Barangkali, pasar malam di kampung
saya ini tak ubahnya pasar malam seperti yang lalu-lalu. Terutama bianglala dan
arum manis. Bagaimanapun juga, keduanya sudah mendarah daging dalam tubuh pasar
malam.
Bianglala memamg sebuah permainan.
Duduk manis di dalamnya dan menikmati sajian keramaian dari pemandangan atas.
Pun begitu dengan arum manis, rasanya, membeli arum manis di luar tak senikmat
di pasar malam. Entahlah, mungkin momentum yang menjadi sebab musabab perbedaan
rasa yang saya nikmati ini.
Ehmm, baiklah. Mengelilingi seluruh
area pasar malam ini, mungkin tak pernah saya lakukan sebelumnya. Tentu sembari
mengamati para pemilik pasar malam sesungguhnya.
Anda tau, pemilik pasar malam yang
sebenarnya bukanlah para anak kecil ataupun pasangan yang menjalin romantis.
Melainkan pemilik seluruh wahana di dalam pasar malam ini. ya, merekalah para
lakon sesungguhnya.
Sekitar sebulan sekali mereka
berpindah dari satu kampung ke kampung yang lain. Mencari rezeki sekaligus
berbagi kebahagiaan. Beberapa waktu lalu saya tertegun, saat mendengar cerita
salah satu lakon pasar malam.
Adalah seorang lelaki berusia
50-tahunan. Ia sengaja merantau dari daerah sumatera menuju kota saya ini.
Tetapi tak seberuntung apa yang diharapkan. Lantas, ia bergabung dengan
komunitas pasar malam. Mencari rezeki dari satu daerah ke daerah yang lain.
Tanpa memiliki tempat tinggal yang pasti.
Sungguh, saya salut terhadap bapak
ini. Pun begitu dengan para lakon yang lainnya. Sekalipun, diantara mereka ada
juga yang memiliki tempat tinggal tetap, saya tetap menaruh hormat
sedalam-dalamnya.
Ya, saya begitu menghargai kerja
keras mereka sekalipun bertempat tinggal di dalam tenda yang terbuat dari
triplek dan beratap terpal. Itupun berpindah-pindah. Tak menetap. Tetapi saya
betul-betul belajar dari para lakon ini.
Anda bandingkan saja para pemilik
wahana yang tinggal di tengah lapangan ini dengan para pengemis penipu.
Bukankah, banyak para pengemis yang memasang wajah miris sambil tangan atau
kaki dibalut seolah-seolah cacat? Sungguh, benar-benar biadab orang macam itu.
Seenaknya saja meminta rupiah tapi
tak mau berkerja. Malah menipu. Bahkan di tempat perantauan saya beberapa waktu
lalu, terdapat sebuah kampung yang seluruh keluarganya berprofesi sebagai
pengemis. Meminta total. Anda mungkin tak pernah membayangkan sebelumnya.
Keseluruhan rumah mereka beralas keramik. Kontras dengan para pemilik wahana
pasar malam.
Lebih baik saya membeli sebungkus
kacang pada kakek tua di pinggir jalan meski tak butuh daripada saya memberi
ratusan ribu kepada pengemis penipu.