Friday 29 January 2016

Dibalik Cerita Pasar Malam




Sudah beberapa minggu ini, di kampung saya ramai dengan keberadaan pasar malam. Hiburan ini sengaja ditaruh di tengah lapangan tempat para pemain bola latihan ataupun saat musim tembakau menjadi tempat menjemur yang strategis.


Barangkali, pasar malam di kampung saya ini tak ubahnya pasar malam seperti yang lalu-lalu. Terutama bianglala dan arum manis. Bagaimanapun juga, keduanya sudah mendarah daging dalam tubuh pasar malam.

Bianglala memamg sebuah permainan. Duduk manis di dalamnya dan menikmati sajian keramaian dari pemandangan atas. Pun begitu dengan arum manis, rasanya, membeli arum manis di luar tak senikmat di pasar malam. Entahlah, mungkin momentum yang menjadi sebab musabab perbedaan rasa yang saya nikmati ini.

Ehmm, baiklah. Mengelilingi seluruh area pasar malam ini, mungkin tak pernah saya lakukan sebelumnya. Tentu sembari mengamati para pemilik pasar malam sesungguhnya.

Anda tau, pemilik pasar malam yang sebenarnya bukanlah para anak kecil ataupun pasangan yang menjalin romantis. Melainkan pemilik seluruh wahana di dalam pasar malam ini. ya, merekalah para lakon sesungguhnya.

Sekitar sebulan sekali mereka berpindah dari satu kampung ke kampung yang lain. Mencari rezeki sekaligus berbagi kebahagiaan. Beberapa waktu lalu saya tertegun, saat mendengar cerita salah satu lakon pasar malam.

Adalah seorang lelaki berusia 50-tahunan. Ia sengaja merantau dari daerah sumatera menuju kota saya ini. Tetapi tak seberuntung apa yang diharapkan. Lantas, ia bergabung dengan komunitas pasar malam. Mencari rezeki dari satu daerah ke daerah yang lain. Tanpa memiliki tempat tinggal yang pasti.

Sungguh, saya salut terhadap bapak ini. Pun begitu dengan para lakon yang lainnya. Sekalipun, diantara mereka ada juga yang memiliki tempat tinggal tetap, saya tetap menaruh hormat sedalam-dalamnya.

Ya, saya begitu menghargai kerja keras mereka sekalipun bertempat tinggal di dalam tenda yang terbuat dari triplek dan beratap terpal. Itupun berpindah-pindah. Tak menetap. Tetapi saya betul-betul belajar dari para lakon ini.

Anda bandingkan saja para pemilik wahana yang tinggal di tengah lapangan ini dengan para pengemis penipu. Bukankah, banyak para pengemis yang memasang wajah miris sambil tangan atau kaki dibalut seolah-seolah cacat? Sungguh, benar-benar biadab orang macam itu.

Seenaknya saja meminta rupiah tapi tak mau berkerja. Malah menipu. Bahkan di tempat perantauan saya beberapa waktu lalu, terdapat sebuah kampung yang seluruh keluarganya berprofesi sebagai pengemis. Meminta total. Anda mungkin tak pernah membayangkan sebelumnya. Keseluruhan rumah mereka beralas keramik. Kontras dengan para pemilik wahana pasar malam.

Lebih baik saya membeli sebungkus kacang pada kakek tua di pinggir jalan meski tak butuh daripada saya memberi ratusan ribu kepada pengemis penipu.

Monday 25 January 2016

Sajak di Air Terjun Lereng Raung






Pada kaki tubuhmu aku bertumpu
Mengupas semak belukar beriring salam hujan
Dzikirku masih selalu menyebut bau keringat
Pada tujuh tebing

Risaukan saja ulah pemangsa ketenaranmu
Aku takut kau lebih buruk dari liuk jalanan di sekujur gunung

Lihatlah!
Aku datang dengan telapak menelungkup
Gigil di bawah air yang kau turunkan dari raung
Takkan sanggup ada yang menghalang
Apa-apa yang ingin kau surati lewat alam

Sekali lagi lihatlah!
Aku datang membawa setalam aksara
Perkenankan ku menitipnya di bawah lipatan tebing beserta air tubuhmu
Aku tak lagi mampu mengaitnya sampai menjadi bahasa
Letihku tlah dicabut zaman
Padahal aku tulus berikan nafasku pada waktu

Ia sama saja!
Zaman merenggutnya dari dekuran ombak di pinggir pantai Madura
Tetapi aku masih percaya,

