Tuesday 24 May 2016

Catatan Sepintas; Tentang Batu, Sungai dan Semangat




Ini kawan saya, Krishna Waty. Tetapi lebih sering dipanggil Waty. Salah seorang kawan ngaji saya sewaktu kecil. Saya berhutang budi banyak kepada sahabat yang agak jangkung dan kurus ini.

Bukan apa-apa, saya selalu merasa, setiap saya bertemu dengan seseorang terutama yang saya kenal, saya akan memiliki hutang budi kepada mereka semua. Terlepas, apakah orang tersebut tidak suka kepada saya sendiri, saya akan tetap memiliki hutang budi kepada mereka. Selalu.

Kembali kepada sahabat saya ini, biasanya, sewaktu pergi mencuci piring-piring kotor ke sungai, kami tak langsung mencucinya. Melainkan, akan mencari ikan terlebih dahulu. Terutama, sahabat saya ini sangat bersemangat.

Kami akan segera membuat bendungan. Batu-batu akan dijejer mengeliling, sampai terbentuk Lumbang kecil yang biasanya ikan menyusup ke dalamnya. Lalu ikan akan ditangkap dengan wadah selametan yang sejatinya harus kami cuci. Kalaulah tak ada, kami akan bersama-sama menangkap dengan kedua belah tangan. Ada yang bertugas menjaga pintu masuk, ada pula anak yang mengobrak-abrik di dalam lumbang.
Sempat kami kewalahan hanya untuk menangkap seekor ikan Mas. Kecil tetapi gesit. Bahkan sampai suara tarhim di masjid berkumandang, saya dan Waty tetap berusaha menangkap ikan ini. Beruntung sebagian kawan kami telah selesai mencuci semua peralatan. Dan kami berdua, masih terus berjibaku di dalam lumbang. Tak putus asa. Hingga akhirnya, ikan tadi dapat kami tangkap sewaktu semua anak beranjak kembali ke langgar. Dan ikan pun kami bungkus dengan sampah plastik. Lalu kami taruh di kamar mandi guru ngaji.

Atau, di lain waktu, sahabat saya ini mengajarkan saya melemparkan batu yang bisa berjalan di atas sungai. Saya terperangah, sewaktu melihat pemandangan ini. Batu ini bisa berjalan, sampai tiga bahkan lima lompatan di atas sungai. Pada intinya, saya diajarkan untuk memilih batu yang berbentuk agak pipih agar mudah bisa berjalan. Selanjutnya, jangan dilempar seperti orang membuang sampah, melainkan batu harus terletak diantara ibu jari dan telunjuk, lalu lemparlah dengan gaya jemari menyamping ke atas permukaan sungai. Perlu diingat. Jangan sembarang melempar. Harus dilihat arus terlebih dahulu. Jangan dilempar ke atas sungai yang berarus deras. Tetapi, lemparlah ke atas sungai yang tenang. Tidak ada arus. Ini memudahkan batu dapat berjalan di atas air.

Agak sulit bagi saya sewaktu pertama kali mencoba. Berulang kali saya mencari batu lalu melempar. Tak ada yang bisa. Hanya menghasilkan bunyi, plung. Batu tenggelam tanpa sempat berjalan. Begitu berulang-ulang. Akhirnya, entah kesekian kalinya, saya berhasil.

Sungguh, saya teramat bahagia melihat batu yang saya lempar, ternyata berjalan di atas air meski hanya satu dan dua lompatan. Tak ada yang bisa menandingi kebahagian saya waktu itu. Dan inilah salah satu alasan mengapa saya memiliki hutang budi kepada Waty, yang saya sendiri meyakini, takkan bisa dibayar oleh apapun.

