Pendidikan di Indonesia ibarat sebuah perjalanan yang amat jauh. Bukan
persoalan berapa lamanya melainkan banyak rintangan yang harus dihadapi. Mulai
dari jalanan yang berlubang, mobil yang tersendat-sendat bahkan sang sopir yang
rawan ugal-ugalan.
Jika direalisasikan dalam dunia pendidikan, jalanan yang berlubang tadi
diibaratkan sebagai pemerintah. Lembaga yang menyiapkan program guna
mencerdaskan anak bangsa. Nyatanya, pendidikan yang dicanangkan sebagai benteng
kekuatan bangsa hanya sebatas pepohonan yang mampu disentuh bagi mereka yang
memiliki galah. Artinya, setelah 68 tahun Indonesia merdeka sampai saat ini
masih banyak rakyat yang belum mampu meneruskan pendidikannya hingga ke
perguruan tinggi. Sungguh pemandangan yang sangat kontras jika dibandingkan
dengan pernyataan presiden beberapa waktu lalu yang mengatakan pertumbuhan
ekonomi bangsa semakin baik tiap tahunnya. Seharusnya, pertumbuhan ekonomi yang
semakin baik diiringi dengan peningkatan pendidikan yang baik pula. Bukan
sebaliknya.
Persoalan kedua dari rintangan pendidikan di Indonesia yakni datang dari
pendidik itu sendiri. Sejatinya, seorang pendidik bukanlah seseorang yang hanya
mentransfer ilmu saja melainkan membimbing anak didiknya menjadi individu yang
berkualitas. Seorang pendidik sejati bukanlah mereka yang hanya berprofesi
sebagai guru melainkan harus berjiwa guru. Namun, kenyataan saat ini mengatakan
sebaliknya. Berbagai kasus yang melibatkan guru sering terjadi. Mulai dari
pelecehan seksual terhadap anak didiknya hingga kasus pembunuhan antar guru
hanya karena masalah jual beli. Sungguh ironis melihat kenyataan tersebut namun,
akan lebih baik apabila semua pendidik memiliki kesadaran bahwasannya mereka
tidak hanya sekedar mentransfer apa yang terdapat di dalam buku kepada anak
didiknya, melainkan mengajari apa yang dibutuhkan dalam kehidupan katakanlah
etika. Bagaimana mungkin mereka mampu mendidik para muridnya jika etika mereka
saja tidak bisa dicontoh?
Adapun persoalan yang terakhir yakni dari anak didik itu sendiri. Jika
pemerintah sudah menyediakan infrastruktur yang baik, para pendidik sudah
memiliki jiwa guru lantas, bagaimana dengan anak didik itu sendiri? Rupanya,
realita saat ini memiliki cerita yang tak jauh berbeda dengan kedua rintangan
di atas. Hampir setiap hari kita melihat dalam dunia massa entah di koran
ataupun televisi mengenai kejahatan yang dilakukan para remaja yang notabene
tergolong pelajar. Katakanlah aborsi. Aborsi ini merupakan upaya terakhir dari
pelaku dalam menghilangkan jejak kejahatan yang mereka lakukan. Sungguh ironis
melihat pemuda bangsa lain berlomba-lomba dalam membangun negaranya namun,
pemuda Indonesia sendiri malah sibuk dengan kesenangan mereka sendiri. Sungguh
ironis pula ketika melihat para pemuda bangsa lain mencintai dan menjaga budaya
negaranya justru pemuda Indonesia lebih mencintai budaya negara lain.
Namun, dari sejuta persoalan yang dihadapi negeri ini bukan berarti tidak
ada solusi. Kesadaran ini harus dimulai dari sekarang bukan esok ataupun tahun
depan; oleh pemerintah, para pendidik dan tentunya kita: anak didik.