Pada rayuan ombak, kenangan masih menengada
Di telapak puncak gunung air mata berdiri tak lagi di tepi
Dan pada kaki tubuhmu,
Kubiarkan puisi mengalir
Menjadi sampan yang menjemputnya setiap pagi






Ahad, 13 Desember 2015
22.04
Letihku terbayar oleh aroma kaki gunung
deru air yang kau sebarkan dari raung,
Sudah cukup menjadi nikmat yang berhasil kau bagi rata
Dan Pada selir airmu,
 aku ingin bertafakkur mencari gemuruh Tuhan


Sekilas Tentang Kopi; Bagi Saya




Secangkir kopi di pagi hari, benar-benar terasa amat nikmat. Setidaknya, bagi saya. Atau, anda setuju pula? Baiklah-baiklah. 

Kebiasaan saya memang begitu. Tanpa mengisi perut dengan asupan lainnya, seringkali secangkir kopi menyusui usus lewat salam. Ya, terkadang terasa nyeri di lambung, tetapi biarlah. Toh, selepas tegukan pertama, pikiran saya seakan berada di atas padang. Padang pasir atau padang pinus. Beruntung bukan berada di padang buaya yang menjaga para bandar narkoba.

Ya..ya...yaa....

Kopi benar-benar mampu menyulap diri menjadi sebuah kenikmatan yang digerus bibir-bibir tamak manusia seperti saat ini. barangkali, anda setuju tentang pengorbanan biji kopi dari semula menjadi kembang sampai menjadi sisa ampas yang dibuang. Tetapi saya tak mau membicarakan pengorbanan kopi. Amat bosan selalu mengulang topik yang sama tanpa sudut pandang berbeda. Dan kali ini, dengarkan saja apa celotehan saya. Hanya ingin bercerita. Itu saja.

Saya amat rindu secangkir kopi di pagi hari. Benar-benar rindu.

Saya tak tak lagi menikmati kopi di setiap pagi. Bahkan sampai seminggu lebih saya tak lagi meneguknya. Saya menggantinya dengan segelas air selepas bangun istirahat malam. Entahlah, amat susah memang. Mengganti kebiasaan yang amat dicintai dengan tugas baru yang belum dibiasakan. Barangkali anda ingin bertanya, ada gerangan apa saya merubah haluan aktivitas di pagi hari?

Oh, tentu ada. Saya memiliki alasan mengapa saya mengubahnya. Saya hanya mengikuti saran seseorang. Yang sedari dulu cerewet melihat saya menghabiskan bercangkir-cangkir kopi setiap hari. Pagi hari, siang sampai malam. Saya tak lagi bertemu dengannya sekarang. Jarak amat jauh barangkali bisa ditempuh dengan transportasi bahkan teknologi. Tetapi saya pasrah. Teknologi tak selamanya mampu menjawab kedalaman isi hati seseorang. Sekalipun jarak antar kita satu meter, sekalipun kita memakai teknologi tercanggih, tetapi tabi’a hati yang tak mampu diubah, semuanya terasa sama.

Barangkali, sebab jarak yang terhitung sangat jauh ini membuat saya mengikuti nasehatnya. Mengganti secangkir kopi menjadi segelas air di pagi hari. Saya tak perlu memberitahunya sebagai bentuk pamer. Barangkali, saya termasuk orang bodoh yang terus bertahan dengan tubuh penuh luka. Ah, biarkan saja. toh, dia tetap menjadi salah satu motivasi bagi saya dalam merenungi aksara. Barangkali, luka mampu membuat puisi lebih nyaman bermunculan di atas kertas.


Ya, Sudahlah




Tak banyak yang bisa kukatakan pagi ini,
sebatas tampias fajar yang semakin meninggi
Bukan kesibukan membuatku enggan menyapa
sama sekali bukan!
Hanya sapa mengawali pagi
yang pernah kau ucapakan,
kini menjadi kenangan
Ya, itu saja........

“Teramat sulit melepas kenangan”

Laki-laki dengan setelan jas hitam itu bergumam sendiri. Masih bersandar di atas kasur melihat arakan awan dari langit jendela. Barangkali, hidupnya terlampau sulit seperti kedua pundak bahunya yang terus naik-turun mencoba melepas beban. Entahlah, hanya Tuhan dan dirinya betul-betul memahami apa yang telah terjadi.
Cinta? Oh, apakah karena cinta ia tampak letih menjalani hidup? Bukankah, Tuhan sengaja menciptakan cinta agar manusia tampak lebih bahagia? Ya, barangkali karena cinta ia seperti ini. kau tau, cinta mampu bersanding dengan deretan hutang puluhan juta yang dimiliki seseorang yang mampu membuat siapa saja ingin cepat pulang. Ya, tentu bagi sebagian yang merasa lelah dan ingin cepat mati.

