Sunday 9 October 2016

Antara Ahok dan Al-Maidah Ayat 51


Siapa yang patut disalahkan? 
Akhir-akhir ini, saya melihat propaganda politik kian miris. Bahkan, embel-embel agama, diusung lebih jauh lagi. Salah satunya, kutipan ucapan Ahok terkait surat Al-Maidah ayat 51.
Sebelum menelisik lebih jauh, alangkah baiknya saya tegaskan di awal. Tulisan saya berikutnya, terlahir bukan untuk membela pak Ahok, atau sebaliknya, untuk menyerang pak Ahok. Bukan. Bukan seperti itu maksud saya menulis seperti ini.
Adakalanya, tulisan saya terlahir dari sebuah kegelian tatkala melihat hebohnya perpolitikan, sekalipun saya tak memiliki pengetahuan apa-apa terkait tafsir Al-Qur’an. Jangankan ahli tafsir, sebagai makhluk Tuhan saja saya tak becus melakukan segala titah-Nya.
Begini, terjemahan surat Al-Maidah ayat 51 itu menyatakan, bahwa terdapat larangan untuk memilih orang-orang Nashrani dan Yahudi untuk dijadikan pemimpin. Adapun kata kunci dari segala perdebatan yang ada sekarang ini, terdapat di dalam satu kata: أولياء
Awliya’ jamak dari kata wali. Kata awliya’ sendiri diartikan sebagai pemimpin. Apa hanya memiliki satu arti yakni pemimpin? Tentu, sekali lagi saya bukan ahli bahasa Arab yang mengetahui segala arti bentuk bahasa. Hanya saja, saya melihat penjelasan dari ahlinya. Salah satunya, dari ahli tafsir Quraisy Shihab. Beliau mengatakan, kata awliya’ tidak hanya memiliki arti pemimpin, tetapi bermacam-macam.
Saya pun tergelitik untuk menelusuri lebih jauh lagi. Saya buka kitab suci terjemahan saya, mushaf.... edisi wanita dengan penerbit...... Ternyata benar. Di dalam mushaf saya, kata awliya’ tidak diartikan sebagai pemimpin, melainkan sebagai teman setia. Jadilah, ayat 51 tadi memiliki arti seperti ini:
Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan orang Yahudi dan Nashrani sebagai teman setia(mu)....................................”
Lihat! Di dalam mushaf saya, kata awliya’ tidak diartikan sebagai pemimpin. Lantas, saya beranjak ke Al-Qur’an terjemahan yang lain dengan penerbit yang berbeda. Ternyata, Benar! Awliya’ diartikan sebagai pemimpin. Jadilah terjemahan ayat 51 seperti ini:
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan orang Yahudi dan Nashrani sebagai pemimpin-pemimpin........................................”
Ternyata, apa yang diungkapkan Quraisy Shihab memang benar. Kata awliya’ tidak memiliki satu arti yakni pemimpin, tapi lebih dari satu arti.
Lantas, timbullah pertanyaan kembali. Jika diartikan sebagai teman setia, berarti ada larangan sebagai umat muslim untuk berkawan selain orang non muslim? Mari kita lihat terjemahan al-qur’an yang lain.
Kali ini, dua al-qur’an dengan penerbit yang sama, dengan judul mushaf yang berbeda. Di dalam kedua kitab suci ini, rupanya kata awliya’ diartikan seperti mushaf saya yakni, sebagai teman setia. Hanya saja, terdapat sebuah footnote yang memberikan penjelasan terkait asbabun nuzul dari ayat 51.
Ubaidah bin Shamit berkata, "Abdullah bin Ubay bin Salul (tokoh munafik madinah) dan saya, terikat oleh suatu perjanjian untuk saling membela dengan kelompok Yahudi bani Qainuqa. Ketika bani Qainuqa berperang melawan Rasulullah, Abdullah bin Ubay tidak mau melibatkan diri dan saya berangkat menuju Rasulullah, hendak membersihkan diri dari ikatan perjanjian tersebut dan hendak menggabungkan diri dengan rasulullah serta menyatakan tunduk hanya kepada allah dan rasulNya. Maka, turunlah ayat ini.
