Tuesday 29 March 2016

Tak Kutemui Sepotong Senja

sudah ratusan menit,
semenjak tubuh November mengalir dalam risalah hidupku
hingga Maret di ujung waktu,
selalu saja, terasa sulit menemui senja

seperti sore ini,
tak kutemui sepotong senja
bahkan sejengkal bintang
dalam kaki langit

dua hari lagi, April kan bertamu
semoga senja tak malu-malu
atau selalu mau mendengar ceritaku tentangmu
sebab,

hanya senja, yang selalu setia menungguku di emperan masjid ini

Tuesday 22 March 2016

Hikayat Santriwati Bodoh




Usiaku lima belas tahun waktu itu. Saat orang tua memutuskan tingkatan sekolahku selanjutnya berada di pesantren. Barangkali, bagi sebagian besar anak-anak berusia belasan tahun sepertiku, merasa bahagia menempuh pendidikan yang berbasis agama. Tetapi sebagian besar yang lain, barangkali pula memiliki pandangan yang sama denganku, kalaulah pesantren merupakan lembaga dengan sistem pendidikan yang kolot dan terbelakang. Sudah seharusnya, sebuah fase pencarian jati diri berada di lingkungan masyarakat pada umumnya. Bersama kawan sekelas mencorat-coret seragam, merayakan kelulusan SMA. Sayangnya, keinginan tersebut harus sirna sebab di Pondok Pesantren Al-Amien–lah, tempatku merantau. Dan semenjak itu, aku merasa Tuhan tak lagi ada.

Pesantren Al-Amien tak ubahnya dengan sistem Pondok Modern Gontor yang dikisahkan dalam novel Negeri 5 Menara. Bahkan, pendiri Bumi Djauhari adalah menantu pendiri Gontor. Hanya saja, di pesantren ini, porsi modern dan salafiyah berjalan seimbang. Aku yang lulusan SMP Negeri, harus jauh-jauh dari Jember menuju ujung pulau garam ini dengan modal sedikit mengaji. Itupun, aku peroleh sebab setiap sore aku pergi mengaji ke sebuah surau yang tak terlalu jauh letaknya. Kalau sampai tak mengaji, bapak pasti akan mengeluarkan cambuk sebesar pelepah pisang yang siap menyapa tubuh. Tetapi sayang, untuk berada di pesantren ini tak cukup sekedar kemampuan mengaji. Sebab seluruh mata pelajaran kecuali bahasa inggris dan pelajaran eksak, diterangkan menggunakan bahasa Arab. Tak ayal, aku kesulitan untuk sekedar mengingat apalagi memahami. 

Justru keadaan yang kualami ini bertolak belakang dengan sebagian besar kawanku yang berasal dari Madura. Pada umumnya, mereka lulusan madrasah tsanawiyah ataupun SMP Negeri tetapi di siang dan sore hari mereka menempuh madrasah ibtidaiyah di kampung masing-masing. Jelas saja mereka terlebih dahulu mengenal pengantar bahasa arab. Sedangkan sebagian santriwati yang utamanya berasal dari luar Madura, bernasib sama denganku ini, alias hanya bermodalkan sembilan puluh menit pelajaran agama setiap minggunya.

Masa-masa awal menyantri, tentu bukanlah hari yang menggembirakan. Selain cuaca Madura yang lebih panas dibandingkan kampung halaman, kerudung yang kukenakan juga menambah riuh cuaca. Aku yang semula tak pernah mengenakan kerudung kecuali pergi mengaji yang terkadang dipakai hanya di dalam langgar, terpaksa harus beradaptasi dengan menggunakan kerudung kemanapun pergi. Kecuali di dalam kamar dan kamar mandi. Selain itu, salah satu kesulitan yang membuatku sempat putus asa kala itu mengenai pelajaran imla’. Aku sangat benci pelajaran ini. Sejatinya, pelajaran semacam dikte sewaktu Sekolah Dasar ini, amatlah mudah. Apa susahnya menulis kalimat yang diucapkan ustadzah. Hanya saja, kalimat-kalimat tersebut, berbahasa arab. Dan aku, selalu berhasil celingak-celinguk tak karuan. Tak tahu cara menulisnya. Memang, aku bisa sedikit mengaji. Tetapi menulis kalimat yang terdiri dari huruf-huruf hijaiyah sama sekali belum pernah aku lakukan. Alhasil, seluruh kalimat yang aku tulis tak memiliki spasi. Bak rimbun rerumputan saja.  Bagaimana mungkin tulisanku memiliki jarak antar kata, sedangkan aku sendiri tak paham dimana seharusnya spasi itu diletakkan dan apa pula maksud dari kalimat tersebut. Dan parahnya, pelajaran ini berlangsung dua kali dalam seminggu ditambah pelajaran yang berbau bahasa arab lainnya yang dalam sehari notabene berlangsung dua sampai empat mata pelajaran.