Tuturan Sopir Sore Ini



Jujur saja, semenjak kelas 3 Sekolah Dasar, saya baru mengenal sosok yang bernama ‘sopir’. Bukan apa-apa, nyatanya mulai usia 9 tahun itulah, untuk pertama kalinya saya naik angkot seorang diri. Maklum saja, jarak antara rumah dan sekolah terpaut agak jauh. Sedangkan kedua orang tua saya mesti bekerja di sawah. Akhirnyalah, saya pergi sekolah seorang diri. Bahkan, semenjak TK, saya sudah naik becak tanpa diantar apalagi ditunggu orang tua di sekolah. Eits, tunggu dulu. Pengayuh becak sudah disewa ibu saya, untuk antar jemput tentunya. Dan ini berlangsung sampai kelas 2 Sekolah Dasar.
Yah, terkadang saya bertanya mengapa saya tak pernah ditunggu orang tua di sekolah, seperti sebagian besar teman saya. Ah, tak apalah. Toh, saya tak menangis dan memiliki banyak teman yang menghantarkan banyak persoalan yang mesti diselesaikan.
Terkait sopir tadi, khususnya saat Sekolah Menengah Pertama, saya memiliki sopir langganan khusus teman-teman saya yang sejalur. Lek Kadim namanya. Jangan pernah tanyakan bagaimana kebaikannya, sebab sampai sekarang, saya belum pernah menemukan sopir pengganti ini.
Menginjak perantauan saya ke Bumi Djauhari, saya juga mengenal beberapa sopir bus Damri. Ya, setiap pergi-pulang, saya akan menumpang bus pemerintah ini. Sempat di akhir perjalanan pulang saya sewaktu menyantri, sopir ini tiba-tiba bercerita terkait profesi yang digeluti. Ia merasa miris terkait anggapan orang-orang. Maklum saja, sebagian besar menilai sopir memiliki perilaku buruk. Baik karena ugal-ugalan, bekerja sama dengan pencopet, bahkan wanita. Dan sopir yang bercerita kepada saya itu, berusaha untuk mengembalikan pandangan orang-orang dengan sebaik mungkin melayani penumpang. Hasil perbuatan yang dilakukannya memang tak seberapa. Tetapi ia tak pernah menyerah. Setidaknya, ia bisa mengembalikan spirit pengemudi kepada banyak penumpang melalui pelayanan yang ia berikan.
Sedangkan sopir yang akan saya ceritakan kali ini, tak ubahnya sopir bus Damri waktu lalu. Kemarin, saya turut mengantarkan orang tua berobat dengan menyewa sopir angkot yang menjadi langganan keluarga. Kebetulan, masih terdapat seorang penumpang yang hendak turun di terminal desa. Mengetahui kendaraan yang ditumpangi melewati rumahnya, penumpang tersebut meminta menumpang kembali dan urung turun di terminal.
Anda tau, sopir langganan keluarga saya ini justru menolak dengan halus sembari menjelaskan kalaulah ia menuruti permintaan penumpang ini, justru ia mengambil hak sopir lain. Sebab, di terminal telah banyak para sopir angkot yang akan mengangkut penumpang menuju kota.
Aii, alangkah indahnya saling menghargai yang ada diantara sopir. Saya tak banyak menemukan sopir yang bertabiat seperti ini. Yang saya lihat, justru sopir akan setuju dan menurunkan penumpang di tempat yang dikehendaki. Tetapi, sore kemarin memberikan saya pelajaran. Agar saya mampu melihat seluruh insan yang saya temui setiap hari dengan penuh pandangan positif. Terlepas bagaimana tabi’at sebenarnya. Seperti penumpang yang akhirnya turun di terminal bukan di kota seperti yang ia minta. Dan anda tau, ternyata, penumpang tadi membawa satu ranjang dan sekarung penuh berisi pakaian, yang ia jajakan ke rumah-rumah warga di pelosok desa yang jauh dari tempat kelahiran saya.

12 Mei 2016
07.55
Dua insan dalam satu pengamatan
Manusia dikaruniai dua mata, dua telinga, dan satu mulut.

Catatan Sepintas; Kawan Ngaji




Kami kawan ngaji sewaktu kecil. Langgar yang kami tuju, sebenarnya, hanya berjarak 1-2 kilometer. Hanya saja, kami jarang sekali melewati jalan tercepat ini. Ya, lewati pinggiran jalan raya pengubung antar kabupaten ini. Kami lebih menyukai lewat jalan setapak. Lewati bukit, sungai dan rumah orang-orang. Memetik buah entah siapa pemiliknya sambil mengendap-ngendap. Takut ketahuan.

Anda bayangkan saja, kami berjumlah belasan anak yang rata-rata memiliki jarak yang lebih jauh dari sebagian kawan lain di langgar. Jadilah, kami sering berangkat lebih siang jika di waktu piket. Kalau anda ingin bertanya tentang piket, jangan tanyakan tentang menyapu langgar. Melainkan, kami lebih sering mencuci piring dan peralatan masak yang kotor. Beruntung jika musim hujan. Mata air melimpah di dasar sumur. Tetapi naas saat kemarau. Kami harus mencuci ke sungai yang harus menuruni bukit di belakang langgar.

