Siapa yang patut disalahkan?
Akhir-akhir
ini, saya melihat propaganda politik kian miris. Bahkan, embel-embel agama,
diusung lebih jauh lagi. Salah satunya, kutipan ucapan Ahok terkait surat
Al-Maidah ayat 51.
Sebelum
menelisik lebih jauh, alangkah baiknya saya tegaskan di awal. Tulisan saya
berikutnya, terlahir bukan untuk membela pak Ahok, atau sebaliknya, untuk
menyerang pak Ahok. Bukan. Bukan seperti itu maksud saya menulis seperti ini.
Adakalanya,
tulisan saya terlahir dari sebuah kegelian tatkala melihat hebohnya
perpolitikan, sekalipun saya tak memiliki pengetahuan apa-apa terkait tafsir
Al-Qur’an. Jangankan ahli tafsir, sebagai makhluk Tuhan saja saya tak becus
melakukan segala titah-Nya.
Begini,
terjemahan surat Al-Maidah ayat 51 itu menyatakan, bahwa terdapat larangan
untuk memilih orang-orang Nashrani dan Yahudi untuk dijadikan pemimpin. Adapun
kata kunci dari segala perdebatan yang ada sekarang ini, terdapat di dalam satu
kata: أولياء
Awliya’
jamak dari kata wali. Kata awliya’ sendiri diartikan sebagai pemimpin. Apa
hanya memiliki satu arti yakni pemimpin? Tentu, sekali lagi saya bukan ahli
bahasa Arab yang mengetahui segala arti bentuk bahasa. Hanya saja, saya melihat
penjelasan dari ahlinya. Salah satunya, dari ahli tafsir Quraisy Shihab. Beliau
mengatakan, kata awliya’ tidak hanya memiliki arti pemimpin, tetapi bermacam-macam.
Saya
pun tergelitik untuk menelusuri lebih jauh lagi. Saya buka kitab suci
terjemahan saya, mushaf.... edisi wanita dengan penerbit...... Ternyata benar.
Di dalam mushaf saya, kata awliya’ tidak diartikan sebagai pemimpin, melainkan
sebagai teman setia. Jadilah, ayat 51 tadi memiliki arti seperti ini:
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu
menjadikan orang Yahudi dan Nashrani sebagai teman setia(mu)....................................”
Lihat!
Di dalam mushaf saya, kata awliya’ tidak diartikan sebagai pemimpin. Lantas,
saya beranjak ke Al-Qur’an terjemahan yang lain dengan penerbit yang berbeda. Ternyata,
Benar! Awliya’ diartikan sebagai pemimpin. Jadilah terjemahan ayat 51 seperti
ini:
“Wahai orang-orang yang beriman!
Janganlah kamu menjadikan orang Yahudi dan Nashrani sebagai pemimpin-pemimpin........................................”
Ternyata,
apa yang diungkapkan Quraisy Shihab memang benar. Kata awliya’ tidak memiliki
satu arti yakni pemimpin, tapi lebih dari satu arti.
Lantas,
timbullah pertanyaan kembali. Jika diartikan sebagai teman setia, berarti ada
larangan sebagai umat muslim untuk berkawan selain orang non muslim? Mari kita
lihat terjemahan al-qur’an yang lain.
Kali
ini, dua al-qur’an dengan penerbit yang sama, dengan judul mushaf yang berbeda.
Di dalam kedua kitab suci ini, rupanya kata awliya’ diartikan seperti mushaf
saya yakni, sebagai teman setia. Hanya saja, terdapat sebuah footnote yang memberikan
penjelasan terkait asbabun nuzul dari ayat 51.
Ubaidah
bin Shamit berkata, "Abdullah bin Ubay bin Salul (tokoh munafik madinah)
dan saya, terikat oleh suatu perjanjian untuk saling membela dengan kelompok
Yahudi bani Qainuqa. Ketika bani Qainuqa berperang melawan Rasulullah, Abdullah
bin Ubay tidak mau melibatkan diri dan saya berangkat menuju Rasulullah, hendak
membersihkan diri dari ikatan perjanjian tersebut dan hendak menggabungkan diri
dengan rasulullah serta menyatakan tunduk hanya kepada allah dan rasulNya.
Maka, turunlah ayat ini.