Hemmmm....

lagi-lagi karena cinta. Apa yang mesti diperbuat tatkala dikhianati pasangan? Oh, aku tau. Contoh saja lagu Bondan Prakoso –Ya, Sudahlah- betul, bukan? 

Hey, laki-laki itu semakin murung saja. Masih menghitung arus awan. Ah, aku juga sudah bosan menduga apa yang sebenarnya yang ia rasakan. Baiklah, aku juga akan mengatakan Ya, Sudahlah. Semua akan baik-baik saja. Ya, Sudahlah. Kau akan jauh lebih baik saat kau mati dalam keadaan berusaha. Bukan mati dalam keadaan berdiam diri. Ya, Sudahlah.......

Sisa Cerita Tembakau



 Barangkali, cerita saya mengenai tembakau telah saya tuangkan di dalam tulisan terdahulu. Khususnya yang saya peruntukkan kepada para pelancong yang menjenguk para petani tembakau di kampung.




Ternyata, selembar cerita mengenai musim tembakau kali ini masih menyisakan banyak hikayat yang pada awalnya hanya saya terka tak pasti.
Anda tau, abu raung yang menimpa kabupaten khususnya kampung tembakau kami ini memiliki efek yang tidak kalah menghebohkan dibandingkan teror thamrin beberapa hari yang lalu. Saya tak mau mengatakan kalaulah harga tembakau merosot tajam akibat ulah abu raung, melainkan saya juga ingin menyatakan bahwa hal ini tidak terlepas dari peranan ekonomi global pula yang turut lesu.
Tetapi, biarlah Tuhan yang menjawab apa sebab sebenarnya. Yang saya ingin ceritakan kali ini, hanyalah sisa cerita yang ada.
Kemarin lusa, kawan SMP saya menengok lewat pesan singkat. Saling bertanya kabar dan ujungnya ekonomi keluarga. Maklum, kawan saya ini baru saja melangsungkan perkawinan. Dan, yaaa.. saya jawab apa adanya. Terutama, tentang tembakau. Tiba-tiba saja dia memotong alur sapa dengan secuil cerita.
“Kau tau, Riel. Tetanggaku sampai cerai gara-gara tembakau. Dan di Antirogo, malah suami-isteri bunuh diri sebab menanggung hutang yang banyak gara-gara tembakau sekarang ini”
“Ya, kau benar kawan. Banyak orang menanggung rugi sekaligus hutang sampai puluhan juta. Nasib, nasib”
“Memang. Malah tembakau yang berton-ton ada yang dibakar di depan gudang. Gara-gara tak laku pas ditawarkan”
Sejenak mengingat percakapan dengan kawan berkacamata ini, saya ingin tertawa sendiri. Rasa-rasanya, kok saya seperti orang-orang tua saja, ya. Sudah seperti juragan saja. sok pusing. Padahal memang sebenarnya saya juga memusingkan hidup ini.
Ya, sudahlah. Apapun yang terjadi. Bagaimanapun harga tembakau kini, kami sama-sama pusing. Tak hanya para petani atau kuli tembakau, melainkan semua elemen masyarakat di kampung juga turut merasakan.
Anda tidak percaya? Baiklah, datanglah ke kampung kami ini. letaknya di kabupaten Jember, tepi selatan provinsi Jawa Timur. Ada sebuah pasar di kampung kami, yang para pemilik toko kelontongnya keturunan tionghoa. Kami memang hidup berdamai. Tak ada konflik dan saling menghargai. Silahkan anda bertanya. Bagaimana keadaan konsumen di pasar ini. Saya yakin, tanpa saya berkeliling membuat kesepakatan jawaban, insya Allah mereka akan serempak berkata begini:
“Tembakau kali ini, benar-benar mematikan ekonomi”


24 Januari 2016
17. 47
Merajut kembali cerita yang ada

Hikayat Seorang Santri Bodoh

Usiaku lima belas tahun waktu itu. Saat aku terbuang ke Madura. Ya, di sebuah pesantren Al-Amien inilah aku harus bersemedi. Tak tanggung...