Sunday 9 October 2016

Antara Ahok dan Al-Maidah Ayat 51


Siapa yang patut disalahkan? 
Akhir-akhir ini, saya melihat propaganda politik kian miris. Bahkan, embel-embel agama, diusung lebih jauh lagi. Salah satunya, kutipan ucapan Ahok terkait surat Al-Maidah ayat 51.
Sebelum menelisik lebih jauh, alangkah baiknya saya tegaskan di awal. Tulisan saya berikutnya, terlahir bukan untuk membela pak Ahok, atau sebaliknya, untuk menyerang pak Ahok. Bukan. Bukan seperti itu maksud saya menulis seperti ini.
Adakalanya, tulisan saya terlahir dari sebuah kegelian tatkala melihat hebohnya perpolitikan, sekalipun saya tak memiliki pengetahuan apa-apa terkait tafsir Al-Qur’an. Jangankan ahli tafsir, sebagai makhluk Tuhan saja saya tak becus melakukan segala titah-Nya.
Begini, terjemahan surat Al-Maidah ayat 51 itu menyatakan, bahwa terdapat larangan untuk memilih orang-orang Nashrani dan Yahudi untuk dijadikan pemimpin. Adapun kata kunci dari segala perdebatan yang ada sekarang ini, terdapat di dalam satu kata: أولياء
Awliya’ jamak dari kata wali. Kata awliya’ sendiri diartikan sebagai pemimpin. Apa hanya memiliki satu arti yakni pemimpin? Tentu, sekali lagi saya bukan ahli bahasa Arab yang mengetahui segala arti bentuk bahasa. Hanya saja, saya melihat penjelasan dari ahlinya. Salah satunya, dari ahli tafsir Quraisy Shihab. Beliau mengatakan, kata awliya’ tidak hanya memiliki arti pemimpin, tetapi bermacam-macam.
Saya pun tergelitik untuk menelusuri lebih jauh lagi. Saya buka kitab suci terjemahan saya, mushaf.... edisi wanita dengan penerbit...... Ternyata benar. Di dalam mushaf saya, kata awliya’ tidak diartikan sebagai pemimpin, melainkan sebagai teman setia. Jadilah, ayat 51 tadi memiliki arti seperti ini:
Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan orang Yahudi dan Nashrani sebagai teman setia(mu)....................................”
Lihat! Di dalam mushaf saya, kata awliya’ tidak diartikan sebagai pemimpin. Lantas, saya beranjak ke Al-Qur’an terjemahan yang lain dengan penerbit yang berbeda. Ternyata, Benar! Awliya’ diartikan sebagai pemimpin. Jadilah terjemahan ayat 51 seperti ini:
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan orang Yahudi dan Nashrani sebagai pemimpin-pemimpin........................................”
Ternyata, apa yang diungkapkan Quraisy Shihab memang benar. Kata awliya’ tidak memiliki satu arti yakni pemimpin, tapi lebih dari satu arti.
Lantas, timbullah pertanyaan kembali. Jika diartikan sebagai teman setia, berarti ada larangan sebagai umat muslim untuk berkawan selain orang non muslim? Mari kita lihat terjemahan al-qur’an yang lain.
Kali ini, dua al-qur’an dengan penerbit yang sama, dengan judul mushaf yang berbeda. Di dalam kedua kitab suci ini, rupanya kata awliya’ diartikan seperti mushaf saya yakni, sebagai teman setia. Hanya saja, terdapat sebuah footnote yang memberikan penjelasan terkait asbabun nuzul dari ayat 51.
Ubaidah bin Shamit berkata, "Abdullah bin Ubay bin Salul (tokoh munafik madinah) dan saya, terikat oleh suatu perjanjian untuk saling membela dengan kelompok Yahudi bani Qainuqa. Ketika bani Qainuqa berperang melawan Rasulullah, Abdullah bin Ubay tidak mau melibatkan diri dan saya berangkat menuju Rasulullah, hendak membersihkan diri dari ikatan perjanjian tersebut dan hendak menggabungkan diri dengan rasulullah serta menyatakan tunduk hanya kepada allah dan rasulNya. Maka, turunlah ayat ini.