Tentu keadaan inilah yang membuatku tak kerasan. Berbagai macam keinginan sempat muncul di dalam benak. Termasuk niat untuk kabur dari pesantren. Apa susahnya keluar tengah malam sedangkan uang pun ada, hanya membulatkan tekad untuk keluar dari ‘penjara suci’ ini. Sayangnya, bukan persoalan tekad yang membuatku ciut kala itu, melainkan wajah kedua orang tua yang pasti kecewa sebab aku kalah oleh keadaan.

Nyatanya, aku harus memendam keadaan tersebut meski sering menangis. Kalaulah suatu ketika berada di pesantren, lalu menemukan anak menangis sebab tak kerasan, hal itu sangatlah wajar. Sebab sama sepertiku. Jauh-jauh dari tepi selatan Jawa, tak punya saudara, tetapi harus merantau seorang diri di Madura. Jujur saja, menangis bukanlah hal mudah yang harus kutunjukkan pada orang lain. Bagiku, menangisi takdir, cukup dirasakan sendiri di dalam kamar mandi atau setelah sembayang mengadu pada Tuhan. 

Ah, andai kau tau kawan, betapa tersiksanya berdiam diri di dalam penjara suci dengan beban pikiran yang melebihi muatan. Kepala terasa sesak. Tak ada jalan berpikir. Aku merasa kalah gara-gara pelajaran. Bahkan aku sering berdiri di dalam kelas serta menjadi bahan tawa kawan-kawan yang lain sebab susah menghafal mahfudzot, tetapi cepat pula menghilang. Aku benar-benar merasa Tuhan sengaja mempermainkanku saat itu.

Terkadang pula, aku bertanya pada diri sendiri, mengapa Tuhan memberikan jalan hidup yang sama sekali tak ada dalam daftar cerita yang akan kurangkai? Sungguh aku tak bisa menerka keinginan Tuhan kala itu. Aku hanya bisa bertanya tanpa pernah kutemui jawaban. Seakan alam pun tak mau memberi alasan mengapa Pencipta Semesta melemparku ke dalam keterpurukan. Ke dalam lembah pendidikan dan menjadikan statusku sebagai orang terbodoh yang pernah hidup di dunia.

Pernah aku bercakap pada langit, tentang kebodohan diri. Sungguh, kalau menjadi orang bodoh dan ditertawakan amat menyakitkan. Hingga suatu sore, aku teringat percakapan dengan salah seorang ustadzah. Namanya, ustadzah A. Berasal dari Bangkalan. Beliau memanggilku tatkala masih dalam masa persiapan atau syu’bah. Dengan senyum khasnya, tanpa diduga beliau bertanya mengenai bela diri yang kutekuni sebelum menyantri.

Ah, saat itu aku merasa berbeda. Terasa ada celah dalam jalan gelap. Aku tak tau, ustadzah mendapati kabar tentang pencak silat darimana. Yang kutahu, aku tak mau banyak cerita sebab tak ada gunanya. Memang benar, beliau cerita panjang tentang pencak silat di Bumi Djauhari. Dan selepas cerita di sore itu, aku menemukan cerita baru.

Ya, aku memang berada di jalan berbeda. Berjalan di tempat yang kubenci sebelumnya. Tetapi, inilah hidup. Menyajikan jalan cerita yang semuanya tak bisa ditebak. Menyisakan dua pilihan, dijalani atau berlari sebagai pecundang.

Jujur saja, mengingat ucapan ustadzah A. saat ini, terkadang membuatku menangis sendiri. Menangis, sebab aku tak lagi belajar mengeja hidup di Bumi Djauhari. Melainkan, kembali mengeja hidup di dunia sesungguhnya. Barangkali pula, kalimat penutup di bawah ini sudah seharusnya kukatakan sedari awal menyantri:

“Maafkan aku, Tuhan. Ternyata, Engkau selalu ada dalam keadaan bagaimanapun juga”

Pamit




Pulanglah,
alam telah bisu tak mau melihatku
hasrat waktu terlalu besar membenci
sampai tak lagi menelan malam ke tubuh pagi

Hey,
suatu cerita takkan pernah lahir tanpa peristiwa
tapi, lihatlah!

Alasan hanya memanipulasi muka belaka
tak sadar goresan kebohongan bisa terbaca
lewat bahasa mata yang tak biasa

Aku, tak mau lagi dengar waktu bernyanyi
tidakkah ia bisa berhenti sesaat
lalu perlihatkan apa yang kuharap?

Ah, sudahlah
Tuhan pasti sedang berjalan menuju singgasana
Ia pun tak mau melirik bau busukku ini

Tuhan...
andai kau tau, 

aku selalu belajar mengeja hidup dalam bilangan dosa

21 Maret 2016
10.40
Firasat tak selalu ada
hanya terkaan hati sebab takut mati

Hikayat Seorang Santri Bodoh

Usiaku lima belas tahun waktu itu. Saat aku terbuang ke Madura. Ya, di sebuah pesantren Al-Amien inilah aku harus bersemedi. Tak tanggung...