. Biarkan saja adat seperti ini. Tak ada yang bisa memisahkan darah ibu pada anaknya, sekalipun kepercayaan orang-orang tak bisa diubah.”
            Bibir ibu bergetar. Matanya tersirat menyimpan amarah yang begitu besar.
            “Yati, kau harus relakan anakmu. Ini jalan satu-satunya agar ia bisa diterima masyarakat. Lagi pula, tak ada cara lain menangkal tolak bala ini. Tidakkah kau ingat, saat Ripin diamuk orang-orang malam itu?”
            “Sudah, cukup! Aku tak lagi mau mendengar cerita itu. Ripin sudah mati. Ehar dan aku sudah cukup bahagia disini.”
            “Tidak, Yati. Kau harus mengingat malam Jum’at Kliwon itu. Saat suamimu diamuk orang-orang sebab menggali kuburan Juk Tuah dan mengambil tulang-belulangnya sebagai jimat. Kau harus ingat itu, Yati. Dan anakmu, Ehar. Harus menanggung apa yang Ripin perbuat.”
            Darahku seakan berhenti mengalir. Kulihat mata ibu berair.
            “Ehar sudah dewasa. Sudah waktunya ia tinggalkan pulau Jawa. Suatu hari nanti, kalau hukuman itu sudah selesai, aku yakin ia akan kembali menemuimu.”
            “Kau pikir, dua puluh tahun itu tak lama, Pardi? Aku yang mengandungnya sembilan bulan. Aku pula yang merawatnya saat Ripin mati diamuk orang-orang. Aku pula yang bekerja agar ia makan. Dan sekarang, kau bilang kepercayaan seperti itu harus kuturuti? Hidup macam apa ini, Pardi? Hidup macam apa?”
            Tak ada jawaban dari sosok lelaki itu. Bibirnya diam mematung. Begitupun ibu. Tangisnya semakin menjadi. Gemerisik sampah yang kuinjak, membuat keduanya terperangah. Kutemui ibu yang tak menyangka keberadaanku.
            “Aku akan pergi, Bu. Bersamamu.”




Tuesday 24 May 2016

Catatan Sepintas; Tentang Batu, Sungai dan Semangat




Ini kawan saya, Krishna Waty. Tetapi lebih sering dipanggil Waty. Salah seorang kawan ngaji saya sewaktu kecil. Saya berhutang budi banyak kepada sahabat yang agak jangkung dan kurus ini.

Bukan apa-apa, saya selalu merasa, setiap saya bertemu dengan seseorang terutama yang saya kenal, saya akan memiliki hutang budi kepada mereka semua. Terlepas, apakah orang tersebut tidak suka kepada saya sendiri, saya akan tetap memiliki hutang budi kepada mereka. Selalu.

Kembali kepada sahabat saya ini, biasanya, sewaktu pergi mencuci piring-piring kotor ke sungai, kami tak langsung mencucinya. Melainkan, akan mencari ikan terlebih dahulu. Terutama, sahabat saya ini sangat bersemangat.

Kami akan segera membuat bendungan. Batu-batu akan dijejer mengeliling, sampai terbentuk Lumbang kecil yang biasanya ikan menyusup ke dalamnya. Lalu ikan akan ditangkap dengan wadah selametan yang sejatinya harus kami cuci. Kalaulah tak ada, kami akan bersama-sama menangkap dengan kedua belah tangan. Ada yang bertugas menjaga pintu masuk, ada pula anak yang mengobrak-abrik di dalam lumbang.
Sempat kami kewalahan hanya untuk menangkap seekor ikan Mas. Kecil tetapi gesit. Bahkan sampai suara tarhim di masjid berkumandang, saya dan Waty tetap berusaha menangkap ikan ini. Beruntung sebagian kawan kami telah selesai mencuci semua peralatan. Dan kami berdua, masih terus berjibaku di dalam lumbang. Tak putus asa. Hingga akhirnya, ikan tadi dapat kami tangkap sewaktu semua anak beranjak kembali ke langgar. Dan ikan pun kami bungkus dengan sampah plastik. Lalu kami taruh di kamar mandi guru ngaji.

Atau, di lain waktu, sahabat saya ini mengajarkan saya melemparkan batu yang bisa berjalan di atas sungai. Saya terperangah, sewaktu melihat pemandangan ini. Batu ini bisa berjalan, sampai tiga bahkan lima lompatan di atas sungai. Pada intinya, saya diajarkan untuk memilih batu yang berbentuk agak pipih agar mudah bisa berjalan. Selanjutnya, jangan dilempar seperti orang membuang sampah, melainkan batu harus terletak diantara ibu jari dan telunjuk, lalu lemparlah dengan gaya jemari menyamping ke atas permukaan sungai. Perlu diingat. Jangan sembarang melempar. Harus dilihat arus terlebih dahulu. Jangan dilempar ke atas sungai yang berarus deras. Tetapi, lemparlah ke atas sungai yang tenang. Tidak ada arus. Ini memudahkan batu dapat berjalan di atas air.

