Saturday 16 April 2016

Untukmu, Bu




 Ah, selalu aku begini, Bu
Tak penah mau mendengar ucapanmu dengan mata syahdu
Tak ada maksud durhaka kepadamu,
Sungguh. Tabia’tku hanyalah kebiasaan yang tak mau pergi jauh

Kau tau, Bu
Bunga-bunga yang kau tanam di dalam hati
Kini mulai bersemi mencari jati diri
Mungkin terlambat, Bu
Tapi aku mohon do’amu
Restu Tuhan yang dikirim lewat dzikir bibirmu

Kalau bukan kepadamu, Bu
Kepada siapa lagi aku kan meminta
Selain Tuhan,
Aku tak lagi percaya akan kehidupan



16 April 2016
15.33
(baru kupahami, hidupmu, teramat berat dan kau tak pernah terlihat berat)

Saya, Kaltim dan Ahmadinejad




Sewaktu menyantri di Bumi Djauhari, saya memiliki seorang sahabat yang berasal dari Kutai, Kalimantan Timur. Umi Kaltsum namanya. Tetapi, saya lebih sering memanggilnya Kaltim. Sampai sekarang. Selain berasal dari timur Kalimantan, saya juga tertarik mendengar nama tempat kelahirannya. Kutai. Kerajaan awal yang mengukir sejarah nusantara.

Dari awal menyantri, saya sekamar dengan sosok kurus sekaligus agak jangkung ini. Beberapa kali sewaktu di tingkatan selanjutnya, saya juga sekelas dan sekamar. Anehnya, cara bersahabat kami cukup unik. Menurut saya. Setidaknya, itu yang saya rasakan. Bukan apa-apa, melainkan cara pandang kita terhadap suatu persoalan. Bahkan, sewaktu kami menduduki kelas V atau setingkat kelas 2 MA, kami bersama-sama mengikuti les psikologi. Alias, pikiran kami yang agak sedikit nyeleneh, membuat kami dibawa ke psikolog.

Entahlah, mungkin cara kami memandang hidup saja yang membuat alur berpikir agak ‘gila’. Memang, sebagian kawan sering menertawakan kami, sebab ke’gila’an yang menghuni pikiran kami.

Saya banyak berhutang budi kepada Kaltim. Bahkan, sekalipun saya menulisnya dalam satu novel utuh, rasanya tak pantas bahkan teramat melas. Sebab, hutang budi yang teramat banyak yang tidak memungkinkan.

Sewaktu menyantri, saya banyak meminjam buku dari Kaltim. Dalam kawan seangkatan, Kaltim memang terkenal dengan anak yang cukup berada, ditambah koleksi buku yang tiada habisnya. Jadilah saya sering menebeng buku kepada anak Kalimantan ini.

Sayangnya, kami terutama saya, sering menelan mentah-mentah isi buku, tanpa mencernanya terlebih dahulu. Entah saat itu saya yang sedang berada di usia rentan, ataukah saya yang menelannya tanpa dikunyah. Jadilah persepsi pikiran saya terkadang agak radikal. Pantas saja waktu itu saya dibawa ke psikolog. Bahkan, kalau anda ingin lebih tau, sewaktu di kelas saya sempat mengkritisi ayat Al-Qur’an terlampau jauh, hingga guru saya mewanti-wanti agar pikiran saya tidak terlalu bebas tanpa ada pijakan yang tepat.

Kembali kepada Kaltim, biasanya selepas membaca salah satu buku, kami akan saling membahas mengenai isi dan berargumen dengan pikiran kami masing-masing. Tidak secara resmi, atau dalam bentuk forum-forum formal, melainkan setiap saat saja, kapan kami menghendaki sendiri sesuai keinginan hati. 

Sedangkan mengenai Ahmadinejad, masing-masing dari kami sangat mengagumi presiden Iran yang terkenal kerasnya tersebut. Jujur saja, kami membahasnya dari keberaniannya melawan Amerika dan Israel. Kami teramat benci kepada dua negara tersebut. Sekali lagi, mungkin kami membaca tanpa mengunyah terlebih dahulu. Sehingga cara pikir kami sangat kurang bijak dan hanya melihat satu aspek saja.

Kembali kepada Ahamdinejad, bukan tanpa alasan kami mengagumi sosok tersebut. Apalagi kalau bukan kesederhanaannya-lah yang membuat kami berdiskusi, sekalipun sambil berjalan ke arah dapur.

Ya, setiap pagi saat Ahmadinejad selalu berkaca. Ia tak pernah merasa sebagai seseorang yang memiliki kekuasaan yang harus dibanggakan. Justru sebaliknya, ia selalu berkaca di depan cermin sambil berkata : “Saya hanya pelayan rakyat”. Ya, itu saja. Dan itulah yang membuat kami jatuh hati, kepada anak dari seorang pandai besi di Teheran sana.

11 April 2016
18.29
Saat mengeja konstitusi Iran, teringat salah seorang sahabat yang lama tak terdengar kabarnya di kota Gudeg sana

Nasehat





“Jangan kau luapkan rasa bahagia secara berlebihan hingga lewati batas. Sebab, akan datang masa kesedihan kepadamu. Dan, jangan pula kau larut dalam kesedihan hingga merasa tak ada guna hidup ini. Sebab, bahagia akan menyapamu setelah rasa sedihmu”

Bahagia & Sedih, seperti dua sisi koin uang logam. Tak bisa dipisah dan selalu bersama
(terucap saat di Madura)

Rabu, 06 April 2016
10.08
Dalam suasana ujian,
mata dan kepala ingin rasanya bersandar
di atas lipatan kapuk dalam kamar.

Thursday 14 April 2016

Surat di Pagi Ini

Sekali lagi, tak ada yang bisa menari pagi ini
Terlambat ku selidiki Jupiter
Yang terburu memeluk bulan

Malam nanti,
Mungkin kukatakan tentang bintang
Akan datang dengan membawa cerita
Yang belum pernah ada

Hikayat Seorang Santri Bodoh

Usiaku lima belas tahun waktu itu. Saat aku terbuang ke Madura. Ya, di sebuah pesantren Al-Amien inilah aku harus bersemedi. Tak tanggung...