Kami tak pernah mengeluh. Kami selalu tertawa. Tak ada beban. Semua saling membantu. Sekalipun bukan jadwal piket. Kami, yang berjumlah belasan orang yang sering disebut anak lapangan –karena rumah kami dekat lapangan-, selalu membantu kawan yang sedang piket sesama anak lapangan. Kami sangat kompak. Bahkan, kalau tak mau mengaji, kami semua takkan ngaji. Ya, ganjaran yang harus diterima bukan hanya amarah. Melainkan betis akan dipukul dengan rotan sebanyak 2-3 kali. Beruntung jikalau pukulan tak telalu bertenaga, parahnya, guru ngaji saya selalu semangat untuk menghukum. Selepas shalat maghrib dan dzikir, kami akan ditanyakan satu per satu mengapa tidak mengaji tanpa alasan. Jadilah, setelah memberi alasan, kami akan berdiri sambil mengantri.

Ya, seperti ingin menerima makanan saja. Bedanya, saya harus melumuri betis dengan air liur. Konon, sakitnya akan berkurang. Ah, saya rasa itu hanya hiburan kawan saya saja supaya tak terlalu tegang menerima pukulan. Toh, betis yang diberi liur tidaknya, rasa sakit yang saya rasakan tetaplah sama. Menghasilkan beberapa garis memar bekas rotan di betis belakang.

Lagi-lagi, kami tak marah. Kami masih tertawa. Terus bahagia. Terutama, saat pergi mencuci piring-piring ke sungai tatkala kemarau.

Anda bisa bayangkan, mengapa kami begitu lama mencuci piring-piring yang terkadang berjumlah dua keranjang ini, sedangkan kami berjumlah belasan orang? Ya, apalagi kalau bukan dua alasan berikut ini.
Pertama, sebagian dari kami masih berhenti di gudang. Mengambil mangga. Sialnya, saya tak pernah ikut mengambil apalagi memakannya, tetapi, ikut dihukum oleh guru ngaji.

Kedua, ini kegiatan favorit saya. Mencari ikan dan bermain melempar batu agar bisa berjalan ke atas sungai.
Selengkapnya, saya akan ceritakan di salah satu tulisan tentang salah seorang sahabat ngaji saya ini di lembar berikutnya.

Alasan mengapa saya mencintai senja dan bintang secara bersama



Saya tak pernah tau, sejak kapan saya begitu mengagumi senja dan bintang. Yang saya ingat, saya begitu bahagia menatap keduanya. Sangat.

Barangkali, inilah salah satu alasan diantara beberapa alasan yang harus saya gali lagi terkait senja dan bintang.

Dulu, sewaktu saya pergi ngaji, dan kami yang piket harus mencuci piring-piring kotor ke sungai, kami harus menuruni bukit untuk sampai ke sana. Atau, kami memilih jalan lain yaitu lewati gudang tembakau yang dibelakangnya berbatasan langsung dengan bibir sungai. Anda tau, senja yang sangat memikat saya sampai saat ini, selain senja di Bumi Djauhari, ya, senja saat saya pergi ke sungai ini. Sebelumnya, saya memang sering melihat senja dari bibir sungai. Bukan apa-apa, sungai ini mengalir ke arah barat. Jadi, saya sering duduk menikmati sejenak keindahan alam ini.

Kembali kepada senja yang memikat saya sampai rasanya teler. Waktu itu, kami berjalan lewati gudang tembakau. Bukan lewati bukit di belakang langgar. Antara sungai dan gudang tembakau, dibatasi dengan tembok sebagai benteng. Satu-satunya penghubung antara keduanya, hanyalah anak tangga yang melingkar.
Wauw, sungguh pemandangan yang takkan pernah terlupakan. Tatkala saya berjalan melewati pintu tangga, dan berdiri di salah satu anak tangga, mata saya terpana melihat kecantikan senja. Selain tubuh jingga yang mempesona, senja kali ini seakan-akan turut tenggelam di ujung sungai. Ya, sungai yang deras ini, 
menghadap ke arah barat. Jadilah, sinar jingga senja, memantul di atas tubuh sungai. Waktu itu, beberapa kawan saya melarang saya melihat senja, sebab mata telanjang tak baik melihat sinar matahari secara langsung. Hanya saja saya tak hiraukan nasehat mereka. Saya takjub melihat senja sembari menuruni anak tangga, dan senja seakan menyatu dengan sungai.