Agak sulit bagi saya sewaktu pertama kali mencoba. Berulang kali saya mencari batu lalu melempar. Tak ada yang bisa. Hanya menghasilkan bunyi, plung. Batu tenggelam tanpa sempat berjalan. Begitu berulang-ulang. Akhirnya, entah kesekian kalinya, saya berhasil.

Sungguh, saya teramat bahagia melihat batu yang saya lempar, ternyata berjalan di atas air meski hanya satu dan dua lompatan. Tak ada yang bisa menandingi kebahagian saya waktu itu. Dan inilah salah satu alasan mengapa saya memiliki hutang budi kepada Waty, yang saya sendiri meyakini, takkan bisa dibayar oleh apapun.

Tuturan Sopir Sore Ini



Jujur saja, semenjak kelas 3 Sekolah Dasar, saya baru mengenal sosok yang bernama ‘sopir’. Bukan apa-apa, nyatanya mulai usia 9 tahun itulah, untuk pertama kalinya saya naik angkot seorang diri. Maklum saja, jarak antara rumah dan sekolah terpaut agak jauh. Sedangkan kedua orang tua saya mesti bekerja di sawah. Akhirnyalah, saya pergi sekolah seorang diri. Bahkan, semenjak TK, saya sudah naik becak tanpa diantar apalagi ditunggu orang tua di sekolah. Eits, tunggu dulu. Pengayuh becak sudah disewa ibu saya, untuk antar jemput tentunya. Dan ini berlangsung sampai kelas 2 Sekolah Dasar.
Yah, terkadang saya bertanya mengapa saya tak pernah ditunggu orang tua di sekolah, seperti sebagian besar teman saya. Ah, tak apalah. Toh, saya tak menangis dan memiliki banyak teman yang menghantarkan banyak persoalan yang mesti diselesaikan.
Terkait sopir tadi, khususnya saat Sekolah Menengah Pertama, saya memiliki sopir langganan khusus teman-teman saya yang sejalur. Lek Kadim namanya. Jangan pernah tanyakan bagaimana kebaikannya, sebab sampai sekarang, saya belum pernah menemukan sopir pengganti ini.
Menginjak perantauan saya ke Bumi Djauhari, saya juga mengenal beberapa sopir bus Damri. Ya, setiap pergi-pulang, saya akan menumpang bus pemerintah ini. Sempat di akhir perjalanan pulang saya sewaktu menyantri, sopir ini tiba-tiba bercerita terkait profesi yang digeluti. Ia merasa miris terkait anggapan orang-orang. Maklum saja, sebagian besar menilai sopir memiliki perilaku buruk. Baik karena ugal-ugalan, bekerja sama dengan pencopet, bahkan wanita. Dan sopir yang bercerita kepada saya itu, berusaha untuk mengembalikan pandangan orang-orang dengan sebaik mungkin melayani penumpang. Hasil perbuatan yang dilakukannya memang tak seberapa. Tetapi ia tak pernah menyerah. Setidaknya, ia bisa mengembalikan spirit pengemudi kepada banyak penumpang melalui pelayanan yang ia berikan.
Sedangkan sopir yang akan saya ceritakan kali ini, tak ubahnya sopir bus Damri waktu lalu. Kemarin, saya turut mengantarkan orang tua berobat dengan menyewa sopir angkot yang menjadi langganan keluarga. Kebetulan, masih terdapat seorang penumpang yang hendak turun di terminal desa. Mengetahui kendaraan yang ditumpangi melewati rumahnya, penumpang tersebut meminta menumpang kembali dan urung turun di terminal.
Anda tau, sopir langganan keluarga saya ini justru menolak dengan halus sembari menjelaskan kalaulah ia menuruti permintaan penumpang ini, justru ia mengambil hak sopir lain. Sebab, di terminal telah banyak para sopir angkot yang akan mengangkut penumpang menuju kota.
Aii, alangkah indahnya saling menghargai yang ada diantara sopir. Saya tak banyak menemukan sopir yang bertabiat seperti ini. Yang saya lihat, justru sopir akan setuju dan menurunkan penumpang di tempat yang dikehendaki. Tetapi, sore kemarin memberikan saya pelajaran. Agar saya mampu melihat seluruh insan yang saya temui setiap hari dengan penuh pandangan positif. Terlepas bagaimana tabi’at sebenarnya. Seperti penumpang yang akhirnya turun di terminal bukan di kota seperti yang ia minta. Dan anda tau, ternyata, penumpang tadi membawa satu ranjang dan sekarung penuh berisi pakaian, yang ia jajakan ke rumah-rumah warga di pelosok desa yang jauh dari tempat kelahiran saya.

12 Mei 2016
07.55
Dua insan dalam satu pengamatan
Manusia dikaruniai dua mata, dua telinga, dan satu mulut.

Hikayat Seorang Santri Bodoh

Usiaku lima belas tahun waktu itu. Saat aku terbuang ke Madura. Ya, di sebuah pesantren Al-Amien inilah aku harus bersemedi. Tak tanggung...