Melihat sejarah turunnya ayat 51, jelas, terdapat satu konteks dilarangnya seorang muslim untuk berkawan setia dengan orang kafir dengan kategori ia sampai melebur dan tidak ada lagi perbedaan serta keyakinannya. Konteks inilah yang dilarang. Artinya, terdapat satu persoalan seorang muslim dilarang berkawan dekat dengan non muslim, jika menyangkut perubahan keyakinan di dalam dirinya. Sedangkan, dalam konteks yang lain, semisal yang dicontohkan oleh Quraisy Shihab yakni jika ada pilihan antara pilot pesawat yang pandai namun kafir dengan pilot kurang pandai yang Muslim atau contoh lain, antara dokter kafir yang kaya pengalaman dan dokter Muslim tapi minim pengalaman, dalam hal ini, tidak ada larangan untuk bersahabat dengan non muslim.
Kembali kepada kata awliya’ di atas, setelah melihat empat al-qur’an tadi, dengan terjemahan kata awliya’ yang tidak sama, lantas, siapakah yang patut disalahkan?
Tak ada yang salah. Sebab kata awliya’ memang memiliki arti lebih dari satu. Hanya saja, saya sedikit miris, tatkala ayat suci yang notabene menjadi pemersatu, justru dijadikan propaganda kekuasaan.
Saran saya, setidaknya regulasi di Kemenag atau MUI, hendaknya memiliki satu pedoman dalam menerjemahkan al-qur’an dengan syarat menggandeng seluruh penerbit Al-qur’an. Saya memang tidak mengetahui bagaimana regulasi saat ini, dan saya tidak mau menyalahkan Kemenag atas asumsi saya hanya berdasar empat al-qur’an terjemahan yang saya lihat sebelumnya.
Tetapi, dengan adanya satu pedoman terkait penerjemahan al-qur’an, barangkali disertai dengan asbabun nuzul bagi ayat-ayat yang memang sangat diperlukan untuk dijelaskan agar tidak memecah persatuan, tentu hal ini sangat bermanfaat ke depannya. Tentu, bukan berarti, selama ini bahasa Indonesia yang ada di semua Al-Qur’an terjemahan salah total. Hanya saja, diperlukan satu metode dalam upaya menerjemahkan kita suci umat Islam ini agar tidak menimbulkan konflik sesuai perkembangan bahasa Indonesia.
Lantas, jika dikaitkan dengan judul di atas, antara Ahok dan Al-Maidah ayat 51, menurut hemat saya, sudah terlanjur banyak tulisan, serta komentar-komentar antar seorang dengan yang lain. Dalam hal ini, bukan kapasitas saya untuk menafsirkan ayat 51. Adakalanya kita serahkan kepada sang ahli tafsir, sekalipun antar ahli tasfir sendiri tidak semuanya memiliki satu pandangan yang sama. Jika hal ini terjadi, dibutuhkan sikap intelektualitas dalam diri kita, untuk menyikapi perbedaan tanpa adanya perpercahan.
Sekali lagi, terdapat ayat-ayat suci Al-Qur’an, yang tidak serta merta dapat kita pahami hanya secara tekstual, melainkan harus dilihat ke arah kontekstual. Salah satunya, dengan mengetahui asbabun nuzul dari ayat yang dimaksud. Pun dengan mengetahui sejarah turunnya ayat suci yang kita maksud, tidak serta merta dapat kita pahami secara utuh. Adakalanya, kita membutuhkan seorang ahli tafsir untuk memberikan gambaran, bagaimana ayat suci tadi diturunkan, lalu dihubungkan dengan kehidupan manusia saat ini. Dalam hal inilah, dibutuhkan sikap intelektualitas.
Kembali kepada video pak Ahok, terlepas apakah kita melihat video tersebut secara utuh, atau setengah-tengah, terlepas dari siapa yang mendukung dan mencaci pak Ahok, terlepas dari siapa yang menyatakan diri sebagai yang paling benar dengan argumen masing-masing, saya hanya bisa mengatakan, demokrasi memang terkadang mendatangkan kampanye hitam. Menyerang lawan demi kekuasaan. Hanya saja, jangan gunakan ayat suci sebagai tujuan mencapai kekuasaan.
Jika memang benar pak Ahok menistakan ayat suci, biarkan ranah hukum yang menyelesaikan. Jika yang diserang pak Ahok bukanlah ayat suci melainkan orang-orang yang menggunakan ayat suci ini sebagai propaganda politik, silahkan dibawa ke ranah hukum. Toh, siapapun yang terbukti, entah pak Ahok atau orang-orang yang menggunakan ayat suci sebagai propaganda politik lalu memfitnahnya, dapat dihukum asal terbukti bersalah. Itu saja.



