Sunday 21 February 2016

Merindui Senja



Aku kembali menemuimu sore ini
jangan kau tanyakan mengapa
tak ada alasan lain sedari pertama kita menyapa
sampai kini tak lagi terdengar komunikasi diantara kita
senja tetaplah setia mendengar segala aksara yang kurangkai di emperan ini

Barangkali, orang-orang di sekitar
sampai bosan melihatku duduk berjam-jam setiap hari
menatap langit barat menunggu senja
padahal harapanku tetaplah tak terwujud
sebab februari saat ini,
tak pernah henti membagi hujan setiap waktu

Biarkan saja mereka menerkaku gila
bukankah, sedari dulu orang-orang menganggapku berbeda?
termasuk dirimu, bukan?

Hey, kau tau
saat jemariku sibuk menyapamu lewat aksara ini
ternyata Tuhan tak mau biarkanku mati tanpa melihat senja
lihatlah!
langit barat menyulap jingga
sekalipun mendung bersikukuh tak mau pergi
tetapi tampiasnya sampai ke langit utara

Ah, pantas saja begini
suara tarhim di masjid sudah memanggil
aku harus bergegas.
tak apa!
aku kan meminta kepada Tuhan
tuk sediakan waktu untukku menyapa senja
agar mampu kulihat

Tuhan tak pernah pergi dariku. Tak pernah.
Dan untukmu,
semoga kau temukan senja
yang terselip diantara cakar gedung berbintang lima


17-Februari-2016 (17.47)
Kau selalu saja berhasil membuatku merindui senja.
padahal kau tak pernah menyapaku seaksara saja.
Kau tau, Dua Puluh Sembilan menit setelah kusapa dirimu tadi,
ku tengok senja sebagai pamit pulang.
ia tersenyum miris mengalirkan air mata
.

Menyendiri Menikmati Hujan



Biarkan aku menyendiri menikmati hujan
di tempat biasa kusurati senja
aku tak meminta apa-apa
sebab aku malu pada Tuhan
di setiap kali aku lupa tak menyapa

Biarkan pula ku dengar peluit kereta
berlalu lalang diantara rapal mushaf
yang dibunyikan anak-anak kecil di tempat ini

Barangkali, suara-suara tanpa dosa
mampu menarik lazuardi yang sembunyi
memaksa air mataku merongrong di muka bumi saja
Layaknya langit yang tak pernah henti
susui hujan di seluruh tubuh Februari


16 Februari 2016
(16.35)
Emperan masjid, tempat ku biasa menyapamu lewat senja

Sunday 7 February 2016

Namanya, Halima



Namanya Halima. Kawan ngaji saya sewaktu kecil. Usianya lebih tua dan kesehatan berpikirnya sedikit terganggu. Bukan gila. Bagi saya, Halima tidak pernah gila. Sekalipun, dia sering marah dan bicara sendiri, atau saat anak-anak kecil berlari mengelilingi Halima sambil berteriak; “Orang Gila. Orang Gila”. Saya tetap pada pendirian. Dia sama sekali tidak gila.
Sewaktu mengaji, kami sering bermain petak umpet dengannya. Dan selalu kami jadikan Halima sebagai pihak yang kalah. Sekalipun begitu, ia selalu senang menghitung angka satu sampai sepuluh. Sesekali saja ia marah. Saat bad mood. Parahnya, bad mood-nya ini datang tak diundang. Seperti saat guru ngaji mengajari Halima mengeja dari huruf ke huruf, tiba-tiba saja dia tak mau menyebut huruf tadi, bahkan pindah duduk ke belakang dan asyik bicara sendiri.
Entah mengapa, tadi siang kami bertemu di depan toko. Sebenarnya, saya sempat  melihat Halima beberapa kali, tetapi hanya sepintas saja. Tak sampai bertatap muka sebab dia di ujung jalan dan menghilang. Barulah tadi, saya bertegur sapa setelah lebih sepuluh tahun saya tak mendengar suaranya. Tampak ia lagi mengais tempat sampah.
“Halima, ingat aku?”
Dia hanya melirik lalu melengos.
“Ma?”
Tetap tak ada sahutan. Dia terus sibuk mengais sampah. Pandangan orang-orang di sekitar tak nyaman. Tetapi, saya tetap berdiri di samping kawan lama ini. Halima tetap tak merespon. Saya hanya berpikir, barangkali, dengan caranya seperti ini dia menganggap saya sebagai temannya. Saya pun bergegas pulang. Tak disangka, saat saya menaiki sepeda dan mengatur gas, tiba-tiba dia menghampiri saya. Melihat barang belanjaan. Lalu tersenyum.
“Roti” ucapnya sambil menunjuk deretan makanan yang ada di depan toko.
“Kau mau roti?” (di dalam hati saya bertanya, darimana ia mengetahui makanan itu bernama roti?)
Dan akhirnya, ia nyelonong pergi.
Bagi anda yang membaca postingan ini, sungguh tak ada maksud kesombongan dari diri saya pribadi. Tulisan ini, hanya sebagai bentuk syukur  bisa bertegur sapa dengan kawan lama. Saya bahagia, sekalipun saya tidak tahu, apakah dia benar-benar mengingat saya sebagai temannya. Saya bahagia, meskipun ingin menangis saat mengenang masa lalu. Saya bahagia, bukan karena saya memberinya roti. Tetapi saya bahagia, sebab dia tersenyum kepada saya seperti waktu mengaji dulu. Tetap dengan deretan gigi hitamnya yang berdiri rapi. Dan bagi saya, dia tetaplah teman. Tidak gila. Sama seperti saya dan anda-anda semua.

Hikayat Seorang Santri Bodoh

Usiaku lima belas tahun waktu itu. Saat aku terbuang ke Madura. Ya, di sebuah pesantren Al-Amien inilah aku harus bersemedi. Tak tanggung...