Agaknya, bumi
Katulistiwa benar-benar bergoncang hebat. Bukan tsunami atau gempa tremor gunung
Bromo, melainkan sandiwara pongkah yang dipertunjukkan “segelintir” manusia
pongah di gedung rakyat.
Ah, andai aku bisa
bicara denganmu, guru. Sudah kukatakan sedari sebulan lalu sandiwara memuakkan
ini. Atau bahkan, kau lebih muak daripada muridmu ini. Tak apa, setidaknya kita
sama-sama muak melihat mereka berdasi ketamakan.
Lihat saja kemarin
malam, saat detik-detik mengambil putusan, ada surat pengunduran diri yang
diterima lalu dijadikan bahan dasar putusan. Pantas saja tokoh yang kukagumi,
prof. Mahfud M.D menganalisis amat tajam mengenai putusan yang tidak
mencantumkan bersalah tidaknya sang PAPA. Ai, sandiwara yang agak sempurna,
bukan untuk mengelabui nasional?
Guru, aku masih
mengingat ucapanmu tentang politik. Meski implisit, dulu aku membayangkan
kalaulah hidup akan bergairah jika memasuki dunia politik. Ternyata, pemahaman
anak berusia sembilan belas tahun yang kau jumpai empat tahun lalu, masihlah
buta tak memiliki matahari yang menyinari jalan hidupnya. Bukan berarti anak
tadi telah memiliki jalan terang saat ini, melainkan lebih gelap dari sebelumnya,
tetapi, anak tadi kembali bertafakkur tentang politik yang kembali didengungkan
banyak guru di perantauan dulu.
Ternyata, politik
membawa arus yang bisa menerjang setiap orang. Aku tak mengatakan politik itu
busuk sebab masih ada sebagian kecil dari yang terkecil berhati baik. Tetapi
arus itu amat tajam. Kalau tak mau mengikuti, kita yang terbuang.
Hei, para Koruptor.
Kau lebih jahat dari maling dan copet jalanan. Kau tau, di kampungku ada
seorang maling kelas kakap. Berkali-kali masuk penjara tetapi berkali-kali pula
berhasil menggaet uang di jalanan.
Apa kau tau, apa
kami membencinya? TIDAK! Kami sama sekali tidak membenci maling tadi. Kampung
kami aman tak ada maling. Kalaupun akan tiba musim maling, ia akan gencar
memberi kabar warga sekitar agar berhati-hati. Ia pula tak mencuri di kota
kami. Tak pakai golok pula untuk menebas leher target. Ia bahkan menyumbang
hasil curian untuk jembatan di sungai di kampung. Untuk anak yatim yang diasuh
beberapa yayasan di desa. Ia tak lupa menyapa petani yang sibuk menggendong
cangkul lalu mengitari sawah. Ia baik amat baik. Jauh lebih baik dari para PAPA
yang ada di Senayan.
Kendati ia maling,
ia tak pernah pertontonkan sandiwara busuk menghindari penjara. Kalaulah ia
memang dipenjara, ia masuki tanpa membuat orang sekampung kami membenci,
melainkan kami akan merasa kehilangan sebab kampung tak lagi aman.
06.20