Sunday 31 July 2016

Petuah Juk Tuah

Dimuat di Radar Jember Tanggal 24 Juli 2016



Galah yang jauh lebih jangkung dari tubuhku, masih terus kugenggam. Bambu tempat pengait tembakau ini agak berat memang. Akan terasa ringan saat dibawa lari. Tentu ujung bambu yang di belakang tak boleh terangkat. Supaya ikut terseret.
Seperti sore ini. Banyak galah ikut berlari. Mengejar layangan yang kalah bertarung di langit sana. Sepertinya, angin tak seribut hari kemarin. Mengamuk saat banyak layangan tengah sibuk berjuang pertahankan kekuatan senar. Tak apa. Bagiku sama saja. Aku bukan petarung layangan yang harus kecewa saat angin tak bersahabat. Aku hanya sekedar pengejar layangan. Bahagia bila ada layangan putus lalu menyangkut di dahan pohon. Kaki ini akan berlari secepat mungkin, berlomba dengan kawan lain. Sambil membawa galah yang ujungnya telah dikaitkan reranting kecil, untuk menggulung sisa senar layangan yang tengah tersangkut.
“Har, sudah banyakkah layangannya?”
“Belum, Rus. Masih enam.”
“Oh, buatku saja, ya?”
            Tak sulit Rustam menemuiku di bukit Juk Tuah ini. Selain cerita angkernya, ada sebuah kuburan di puncak bukit. Tak ada yang berani melewati kuburan tadi apalagi mengejar layangan. Termasuk aku. Hanya saja, aku sering berada di bawah kaki bukit. Meramal ujung lintasan yang akan dilewati layangan.
            “Eh, itu ada yang putus,” gumam Rustam
Ya, sebuah layangan melintas tepat di atas kepala. Angin membawanya lebih jauh. Layangan tadi menukik ke bawah perlahan. Kuseret kaki meliuk-liuk diantara semak rerumputan. Menaiki bukit bersama galah yang turut kuseret. Sementara tangan kiri, memegangi saku celana yang mengeluarkan gemerincing logam.
Benar dugaanku. Layangan tadi menyangkut di atas pohon rambutan. Galah yang sudah terpasang reranting, kujulurkan ke atas. Ah, sial. Tubuhku terlalu kecil meski memakai galah yang lebih jangkung. Ujung senar layangan yang melambai-lambai, tak bisa kugulung. Terpaksa kedua kaki harus menjinjit di atas sebongkah batu yang dilumuti lumut. Agak licin memang.
“Anak nakal. Apa kau tak lihat, batu yang kau injak itu nisan Juk Tuah?” ibu mengawali kemarahannya sambil menenteng telinga kananku.
Kulihat batu yang telah kuinjak. Sial. Ada satu batu lagi di bawah pohon rambutan. Membentuk sebuah ukuran kuburan.
“Bukankah sudah kukatakan berkali-kali. Jangan pernah main kesini. Kau tak takut biibih membawa lari dan tak kembalikan tubuhmu ke dunia ini?” omelan ibu meluncur lebih lanjut. Kupegangi lengannya lebih erat. Cerita biibih telah menjadi legenda turun temurun di kampungku. Sosok dari dunia lain yang membawa lari anak kecil ke dalam dunia gaib. Beberapa waktu lalu, Anai tetanggaku yang bermain sendiri di belakang rumah, tiba-tiba hilang tak ada kabar. Semua penduduk di kampung ikut mencari. Di sungai, di bukit Juk Tuah, tetap tak ada. Hingga adzan maghrib, warga menemukan tubuh Anai tak sadarkan diri di tengah rimbun bambu dekat sungai. Setelah siuman, ia tak menangis. Bahkan bertanya akan sosok yang membawanya terbang selepas adzan tadi siang.
“Harusnya kau itu belajar. Tak usah mengejar layangan sampai ke bukit sana. Dahulu saja tak ada yang berani lewati bukit itu. Bapakmu meninggal sedari kuburan itu, Har. Ia tak sengaja mengencingi batu nisan Juk Tuah. Kuburan itu memang angker. Juk Tuah bukan orang sembarangan. Hari lahir dan meninggalnya sama. Jum’at Kliwon.” Dan Seterusnya, seterusnya. Ah, betapa seringnya ibu mengulang cerita ini.