Melihat sejarah turunnya ayat 51, jelas, terdapat satu konteks dilarangnya seorang muslim untuk berkawan setia dengan orang kafir dengan kategori ia sampai melebur dan tidak ada lagi perbedaan serta keyakinannya. Konteks inilah yang dilarang. Artinya, terdapat satu persoalan seorang muslim dilarang berkawan dekat dengan non muslim, jika menyangkut perubahan keyakinan di dalam dirinya. Sedangkan, dalam konteks yang lain, semisal yang dicontohkan oleh Quraisy Shihab yakni jika ada pilihan antara pilot pesawat yang pandai namun kafir dengan pilot kurang pandai yang Muslim atau contoh lain, antara dokter kafir yang kaya pengalaman dan dokter Muslim tapi minim pengalaman, dalam hal ini, tidak ada larangan untuk bersahabat dengan non muslim.
Kembali kepada kata awliya’ di atas, setelah melihat empat al-qur’an tadi, dengan terjemahan kata awliya’ yang tidak sama, lantas, siapakah yang patut disalahkan?
Tak ada yang salah. Sebab kata awliya’ memang memiliki arti lebih dari satu. Hanya saja, saya sedikit miris, tatkala ayat suci yang notabene menjadi pemersatu, justru dijadikan propaganda kekuasaan.
Saran saya, setidaknya regulasi di Kemenag atau MUI, hendaknya memiliki satu pedoman dalam menerjemahkan al-qur’an dengan syarat menggandeng seluruh penerbit Al-qur’an. Saya memang tidak mengetahui bagaimana regulasi saat ini, dan saya tidak mau menyalahkan Kemenag atas asumsi saya hanya berdasar empat al-qur’an terjemahan yang saya lihat sebelumnya.
Tetapi, dengan adanya satu pedoman terkait penerjemahan al-qur’an, barangkali disertai dengan asbabun nuzul bagi ayat-ayat yang memang sangat diperlukan untuk dijelaskan agar tidak memecah persatuan, tentu hal ini sangat bermanfaat ke depannya. Tentu, bukan berarti, selama ini bahasa Indonesia yang ada di semua Al-Qur’an terjemahan salah total. Hanya saja, diperlukan satu metode dalam upaya menerjemahkan kita suci umat Islam ini agar tidak menimbulkan konflik sesuai perkembangan bahasa Indonesia.
Lantas, jika dikaitkan dengan judul di atas, antara Ahok dan Al-Maidah ayat 51, menurut hemat saya, sudah terlanjur banyak tulisan, serta komentar-komentar antar seorang dengan yang lain. Dalam hal ini, bukan kapasitas saya untuk menafsirkan ayat 51. Adakalanya kita serahkan kepada sang ahli tafsir, sekalipun antar ahli tasfir sendiri tidak semuanya memiliki satu pandangan yang sama. Jika hal ini terjadi, dibutuhkan sikap intelektualitas dalam diri kita, untuk menyikapi perbedaan tanpa adanya perpercahan.
Sekali lagi, terdapat ayat-ayat suci Al-Qur’an, yang tidak serta merta dapat kita pahami hanya secara tekstual, melainkan harus dilihat ke arah kontekstual. Salah satunya, dengan mengetahui asbabun nuzul dari ayat yang dimaksud. Pun dengan mengetahui sejarah turunnya ayat suci yang kita maksud, tidak serta merta dapat kita pahami secara utuh. Adakalanya, kita membutuhkan seorang ahli tafsir untuk memberikan gambaran, bagaimana ayat suci tadi diturunkan, lalu dihubungkan dengan kehidupan manusia saat ini. Dalam hal inilah, dibutuhkan sikap intelektualitas.
Kembali kepada video pak Ahok, terlepas apakah kita melihat video tersebut secara utuh, atau setengah-tengah, terlepas dari siapa yang mendukung dan mencaci pak Ahok, terlepas dari siapa yang menyatakan diri sebagai yang paling benar dengan argumen masing-masing, saya hanya bisa mengatakan, demokrasi memang terkadang mendatangkan kampanye hitam. Menyerang lawan demi kekuasaan. Hanya saja, jangan gunakan ayat suci sebagai tujuan mencapai kekuasaan.
Jika memang benar pak Ahok menistakan ayat suci, biarkan ranah hukum yang menyelesaikan. Jika yang diserang pak Ahok bukanlah ayat suci melainkan orang-orang yang menggunakan ayat suci ini sebagai propaganda politik, silahkan dibawa ke ranah hukum. Toh, siapapun yang terbukti, entah pak Ahok atau orang-orang yang menggunakan ayat suci sebagai propaganda politik lalu memfitnahnya, dapat dihukum asal terbukti bersalah. Itu saja.



Hikayat Seorang Santri Bodoh

Usiaku lima belas tahun waktu itu. Saat aku terbuang ke Madura. Ya, di sebuah pesantren Al-Amien inilah aku harus bersemedi. Tak tanggung...