Ya, barangkali, inilah salah satu alasan saya mencintai senja bersama bintang sekaligus. Dimulai dari petualang ngaji di sore hari sampai pulang menatap bintang di malam hari

Wednesday 4 May 2016

Kebahagiaan Bukanlah Sebuah Benda



(Dimuat di Jawa Pos Radar Madura)

            Sebagai makhluk yang paling sempurna, manusia senantiasa lupa akan jati dirinya. Ia lupa dari mana ia berasal dan juga lupa siapa yang  menciptakannya. Sungguh ironis melihat hal seperti ini. Mengingat, betapa majunya zaman saat ini yang menuntut manusia dalam melakukan sesuatu dengan tergesa-gesa dan juga rela tergila-gila kerja karena terobsesi pada “kesuksesan” yang tak jarang berujung pada deperesi. Tragisnya, mereka kehilangan apa yang diharapkan semua orang yakni kebahagiaan.
            Kebahagiaan bukanlah benda yang bisa dibeli. Sebagaimana kisah Socrates, seorang filsuf Yunani yang terkenal akan kecintaannya kepada pasar. Ia selalu pergi ke pasar jika jadwalnya memungkinkan. Sering kali, ia mengubah jadwalnya supaya bisa datang ke sana. Kendati demikian, ia jarang sekali membeli sesuatu. Salah seorang muridnya bertanya: Mengapa anda begitu sering pergi ke pasar dan berbelanja begitu sedikit?” Socrates tersenyum dan menjawab, “ Aku hanya suka melihat segala macam barang-barang bagus yang tak kubutuhkan itu
            Dalam hal ini, jika kita menganggap kebahagiaan adalah benda yang bisa dibeli, maka seberapa banyak benda yang akan kita beli untuk mendatangkan kebahagiaan itu sendiri? Dan juga, seberapa besar uang yang akan kita keluarkan untuk membeli benda yang bernama kebahagiaan tersebut? Sedangkan manusia itu sendiri tak pernah puas akan apa yang ia miliki. Manusia memiliki sifat yang selalu merasa kurang dan kurang. Selalu melihat apa yang belum ia miliki bukan seberapa banyak yang telah ia miliki. Yang ada dalam pikirannya hanyalah kebahagiaan yang bisa dilihat dari segi nominal atau  material sehingga kebahagiaan yang dirasakan hanya bersifat sesaat.
            Setelah kita mengetahui bahwa kebahagiaan bukanlah sebuah benda, lantas apa kebahagiaan itu sendiri? Menurut asumsi penulis, kebahagiaan adalah siapa diri kita. Dalam kata lain, kebahagiaan adalah keadaan diri kita yang asli. Sebuah kondisi jiwa yang jarang dimiliki manusia saat ini karena batin mereka hanya dipenuhi dengan kata kerja dan kerja tanpa mengetahui tujuan dari pekerjaan itu sendiri selain mendapatkan sisi material.
            Kebahagiaan yang penulis rujuk saat ini adalah kebahagiaan yang tidak bisa diproduksi atau dibuat di suatu pabrik. Kebahagiaan itu sudah ada sejak semula. Ia sudah menyatu dengan diri manusia itu sendiri. Oleh karenanya, kebahagiaan itu disebut dengan kebahagiaan batin. Sebuah kebahagiaan yang tidak seorang pun yang tidak memilikinya namun jarang yang sadar akan kehadirannya.
            Dengan mengetahui bahwa kebahagiaan itu ada pada diri kita sendiri, maka kita akan mampu untuk membedakan antara kebahagiaan sejati dan kebahagiaan sesaat. Sehingga akhirnya kita akan lebih banyak bersyukur atas karunia Allah SWT selama ini. Misalnya, setiap pagi kita tidak pernah bersyukur kepada Allah akan kesempatan diri kita untuk mencicipi kehidupan ini, sehingga kita bisa bertemu dengan orang tua, saudara, sahabat dan orang terdekat kita. Padahal, jika Allah berkenan menghentikan denyut jantung kita sedetik saja, barulah saat itu kita menyadari betapa besar nikmat yang telah Ia berikan. Oleh karena itu Allah memperingati manusia sampai sebanyak tiga puluh satu kali pada surat Ar-Rahman dengan lafadz “Fabiayyi Aa Laa i Robbikuma Tukaddzibaan” Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?
            Oleh karena itu, melihat manusia cenderung kepada kufur daripada syukurnya, hendaknya kita lebih memaknai janji Allah yang termaktub dalam surat Ibrahim ayat 7: “Lain Syakartum Faaziidannakum wa Lain Kafartum Inna ‘Adzabi La Syadiid”. Barang siapa yang bersyukur, maka akan aku tambah nikmatnya dan barang siapa yang mengingkari, sesungguhnya adzabku sangatlah pedih. Namun yang paling penting dalam meraih kebahagiaan itu sendiri adalah sikap kita dalam mencari kebahagiaan di dunia dan juga kebahagiaan di akhirat. Karena itulah kebahagiaan sejati yang dicintai Ilahi Rabbi.

Hikayat Seorang Santri Bodoh

Usiaku lima belas tahun waktu itu. Saat aku terbuang ke Madura. Ya, di sebuah pesantren Al-Amien inilah aku harus bersemedi. Tak tanggung...