***
“Jangan lagi kau tanyakan yang lain. Tak ada yang pantas untuk diingat, selain kenangan yang mengenaskan,” lirih ibuku. Lalu kembali berpaling mengambil tembakau. Mengaitkannya ke atas ghelengan.
            “Mengapa aku tak boleh mengingatnya?”
            “Sebab, kau akan memiliki amarah seperti ibumu ini.”
            “Tapi, aku anaknya, Bu. Apa salahnya aku mengingat orang tuaku sendiri?”
            “Ehar!” sergah ibu tiba-tiba. “Tak cukupkah ceritaku tentang bapakmu? Ia mati setelah mengencingi batu nisan Juk Tuah. Kuburan itu bukan sembarang kuburan. Itu kuburan keramat.”
            Ada sedikit amarah diantara keriput wajah ibu. Sambil terus menata ghelengan, mata ibu tetap bersungut.
            “Kalau kau hanya ingin bertanya tentang bapakmu, lebih baik tak usah bantu. Aku bisa kerjakan sendiri,” ucap ibu kembali.
            Aku memandangnya lekat. Pergi dari hadapan Ibu. Membiarkannya terus bekerja. Menata tembakau milik kepala desa.
            Tiba-tiba saja ada seorang lelaki mendekati ibu. Lelaki separuh baya itu terlihat menyeramkan. Kumisnya lebat melengkung ke atas. Matanya terlihat menaruh hati-hati. Aku tak pernah melihat lelaki itu sebelumnya. Kulihat Ibu terperangah melihat sosok lelaki yang berpakaian serba hitam itu. Telunjuknya mengarah ke sebuah rimbun bambu di ujung pekarangan Wak Buto.
            Aku yang masih duduk di bawah pohon sawo, menguntit langkah keduanya. Wajah ibu terlihat sedikit gusar. Lebih gusar dari amarahnya tadi.
            “Apa yang kau lakukan di sini, Pardi?”
            “Sudah waktunya aku kesini. Sudah waktunya pula Ehar harus tau tentang semuanya.”
            “Takkan kubiarkan Ehar pergi. Dia anakku. Aku yang melahirkannya.”
            “Ya, aku mengerti, Yati. Tapi, ini hukum kita. Sudah waktunya kau harus ceritakan semua. Tak kasiankah kau melihat anakmu dijauhi orang-orang?”
            “Tak mungkin aku berikan Ehar pada mereka. Aku ibunya. Biarkan saja adat seperti ini. Tak ada yang bisa memisahkan darah ibu pada anaknya, sekalipun kepercayaan orang-orang tak bisa diubah.”
            Bibir ibu bergetar. Matanya tersirat menyimpan amarah yang begitu besar.
            “Yati, kau harus relakan anakmu. Ini jalan satu-satunya agar ia bisa diterima masyarakat. Lagi pula, tak ada cara lain menangkal tolak bala ini. Tidakkah kau ingat, saat Ripin diamuk orang-orang malam itu?”
            “Sudah, cukup! Aku tak lagi mau mendengar cerita itu. Ripin sudah mati. Ehar dan aku sudah cukup bahagia disini.”
            “Tidak, Yati. Kau harus mengingat malam Jum’at Kliwon itu. Saat suamimu diamuk orang-orang sebab menggali kuburan Juk Tuah dan mengambil tulang-belulangnya sebagai jimat. Kau harus ingat itu, Yati. Dan anakmu, Ehar. Harus menanggung apa yang Ripin perbuat.”
            Darahku seakan berhenti mengalir. Kulihat mata ibu berair.
            “Ehar sudah dewasa. Sudah waktunya ia tinggalkan pulau Jawa. Suatu hari nanti, kalau hukuman itu sudah selesai, aku yakin ia akan kembali menemuimu.”
            “Kau pikir, dua puluh tahun itu tak lama, Pardi? Aku yang mengandungnya sembilan bulan. Aku pula yang merawatnya saat Ripin mati diamuk orang-orang. Aku pula yang bekerja agar ia makan. Dan sekarang, kau bilang kepercayaan seperti itu harus kuturuti? Hidup macam apa ini, Pardi? Hidup macam apa?”
            Tak ada jawaban dari sosok lelaki itu. Bibirnya diam mematung. Begitupun ibu. Tangisnya semakin menjadi. Gemerisik sampah yang kuinjak, membuat keduanya terperangah. Kutemui ibu yang tak menyangka keberadaanku.
            “Aku akan pergi, Bu. Bersamamu.”




