Wednesday 27 September 2017

Hikayat Seorang Santri Bodoh

Usiaku lima belas tahun waktu itu. Saat aku terbuang ke Madura. Ya, di sebuah pesantren Al-Amien inilah aku harus bersemedi. Tak tanggung-tanggung. Empat tahun harus aku tempuh tanpa melihat seragam abu-abu di luar. Padahal, aku sangat benci pesantren. Apalagi kalau bukan sistem pendidikannya yang kolot dan terbelakang. Tak satupun kudapati sosok inspiratif yang menyuruhku masuk pesantren. Kecuali orang tua. Bagiku, sudah seharusnya, sebuah fase pencarian jati diri berada di luar. Bersama kawan sekelas mencorat-coret seragam, merayakan kelulusan SMA. Sayangnya, keinginan tersebut harus sirna. Dan semenjak itu, aku merasa Tuhan tak lagi ada
Masa-masa awal menyantri, tentu bukanlah hari yang menggembirakan. Selain cuaca Madura yang lebih panas dibandingkan kampung halaman, kerudung yang kukenakan juga menambah riuh cuaca. Aku tak pernah memakai kerudung sebelumnya. Tak pernah. Pakaianku setiap hari, hanya celana dan kaos pendek. Jauh dari kesan muslimah apalagi sebagai sosok yang saliha. Jadilah aku harus beradaptasi dengan menggunakan kerudung kemanapun pergi. Kecuali di dalam kamar dan kamar mandi.
Selain itu, aku kesulitan dalam pelajaran imla’. Aku sangat benci pelajaran ini. Sebenarnya, pelajaran semacam dikte sewaktu Sekolah Dasar ini, amatlah mudah. Apa susahnya menulis kalimat yang diucapkan pengajar. Hanya saja, kalimat-kalimat tersebut berbahasa Arab. Dan aku, selalu berhasil celingak-celinguk tak karuan. Tak tahu cara menulisnya. Memang, aku bisa sedikit mengaji. Tetapi menulis kalimat yang terdiri dari huruf-huruf hijaiyah, belum pernah aku lakukan. Alhasil, seluruh kalimat yang aku tulis tak memiliki spasi. Bak rimbun rerumputan saja. Bagaimana mungkin tulisanku memiliki jarak antar kata, sedangkan aku sendiri tak paham dimana seharusnya spasi itu diletakkan dan apa pula maksud dari kalimat tersebut. Parahnya, pelajaran ini berlangsung dua kali dalam seminggu ditambah pelajaran yang berbau bahasa Arab lainnya yang dalam sehari notabene berlangsung dua sampai empat mata pelajaran.
Tentu keadaan ini yang membuatku tak kerasan. Berbagai macam keinginan sempat muncul di dalam benak. Termasuk niat untuk kabur dari pesantren. Apa susahnya keluar tengah malam sedangkan uang ada. Hanya membulatkan tekad untuk keluar dari ‘penjara suci’ ini. Sayangnya, bukan persoalan tekad yang membuatku ciut kala itu, tapi wajah kedua orang tua yang pasti kecewa sebab aku kalah oleh keadaan.
Ah, andai kau tau kawan, betapa tersiksanya berdiam diri di dalam penjara suci dengan beban pikiran yang melebihi muatan. Kepala terasa sesak. Tak ada jalan berpikir. Aku merasa kalah gara-gara pelajaran. Bahkan aku sering berdiri di dalam kelas serta menjadi bahan tawa kawan-kawan yang lain sebab susah menghafal mahfudzot tetapi cepat pula menghilang. Pernah pula aku disuruh keluar ruangan sebab tak setor hafalan. Aku benar-benar merasa Tuhan sengaja mempermainkanku saat itu.
Terkadang pula, aku bertanya pada diri sendiri, mengapa Tuhan memberikan jalan hidup yang sama sekali tak ada dalam daftar cerita hidup yang kurangkai. Sungguh aku tak bisa menerka keinginan Tuhan kala itu. Aku hanya bisa bertanya tanpa pernah kutemui jawaban. Seakan alam pun tak mau memberi alasan mengapa Pencipta Semesta melemparku ke dalam keterpurukan.
Sungguh, menjadi orang bodoh dan ditertawakan itu amat menyakitkan. Hingga suatu sore, aku teringat percakapan dengan salah seorang ustadzah. Namanya, ustadzah Fatma. Beliau memanggilku tatkala masih dalam masa syu’bah. Tak diduga, beliau bertanya mengenai bela diri yang kutekuni sebelum menyantri.
Ah, saat itu aku merasa berbeda. Terasa ada celah dalam jalan gelap. Aku tak tau, darimana ustadzah mendapati kabar tentang pencak silat ini. Yang jelas, aku tak mau tau sebab tak ada gunanya. Yang kubutuhkan saat itu, adalah sebuah cerita baru. Sebuah cerita akan hidup setiap manusia yang berbeda-beda dan memiliki tantangan sesuai kodratnya. Hingga akhirnya, aku berhasil menjadi alumni dari sebuah pesantren. Dari sebuah lembaga, yang jauh dari kesan kolot dan terbelakang. Tak seperti anggapanku pada awal mondok dulu. Barangkali, manusia itu akan jadi lebih baik dengan berhijrah. Bukan karena aku merasa menjadi orang baik, tapi hakekat hijrah itu sendiri yang akan menyediakan perubahan.

Hikayat Seorang Santri Bodoh

Usiaku lima belas tahun waktu itu. Saat aku terbuang ke Madura. Ya, di sebuah pesantren Al-Amien inilah aku harus bersemedi. Tak tanggung...