Monday 28 September 2015

Tengoklah Aku, Tuhan...



Aku tak lagi memiliki gairah. Hidup sebatas terasa menerima. Menjalaninya tanpa upaya memahami. Apakah ini pertanda Tuhan tak lagi berkenan menengokku???

Hai, Tuhanku…
tengoklah makhlukmu yang sombong ini..
kini tengah pesakitan menjalani hidup.
tak ada harapan kembali menunduk dalam pangkuanmu.
binasalah para nafsu yang berhasil menyeretku menjauhi pencipta


hai, Tuhan...
tengoklah daku meski sebatas uap nasi di atas tungku belum terlihat...

Thursday 17 September 2015

Seni minum kopi pagi ini……..



Tegukan pertama:

Kopi cappuccino yang bermakna kelembutan, membuatku semakin sadar bahwa manusia adalah makhluk yang sempurna. Sempurna bukan karena akal pikiran dan hati yang dimiliki –seperti jawabanku sedari dulu-, tetapi sempurna seperti ucapan guruku beberapa waktu lalu. “Manusia memiliki kekurangan dan kelebihan dan disanalah letak kesempurnaannya”

Tegukan kedua:
Kembali ke kopi tadi, ia memiliki sisi pahit dan sisi manis. Sisi pahit kopi melambangkan kekurangan manusia. Sehingga ia sadar bahwa dirinya hanyalah makhluk lemah yang tak memiliki apa-apa. Buktinya, mati pun hanya mengenakan sehelai kain putih yang menutupi tubuhnya. Sedangkan sisi manis kopi yang melambangkan kelebihan, menyadarkan manusia bahwa kelebihan yang dimiliki adalah untuk menutupi kekurangannya bukan untuk menyombongkan diri ataupun menganggap dirinya lebih baik dari orang lain.

Tegukan ketiga:
Yah, sisi manis kopi diciptakan untuk mengimbangi sisi pahit kopi. Bukan untuk menciptakan kopi yang pahit maupun kopi yang manis. Dan disinilah letak kesempurnaan RASA kopi tadi.

Tegukan selanjutnya sampai tegukan terakhir:
Tetapi ingat, kopi tetaplah kopi yang memiliki sisi pahit. Semanis apapun krim pemanis yang dicampurkan, ia tetaplah kopi yang memiliki sisi pahit yang tidak bisa dilupakan. Seperti kehidupan ini……………

“Terima kasih Tuhan, Engkau telah percikkan setetes air di Samudera-Mu, melalui secangkir kopi Cappuccino pagi ini…..”