Tuesday 24 May 2016

Catatan Sepintas; Tentang Batu, Sungai dan Semangat




Ini kawan saya, Krishna Waty. Tetapi lebih sering dipanggil Waty. Salah seorang kawan ngaji saya sewaktu kecil. Saya berhutang budi banyak kepada sahabat yang agak jangkung dan kurus ini.

Bukan apa-apa, saya selalu merasa, setiap saya bertemu dengan seseorang terutama yang saya kenal, saya akan memiliki hutang budi kepada mereka semua. Terlepas, apakah orang tersebut tidak suka kepada saya sendiri, saya akan tetap memiliki hutang budi kepada mereka. Selalu.

Kembali kepada sahabat saya ini, biasanya, sewaktu pergi mencuci piring-piring kotor ke sungai, kami tak langsung mencucinya. Melainkan, akan mencari ikan terlebih dahulu. Terutama, sahabat saya ini sangat bersemangat.

Kami akan segera membuat bendungan. Batu-batu akan dijejer mengeliling, sampai terbentuk Lumbang kecil yang biasanya ikan menyusup ke dalamnya. Lalu ikan akan ditangkap dengan wadah selametan yang sejatinya harus kami cuci. Kalaulah tak ada, kami akan bersama-sama menangkap dengan kedua belah tangan. Ada yang bertugas menjaga pintu masuk, ada pula anak yang mengobrak-abrik di dalam lumbang.
Sempat kami kewalahan hanya untuk menangkap seekor ikan Mas. Kecil tetapi gesit. Bahkan sampai suara tarhim di masjid berkumandang, saya dan Waty tetap berusaha menangkap ikan ini. Beruntung sebagian kawan kami telah selesai mencuci semua peralatan. Dan kami berdua, masih terus berjibaku di dalam lumbang. Tak putus asa. Hingga akhirnya, ikan tadi dapat kami tangkap sewaktu semua anak beranjak kembali ke langgar. Dan ikan pun kami bungkus dengan sampah plastik. Lalu kami taruh di kamar mandi guru ngaji.

Atau, di lain waktu, sahabat saya ini mengajarkan saya melemparkan batu yang bisa berjalan di atas sungai. Saya terperangah, sewaktu melihat pemandangan ini. Batu ini bisa berjalan, sampai tiga bahkan lima lompatan di atas sungai. Pada intinya, saya diajarkan untuk memilih batu yang berbentuk agak pipih agar mudah bisa berjalan. Selanjutnya, jangan dilempar seperti orang membuang sampah, melainkan batu harus terletak diantara ibu jari dan telunjuk, lalu lemparlah dengan gaya jemari menyamping ke atas permukaan sungai. Perlu diingat. Jangan sembarang melempar. Harus dilihat arus terlebih dahulu. Jangan dilempar ke atas sungai yang berarus deras. Tetapi, lemparlah ke atas sungai yang tenang. Tidak ada arus. Ini memudahkan batu dapat berjalan di atas air.

