Sungguh
kebahagiaan tersendiri teruntuk saya pribadi, sebab dapat merasakan bagaimana
memasuki gerbang pesantren dan berdiam diri selama 5 tahun lamanya di ujung
Madura sana. Barangkali, sebab musabab awal menyantri, telah saya ceritakan di
tulisan yang lalu. Dan kali ini, sesuai janji saya terdahulu, saya akan
menyambung kembali kisah-kisah yang pernah ada dan selalu ada. Maka, izinkanlah
dalam tulisan kali ini, saya awali dengan ungkapan terima kasih yang tak
terhingga.
Pertama
Kepada
Alm. Kyai M. Idris djauhari. Harus saya akui, betapapun kekaguman sekaligus
kisah mengenai beliau saya tuangkan dalam tulisan, tentu, takkan ada lembar dan
pena yang sanggup mewadahi segala unek-unek serta isi hati. Saya yakin, bukan
hanya saya saja yang merasakan demikian, melainkan seluruh alumni dan
santri-santrinya akan merasakan hal yang sama. Mengapa demikian? Gerangan apa
yang sanggup membuat kami sampai berdiri dan menunduk ta’dzim? Ya, kharismanya-lah
yang membuat hati kami bergetar tatkala mengingatya. Sekalipun saya tidak pernah
berjabat tangan dengan beliau, tetapi, bertemu sekaligus menatapnya adalah
suatu kebahagiaan tersendiri bagi sanubari.
Mengingat
beliau, saya takkan lupa tatkala di hari pertama menyantri. Kedua orang tua
saya telah kembali ke Jawa. Tinggalah saya seorang diri memulai diri
beradaptasi. Hingga di sore hari, dikumpulkanlah seluruh anak baru di dalam
aula. Kami yang tak pernah kenal sebelumnya, saling bertanya nama dan berasal
dari mana. Salah satu upaya menghibur diri menciptakan suasana kerasan. Ada yang
berasal dari daerah Madura, ada pula yang dari Jakarta serta Bangka. Inilah,
pertemuan pertama saya dengan kawan-kawan dari berbagai daerah. Dan tibalah di
awal acara, seseorang berapakain jubah putih, duduk di tengah podium. Sekilas,
saya mengajak pikiran saya kembali menyelami kelas 2 SMP. Agaknya, seseorang di
depan saya ini pernah saya temui. Ya, sepertinya beliau memang pernah ke rumah
saya, yang mana sebelum pamit pulang beliau bertanya pada bapak, apakah ini
putri bapak? Bapak saya hanya mengangguk. Lalu, kyai tadi melanjutkan: “Nanti
menyusul ke Madura, mondok sampai lulus”.
Ai,
saya tak menyimpan benar kalimat kyai tadi. Nyatanya, saya cukup kecewa sebab
hari Minggu saya terganggu. Saya tak lagi bisa melihat kartun kesayangan saya:
Detective Conan. Dan satu hal lagi, kata menyantri amat jauh dari pikiran dan
keinginan saya. Dan itu tidak mungkin terjadi.
Dan
sungguh, sangatlah kuasa campur tangan Tuhan. Setahun lebih, ucapan kyai tadi
terbukti. Saya menyantri di Madura. Dan beliau, berbicara di depan saya di hari
pertama menyantri. Dan kalimat beliau yang tidak akan pernah saya lupa: “Disini
kalian juga memiliki orang tua. Mulai sekarang, saya abah kalian”
Ya,
itulah perjalanan awal saya yang dimulai dengan sapa sang Kyai...
Kedua
Kepada
semua ustadzah dan wali kelas, khususnya disaat awal saya menyantri. Kesulitan
pertama yang saya hadapi di pondok ialah pelajaran yang berbau arab. Entah
mengapa, saat pelajaran tersebut, membuat kepala saya mengerut sekaligus
menyusut. Parahnya, semua pelajaran dihantarkan dengan bahasa arab. Jadilah
saya celingak-celinguk tak karuan. Beruntung bagi kawan yang lulusan Madrasah
ataupun yang pernah mengenyam pendidikan bahasa arab di kampungnya. Lah,
saya???
Tetapi,
lagi-lagi Tuhan tidak membiarkan saya sedih terus menerus. Wali kelas yang
dihadirkanNya, membuat saya terus semangat menjelajahi dunia pesantren. Para
wali kelas, yang senantiasa sabar membimbing saya yang sulit menghafal dan
cepat pula hilang. Para usth, yang selalu telaten melihat tulisan arab saya yang
salah total. Anda bayangkan saja, di dalam kalimat bahasa indonesia saja, spasi
menjadi hal mutlak untuk membedakan satu kata dengan kata yang lain. Pun begitu
di dalam bahasan arab. Parahnya, saya tak memberi spasi satu pun dalam semua
tulisan sebab saya tidak tau disebelah mana spasi tersebut diletakkan.
Hahaa......tentu
saat ini saya bisa tertawa mengingatnya. Tetapi, jangan anda tanyakan saat saya
masih mengalami peristiwa tujuh tahun lalu tersebut. Menangis adalah pilihan
saya. Tentu, saya tak menangis di depan kawan ataupun ustadzah. Saya cukup
menangis saat adzan menyapa. Ditambah dengan nasib yang jauh dari orang tua.
Lengkaplah tangisan saya tersebut.
Ketiga
Ust.
Moh. Hamzah Arsa, Guru pertama yang mengatakan kalaulah saya bisa menulis.
Jujur saja, awalnya saya memang salah memilih kegiatan ekstakurikuler. Ya,
bagaimana mungkin saya memilih bidang tulis menulis, lah wong saya tak bisa
menulis puisi, cerpen, atau yang lain. Kalau sekedar suka, ya, saya suka.
Tetapi untuk merangkai kata yang berkias, bukan saya spesialisnya. Hingga
akhirnya, saat saya bergelut di kegiatan tersebut, saya ikuti arusnya dengan
ikhlas. Bersama kawan Panah Pers, yang membuat saya mengerti arti kerja keras,
persahabatan, ego dan masih banyak lagi. Di lain hal, saya akan ceritakan kawan
Panah Pers tadi di bagian lain. Dan terakhir, sampai saat ini, saya takkan
pernah mengatakan jikalau saya bisa menulis. Melainkan, saya akan terus belajar
menulis.
Keempat
Ungkapan
terima kasih kepada semua elemen di dalam pesantren. Ibu-ibu petugas pengambil
sampah, bapak-bapak yang siap siaga melakukan banyak hal, ibu-ibu penjaga
wartel yang terkadang cerewet melihat santri menelpon terlalu lama padahal
antrean panjang, ibu foto copy yang selalu membantu saya tatkala bermasah
dengan jam tangan, ibu kantin dan ibu dapur. Untuk yang disebutkan terakhir,
saya ucapkan beribu terima kasih. Saya tahu, ucapan ini barangkali tidak akan
tersampai pada anda semua. Tetapi, kebaikan ibu dapur yang tak pernah letih,
saya tak bisa membalasnya. Bayangkan saja, saya menjadi anak emas bagi beliau.
Kalaulah saya tak makan, entah karena kesibukan atau malas, ia akan menitipkan
sebungkus nasi untuk saya. Apalagi kalau saya sakit. Masih belum lauk yang
ditambah. Ah, masih banyak kebaikan beliau. Dan saya, tak melakukan apa-apa
kecuali menjadi pendengar yang baik, tatkala ibu dapur ingin bercerita.
Hehehehe........