Melihat sejarah turunnya ayat 51, jelas, terdapat
satu konteks dilarangnya seorang muslim untuk berkawan setia dengan orang kafir
dengan kategori ia sampai melebur dan tidak ada lagi perbedaan serta
keyakinannya. Konteks inilah yang dilarang. Artinya, terdapat satu persoalan
seorang muslim dilarang berkawan dekat dengan non muslim, jika menyangkut
perubahan keyakinan di dalam dirinya. Sedangkan, dalam konteks yang lain,
semisal yang dicontohkan oleh Quraisy Shihab yakni jika ada pilihan antara pilot pesawat yang pandai namun kafir
dengan pilot kurang pandai yang Muslim atau contoh lain, antara dokter kafir
yang kaya pengalaman dan dokter Muslim tapi minim pengalaman, dalam hal ini,
tidak ada larangan untuk bersahabat dengan non muslim.
Kembali kepada kata awliya’ di atas, setelah
melihat empat al-qur’an tadi, dengan terjemahan kata awliya’ yang tidak sama,
lantas, siapakah yang patut disalahkan?
Tak ada yang salah. Sebab kata awliya’ memang
memiliki arti lebih dari satu. Hanya saja, saya sedikit miris, tatkala ayat
suci yang notabene menjadi pemersatu, justru dijadikan propaganda kekuasaan.
Saran saya, setidaknya regulasi di Kemenag atau
MUI, hendaknya memiliki satu pedoman dalam menerjemahkan al-qur’an dengan
syarat menggandeng seluruh penerbit Al-qur’an. Saya memang tidak mengetahui
bagaimana regulasi saat ini, dan saya tidak mau menyalahkan Kemenag atas asumsi
saya hanya berdasar empat al-qur’an terjemahan yang saya lihat sebelumnya.
Tetapi, dengan adanya satu pedoman terkait
penerjemahan al-qur’an, barangkali disertai dengan asbabun nuzul bagi ayat-ayat
yang memang sangat diperlukan untuk dijelaskan agar tidak memecah persatuan,
tentu hal ini sangat bermanfaat ke depannya. Tentu, bukan berarti, selama ini
bahasa Indonesia yang ada di semua Al-Qur’an terjemahan salah total. Hanya
saja, diperlukan satu metode dalam upaya menerjemahkan kita suci umat Islam ini
agar tidak menimbulkan konflik sesuai perkembangan bahasa Indonesia.
Lantas, jika dikaitkan dengan judul di atas,
antara Ahok dan Al-Maidah ayat 51, menurut hemat saya, sudah terlanjur banyak
tulisan, serta komentar-komentar antar seorang dengan yang lain. Dalam hal ini,
bukan kapasitas saya untuk menafsirkan ayat 51. Adakalanya kita serahkan kepada
sang ahli tafsir, sekalipun antar ahli tasfir sendiri tidak semuanya memiliki
satu pandangan yang sama. Jika hal ini terjadi, dibutuhkan sikap
intelektualitas dalam diri kita, untuk menyikapi perbedaan tanpa adanya
perpercahan.
Sekali lagi, terdapat ayat-ayat suci Al-Qur’an,
yang tidak serta merta dapat kita pahami hanya secara tekstual, melainkan harus
dilihat ke arah kontekstual. Salah satunya, dengan mengetahui asbabun nuzul
dari ayat yang dimaksud. Pun dengan mengetahui sejarah turunnya ayat suci yang
kita maksud, tidak serta merta dapat kita pahami secara utuh. Adakalanya, kita
membutuhkan seorang ahli tafsir untuk memberikan gambaran, bagaimana ayat suci
tadi diturunkan, lalu dihubungkan dengan kehidupan manusia saat ini. Dalam hal
inilah, dibutuhkan sikap intelektualitas.
Kembali kepada video pak Ahok, terlepas apakah
kita melihat video tersebut secara utuh, atau setengah-tengah, terlepas dari
siapa yang mendukung dan mencaci pak Ahok, terlepas dari siapa yang menyatakan
diri sebagai yang paling benar dengan argumen masing-masing, saya hanya bisa
mengatakan, demokrasi memang terkadang mendatangkan kampanye hitam. Menyerang
lawan demi kekuasaan. Hanya saja, jangan gunakan ayat suci sebagai tujuan
mencapai kekuasaan.
Jika memang benar pak Ahok menistakan ayat
suci, biarkan ranah hukum yang menyelesaikan. Jika yang diserang pak Ahok
bukanlah ayat suci melainkan orang-orang yang menggunakan ayat suci ini sebagai
propaganda politik, silahkan dibawa ke ranah hukum. Toh, siapapun yang
terbukti, entah pak Ahok atau orang-orang yang menggunakan ayat suci sebagai
propaganda politik lalu memfitnahnya, dapat dihukum asal terbukti bersalah. Itu
saja.