Agak sulit bagi saya sewaktu pertama kali mencoba. Berulang kali saya mencari batu lalu melempar. Tak ada yang bisa. Hanya menghasilkan bunyi, plung. Batu tenggelam tanpa sempat berjalan. Begitu berulang-ulang. Akhirnya, entah kesekian kalinya, saya berhasil.

Sungguh, saya teramat bahagia melihat batu yang saya lempar, ternyata berjalan di atas air meski hanya satu dan dua lompatan. Tak ada yang bisa menandingi kebahagian saya waktu itu. Dan inilah salah satu alasan mengapa saya memiliki hutang budi kepada Waty, yang saya sendiri meyakini, takkan bisa dibayar oleh apapun.

Tuturan Sopir Sore Ini



Jujur saja, semenjak kelas 3 Sekolah Dasar, saya baru mengenal sosok yang bernama ‘sopir’. Bukan apa-apa, nyatanya mulai usia 9 tahun itulah, untuk pertama kalinya saya naik angkot seorang diri. Maklum saja, jarak antara rumah dan sekolah terpaut agak jauh. Sedangkan kedua orang tua saya mesti bekerja di sawah. Akhirnyalah, saya pergi sekolah seorang diri. Bahkan, semenjak TK, saya sudah naik becak tanpa diantar apalagi ditunggu orang tua di sekolah. Eits, tunggu dulu. Pengayuh becak sudah disewa ibu saya, untuk antar jemput tentunya. Dan ini berlangsung sampai kelas 2 Sekolah Dasar.
Yah, terkadang saya bertanya mengapa saya tak pernah ditunggu orang tua di sekolah, seperti sebagian besar teman saya. Ah, tak apalah. Toh, saya tak menangis dan memiliki banyak teman yang menghantarkan banyak persoalan yang mesti diselesaikan.
Terkait sopir tadi, khususnya saat Sekolah Menengah Pertama, saya memiliki sopir langganan khusus teman-teman saya yang sejalur. Lek Kadim namanya. Jangan pernah tanyakan bagaimana kebaikannya, sebab sampai sekarang, saya belum pernah menemukan sopir pengganti ini.
Menginjak perantauan saya ke Bumi Djauhari, saya juga mengenal beberapa sopir bus Damri. Ya, setiap pergi-pulang, saya akan menumpang bus pemerintah ini. Sempat di akhir perjalanan pulang saya sewaktu menyantri, sopir ini tiba-tiba bercerita terkait profesi yang digeluti. Ia merasa miris terkait anggapan orang-orang. Maklum saja, sebagian besar menilai sopir memiliki perilaku buruk. Baik karena ugal-ugalan, bekerja sama dengan pencopet, bahkan wanita. Dan sopir yang bercerita kepada saya itu, berusaha untuk mengembalikan pandangan orang-orang dengan sebaik mungkin melayani penumpang. Hasil perbuatan yang dilakukannya memang tak seberapa. Tetapi ia tak pernah menyerah. Setidaknya, ia bisa mengembalikan spirit pengemudi kepada banyak penumpang melalui pelayanan yang ia berikan.
Sedangkan sopir yang akan saya ceritakan kali ini, tak ubahnya sopir bus Damri waktu lalu. Kemarin, saya turut mengantarkan orang tua berobat dengan menyewa sopir angkot yang menjadi langganan keluarga. Kebetulan, masih terdapat seorang penumpang yang hendak turun di terminal desa. Mengetahui kendaraan yang ditumpangi melewati rumahnya, penumpang tersebut meminta menumpang kembali dan urung turun di terminal.
Anda tau, sopir langganan keluarga saya ini justru menolak dengan halus sembari menjelaskan kalaulah ia menuruti permintaan penumpang ini, justru ia mengambil hak sopir lain. Sebab, di terminal telah banyak para sopir angkot yang akan mengangkut penumpang menuju kota.
Aii, alangkah indahnya saling menghargai yang ada diantara sopir. Saya tak banyak menemukan sopir yang bertabiat seperti ini. Yang saya lihat, justru sopir akan setuju dan menurunkan penumpang di tempat yang dikehendaki. Tetapi, sore kemarin memberikan saya pelajaran. Agar saya mampu melihat seluruh insan yang saya temui setiap hari dengan penuh pandangan positif. Terlepas bagaimana tabi’at sebenarnya. Seperti penumpang yang akhirnya turun di terminal bukan di kota seperti yang ia minta. Dan anda tau, ternyata, penumpang tadi membawa satu ranjang dan sekarung penuh berisi pakaian, yang ia jajakan ke rumah-rumah warga di pelosok desa yang jauh dari tempat kelahiran saya.