Malaikat Dan Aku



Patutlah ku ceritakan ini padamu, Guru? Sebab, aku tak pandai menulis beginian. Tapi, tekadku bulat. Cerita ini harus kusampaikan padamu sekarang juga. Maaf, aku tak memaksamu untuk membacanya.
Begini ceritanya………….
Saat ini, seorang lelaki tengah berada di dalam kubur. Dua jam yang lalu ditemukan meninggal di pinggir jalan. Penuh luka lebam pula. Proses pemandian sampai pemakaman berlangsung cepat. Isak tangis keluarga membuatnya terharu tapi ia tak menyesali perbuatannya.
Barulah setelah orang terakhir melangkah pergi, terdengar suara membahana. Melebihi suara Guntur yang ia dengar di dunia. Ia mengerti, kalaulah malaikat penjaga kubur akan datang. Ia tak punya bekal apa-apa. Ia siap dicambuk atas dosa-dosanya. Tapi tidak untuk pembunuhan yang dituduhkan padanya.
“Wahai manusia, apakah kau yang bernama ‘Abdun?”
“Iya malaikat, saya yang bernama ‘Abdun”
“Rupanya, selama hidup kau cukup patuh. Tapi tak jarang kau melanggar perintah Tuhan” ujar malaikat sambil melihat catatan yang dipegang
“Ah, malaikat. Bisikan setan itu terlalu kuat. Sampai-sampai aku tak bisa bedakan yang mana pahala dan yang mana dosa”
“Tunggu sebentar! Kau punya dosa besar manusia! Kau melakukan pembunuhan berencana seorang diri. Benarkah demikian?”
“Tidak malaikat! Aku tidak melakukan pembunuhan itu”
“Mengapa kau berbohong, manusia? Semua amal perbuatanmu ada di catatanku ini” tangan sang malaikat siap mencambuk
“Apa di catatan malaikat tertulis kalau aku membunuhnya dengan sebilah pisau? Atau dengan senjata lain?”
Tiba-tiba malaikat berhenti. Ia memandangi catatan yang dipegang. Di bolak-balik berkali-kali.
“Perkenankan aku menceritakannya, malaikat. Aku tak membunuh siapa pun”
Malaikat hanya diam. Tak ada jawaban.
“Setelah itu, barulah kau boleh menghukumku. Atau, bawa saja aku ke pengadilan di Departement Ketuhanan. Aku yakin, Tuhan adalah hakim Maha Adil. Tak seperti tempat tinggalku di dunia. Melihat rupiah apalagi dollar, palu berkata”
“Jadi begini, malaikat. Aku tinggal di Indonesia”
“Kau tinggal di Indonesia?”
“Iya malaikat, benar itu” rupanya, malaikat bergairah mendengar nama negeriku
“Kau tinggal di negeri yang kaya raya itu? Apa pun ditanam bisa tumbuh, bukan? Ah, sayang. Kalian tak pandai mensyukurinya..
“Benar sekali, malaikat. Aku tinggal di negeri yang kaya tapi aneh”
“Aneh?”
“Iya aneh. Bagaimana tidak aneh kalaulah gedung-gedung di kota besar tumbuh menjulang sedangkan jalanan di kampung-kampung berlubang? Para penguasa sibuk korupsi. Rakyat kecil setiap hari bayar pajak. Membayar mereka yang duduk di kursi dewan. Kata-kata mereka lihai. ‘semua untuk rakyat,,,atas inisiatif rakyat….’ Padahal mereka tak pernah turun ke rakyat”
Sejenak lelaki tadi terdiam. Mengambil nafas.
“Apa lagi?” Tanya malaikat
“Banyak malaikat. Setiap hari para penguasa selalu hadirkan drama. Tak mau kalah saingan dengan para artis. Pembunuhan Munir, misalnya. Sampai sekarang tak diketahui siapa dalangnya”
“Lalu, dengan pembunuhan yang kau lakukan?”
“Aku tak melakukannya, malaikat. Aku muak melihat penguasa. Tapi aku tetap cinta Indonesia. Ku tulis saja pendapatku di koran-koran. Supaya penguasa itu sadar kalau rakyatnya selalu mengawasi. Tapi, aku ditangkap. Entah siapa dalangnya. Tanpa proses pengadilan, aku dihukum penjara. Tapi, aku terus menulis. Ragaku memang tak bebas tapi jiwaku bebas”
“Gerangan apa yang membuatmu ditangkap?”
“Aku menulis tentang KPK, malaikat. Waktu itu, wakil KPK ditangkap Polri. Sedangkan sebelumnya, KPK menangkap calon Kapolri karena terindikasi rekening gendut. Aku melihat adanya politisasi diantara keduanya. Tapi tentu, aku lebih berpihak pada KPK. Supaya koruptor tak merajalela”
“Lalu, kau ditangkap?”
“iya, malaikat. Barangkali, tulisanku membunuh nyali mereka. Sampai-sampai mereka menyiksaku sampai mati”
“Kalau begitu, aku ceritakan dulu pada Tuhan”
“Iya, malaikat. Tapi, bolehkah aku meminta tolong?”
“Apa?”
“Tolong sampaikan untuk negeriku yang semakin aneh itu” kusodorkan selembar kertas yang tertulis…….

SEGANAS-GANAS OMBAK LAUT
IA LEBIH LEMBUT DARI HATI PARA PENGUASA



Yang Tersayang



Siapa yang memarkir kereta jenazah di halaman tubuhku?
Sang empu rumah belum lagi berbenah,
Dan jalan pulang yang dituju
memang sudah terlihat remang-remang

jika kau bilang bahwa hatiku ada ruang yang aku Caesar untukmu,
maka siapa lagi yang aku tunggu selain dirimu?

Kemarilah, sayang! Sejenak saja. Lihat, kereta jenazah
yang diparkir sang waktu telah datang. tercium wangi melati, sayang.
Dan bayang-bayang malaikat Munkar-Nakir duduk di takhta kesayangannya.
Siap mengembara ke sebuah tempat yang belum pernah kita datangi. Kita?
Bukan kita yang akan berangkat. Tapi aku.

Sekali lagi, kemarilah sayang. Buka ruang yang telah aku Caesar untukmu.
Masuklah. Tak ada darah menetes. Hanya sekuntum mawar putih yang takkan
Berubah menjadi merah merona. Ambillah. Sebelum selapis kain putih
Membungkus tubuhku. Semua itu, untukmu. Untuk menyeka dukamu.

Sunday 13 September 2015

Melati Terakhir





Ini melati untukmu, Bintang. Melati ini,
Tidak wangi, memang. Tapi warnanya yang putih, dan wujudnya yang sederhana
Adalah puisi yang kusimpan di setiap ingatan. Aku suka melati ini:
Dalam gemetar aku bertanya, apa artinya wangi dan tidak wangi?
Bukankah yang abadi, kisahku. Bukan soal wangi atau tidak wangi dalam hidup kita?
Yang abadi adalah seberapa sungguh kita mengada,
Tumbuh dalam dunia yang kita damba.
Lalu,  seberapa besar batas dan tepi yang terhampar di hadapan kisah kita?

Bintangku, ada malam-malam panjang dalam hidupku
Tanpa suara gemericik embun, tanpa derai angin reranting. Ada
Kesunyian yang membungkus ruhku, dan kau duduk tersimpuh
Mencuputi satu persatu kelopak melati yang kuberikan padamu

Hikayat Seorang Santri Bodoh

Usiaku lima belas tahun waktu itu. Saat aku terbuang ke Madura. Ya, di sebuah pesantren Al-Amien inilah aku harus bersemedi. Tak tanggung...