Sewaktu
menyantri di Bumi Djauhari, saya memiliki seorang sahabat yang berasal dari
Kutai, Kalimantan Timur. Umi Kaltsum namanya. Tetapi, saya lebih sering
memanggilnya Kaltim. Sampai sekarang. Selain berasal dari timur Kalimantan,
saya juga tertarik mendengar nama tempat kelahirannya. Kutai. Kerajaan awal
yang mengukir sejarah nusantara.
Dari awal
menyantri, saya sekamar dengan sosok kurus sekaligus agak jangkung ini.
Beberapa kali sewaktu di tingkatan selanjutnya, saya juga sekelas dan sekamar.
Anehnya, cara bersahabat kami cukup unik. Menurut saya. Setidaknya, itu yang
saya rasakan. Bukan apa-apa, melainkan cara pandang kita terhadap suatu
persoalan. Bahkan, sewaktu kami menduduki kelas V atau setingkat kelas 2 MA,
kami bersama-sama mengikuti les psikologi. Alias, pikiran kami yang agak sedikit
nyeleneh, membuat kami dibawa ke psikolog.
Entahlah,
mungkin cara kami memandang hidup saja yang membuat alur berpikir agak ‘gila’.
Memang, sebagian kawan sering menertawakan kami, sebab ke’gila’an yang menghuni
pikiran kami.
Saya banyak
berhutang budi kepada Kaltim. Bahkan, sekalipun saya menulisnya dalam satu
novel utuh, rasanya tak pantas bahkan teramat melas. Sebab, hutang budi yang
teramat banyak yang tidak memungkinkan.
Sewaktu
menyantri, saya banyak meminjam buku dari Kaltim. Dalam kawan seangkatan,
Kaltim memang terkenal dengan anak yang cukup berada, ditambah koleksi buku
yang tiada habisnya. Jadilah saya sering menebeng buku kepada anak Kalimantan
ini.
Sayangnya,
kami terutama saya, sering menelan mentah-mentah isi buku, tanpa mencernanya
terlebih dahulu. Entah saat itu saya yang sedang berada di usia rentan, ataukah
saya yang menelannya tanpa dikunyah. Jadilah persepsi pikiran saya terkadang
agak radikal. Pantas saja waktu itu saya dibawa ke psikolog. Bahkan, kalau anda
ingin lebih tau, sewaktu di kelas saya sempat mengkritisi ayat Al-Qur’an
terlampau jauh, hingga guru saya mewanti-wanti agar pikiran saya tidak terlalu
bebas tanpa ada pijakan yang tepat.
Kembali
kepada Kaltim, biasanya selepas membaca salah satu buku, kami akan saling
membahas mengenai isi dan berargumen dengan pikiran kami masing-masing. Tidak
secara resmi, atau dalam bentuk forum-forum formal, melainkan setiap saat saja,
kapan kami menghendaki sendiri sesuai keinginan hati.
Sedangkan
mengenai Ahmadinejad, masing-masing dari kami sangat mengagumi presiden Iran
yang terkenal kerasnya tersebut. Jujur saja, kami membahasnya dari keberaniannya
melawan Amerika dan Israel. Kami teramat benci kepada dua negara tersebut.
Sekali lagi, mungkin kami membaca tanpa mengunyah terlebih dahulu. Sehingga
cara pikir kami sangat kurang bijak dan hanya melihat satu aspek saja.
Kembali
kepada Ahamdinejad, bukan tanpa alasan kami mengagumi sosok tersebut. Apalagi
kalau bukan kesederhanaannya-lah yang membuat kami berdiskusi, sekalipun sambil
berjalan ke arah dapur.
Ya, setiap
pagi saat Ahmadinejad selalu berkaca. Ia tak pernah merasa sebagai seseorang
yang memiliki kekuasaan yang harus dibanggakan. Justru sebaliknya, ia selalu
berkaca di depan cermin sambil berkata : “Saya hanya pelayan rakyat”. Ya, itu
saja. Dan itulah yang membuat kami jatuh hati, kepada anak dari seorang pandai
besi di Teheran sana.
11 April 2016
18.29
Saat mengeja konstitusi
Iran, teringat salah seorang sahabat yang lama tak terdengar kabarnya di kota
Gudeg sana