12 Mei 2016
07.55
Dua insan dalam satu pengamatan
Manusia dikaruniai dua mata, dua telinga, dan satu mulut.

Catatan Sepintas; Kawan Ngaji




Kami kawan ngaji sewaktu kecil. Langgar yang kami tuju, sebenarnya, hanya berjarak 1-2 kilometer. Hanya saja, kami jarang sekali melewati jalan tercepat ini. Ya, lewati pinggiran jalan raya pengubung antar kabupaten ini. Kami lebih menyukai lewat jalan setapak. Lewati bukit, sungai dan rumah orang-orang. Memetik buah entah siapa pemiliknya sambil mengendap-ngendap. Takut ketahuan.

Anda bayangkan saja, kami berjumlah belasan anak yang rata-rata memiliki jarak yang lebih jauh dari sebagian kawan lain di langgar. Jadilah, kami sering berangkat lebih siang jika di waktu piket. Kalau anda ingin bertanya tentang piket, jangan tanyakan tentang menyapu langgar. Melainkan, kami lebih sering mencuci piring dan peralatan masak yang kotor. Beruntung jika musim hujan. Mata air melimpah di dasar sumur. Tetapi naas saat kemarau. Kami harus mencuci ke sungai yang harus menuruni bukit di belakang langgar.

Kami tak pernah mengeluh. Kami selalu tertawa. Tak ada beban. Semua saling membantu. Sekalipun bukan jadwal piket. Kami, yang berjumlah belasan orang yang sering disebut anak lapangan –karena rumah kami dekat lapangan-, selalu membantu kawan yang sedang piket sesama anak lapangan. Kami sangat kompak. Bahkan, kalau tak mau mengaji, kami semua takkan ngaji. Ya, ganjaran yang harus diterima bukan hanya amarah. Melainkan betis akan dipukul dengan rotan sebanyak 2-3 kali. Beruntung jikalau pukulan tak telalu bertenaga, parahnya, guru ngaji saya selalu semangat untuk menghukum. Selepas shalat maghrib dan dzikir, kami akan ditanyakan satu per satu mengapa tidak mengaji tanpa alasan. Jadilah, setelah memberi alasan, kami akan berdiri sambil mengantri.

Ya, seperti ingin menerima makanan saja. Bedanya, saya harus melumuri betis dengan air liur. Konon, sakitnya akan berkurang. Ah, saya rasa itu hanya hiburan kawan saya saja supaya tak terlalu tegang menerima pukulan. Toh, betis yang diberi liur tidaknya, rasa sakit yang saya rasakan tetaplah sama. Menghasilkan beberapa garis memar bekas rotan di betis belakang.

Lagi-lagi, kami tak marah. Kami masih tertawa. Terus bahagia. Terutama, saat pergi mencuci piring-piring ke sungai tatkala kemarau.

Anda bisa bayangkan, mengapa kami begitu lama mencuci piring-piring yang terkadang berjumlah dua keranjang ini, sedangkan kami berjumlah belasan orang? Ya, apalagi kalau bukan dua alasan berikut ini.
Pertama, sebagian dari kami masih berhenti di gudang. Mengambil mangga. Sialnya, saya tak pernah ikut mengambil apalagi memakannya, tetapi, ikut dihukum oleh guru ngaji.

Kedua, ini kegiatan favorit saya. Mencari ikan dan bermain melempar batu agar bisa berjalan ke atas sungai.
Selengkapnya, saya akan ceritakan di salah satu tulisan tentang salah seorang sahabat ngaji saya ini di lembar berikutnya.

Hikayat Seorang Santri Bodoh

Usiaku lima belas tahun waktu itu. Saat aku terbuang ke Madura. Ya, di sebuah pesantren Al-Amien inilah aku harus bersemedi. Tak tanggung...