Sunday 31 July 2016

Petuah Juk Tuah

Dimuat di Radar Jember Tanggal 24 Juli 2016



Galah yang jauh lebih jangkung dari tubuhku, masih terus kugenggam. Bambu tempat pengait tembakau ini agak berat memang. Akan terasa ringan saat dibawa lari. Tentu ujung bambu yang di belakang tak boleh terangkat. Supaya ikut terseret.
Seperti sore ini. Banyak galah ikut berlari. Mengejar layangan yang kalah bertarung di langit sana. Sepertinya, angin tak seribut hari kemarin. Mengamuk saat banyak layangan tengah sibuk berjuang pertahankan kekuatan senar. Tak apa. Bagiku sama saja. Aku bukan petarung layangan yang harus kecewa saat angin tak bersahabat. Aku hanya sekedar pengejar layangan. Bahagia bila ada layangan putus lalu menyangkut di dahan pohon. Kaki ini akan berlari secepat mungkin, berlomba dengan kawan lain. Sambil membawa galah yang ujungnya telah dikaitkan reranting kecil, untuk menggulung sisa senar layangan yang tengah tersangkut.
“Har, sudah banyakkah layangannya?”
“Belum, Rus. Masih enam.”
“Oh, buatku saja, ya?”
            Tak sulit Rustam menemuiku di bukit Juk Tuah ini. Selain cerita angkernya, ada sebuah kuburan di puncak bukit. Tak ada yang berani melewati kuburan tadi apalagi mengejar layangan. Termasuk aku. Hanya saja, aku sering berada di bawah kaki bukit. Meramal ujung lintasan yang akan dilewati layangan.
            “Eh, itu ada yang putus,” gumam Rustam
Ya, sebuah layangan melintas tepat di atas kepala. Angin membawanya lebih jauh. Layangan tadi menukik ke bawah perlahan. Kuseret kaki meliuk-liuk diantara semak rerumputan. Menaiki bukit bersama galah yang turut kuseret. Sementara tangan kiri, memegangi saku celana yang mengeluarkan gemerincing logam.
Benar dugaanku. Layangan tadi menyangkut di atas pohon rambutan. Galah yang sudah terpasang reranting, kujulurkan ke atas. Ah, sial. Tubuhku terlalu kecil meski memakai galah yang lebih jangkung. Ujung senar layangan yang melambai-lambai, tak bisa kugulung. Terpaksa kedua kaki harus menjinjit di atas sebongkah batu yang dilumuti lumut. Agak licin memang.
“Anak nakal. Apa kau tak lihat, batu yang kau injak itu nisan Juk Tuah?” ibu mengawali kemarahannya sambil menenteng telinga kananku.
Kulihat batu yang telah kuinjak. Sial. Ada satu batu lagi di bawah pohon rambutan. Membentuk sebuah ukuran kuburan.
“Bukankah sudah kukatakan berkali-kali. Jangan pernah main kesini. Kau tak takut biibih membawa lari dan tak kembalikan tubuhmu ke dunia ini?” omelan ibu meluncur lebih lanjut. Kupegangi lengannya lebih erat. Cerita biibih telah menjadi legenda turun temurun di kampungku. Sosok dari dunia lain yang membawa lari anak kecil ke dalam dunia gaib. Beberapa waktu lalu, Anai tetanggaku yang bermain sendiri di belakang rumah, tiba-tiba hilang tak ada kabar. Semua penduduk di kampung ikut mencari. Di sungai, di bukit Juk Tuah, tetap tak ada. Hingga adzan maghrib, warga menemukan tubuh Anai tak sadarkan diri di tengah rimbun bambu dekat sungai. Setelah siuman, ia tak menangis. Bahkan bertanya akan sosok yang membawanya terbang selepas adzan tadi siang.
“Harusnya kau itu belajar. Tak usah mengejar layangan sampai ke bukit sana. Dahulu saja tak ada yang berani lewati bukit itu. Bapakmu meninggal sedari kuburan itu, Har. Ia tak sengaja mengencingi batu nisan Juk Tuah. Kuburan itu memang angker. Juk Tuah bukan orang sembarangan. Hari lahir dan meninggalnya sama. Jum’at Kliwon.” Dan Seterusnya, seterusnya. Ah, betapa seringnya ibu mengulang cerita ini.
***
“Jangan lagi kau tanyakan yang lain. Tak ada yang pantas untuk diingat, selain kenangan yang mengenaskan,” lirih ibuku. Lalu kembali berpaling mengambil tembakau. Mengaitkannya ke atas ghelengan.
            “Mengapa aku tak boleh mengingatnya?”
            “Sebab, kau akan memiliki amarah seperti ibumu ini.”
            “Tapi, aku anaknya, Bu. Apa salahnya aku mengingat orang tuaku sendiri?”
            “Ehar!” sergah ibu tiba-tiba. “Tak cukupkah ceritaku tentang bapakmu? Ia mati setelah mengencingi batu nisan Juk Tuah. Kuburan itu bukan sembarang kuburan. Itu kuburan keramat.”
            Ada sedikit amarah diantara keriput wajah ibu. Sambil terus menata ghelengan, mata ibu tetap bersungut.
            “Kalau kau hanya ingin bertanya tentang bapakmu, lebih baik tak usah bantu. Aku bisa kerjakan sendiri,” ucap ibu kembali.
            Aku memandangnya lekat. Pergi dari hadapan Ibu. Membiarkannya terus bekerja. Menata tembakau milik kepala desa.
            Tiba-tiba saja ada seorang lelaki mendekati ibu. Lelaki separuh baya itu terlihat menyeramkan. Kumisnya lebat melengkung ke atas. Matanya terlihat menaruh hati-hati. Aku tak pernah melihat lelaki itu sebelumnya. Kulihat Ibu terperangah melihat sosok lelaki yang berpakaian serba hitam itu. Telunjuknya mengarah ke sebuah rimbun bambu di ujung pekarangan Wak Buto.
            Aku yang masih duduk di bawah pohon sawo, menguntit langkah keduanya. Wajah ibu terlihat sedikit gusar. Lebih gusar dari amarahnya tadi.
            “Apa yang kau lakukan di sini, Pardi?”
            “Sudah waktunya aku kesini. Sudah waktunya pula Ehar harus tau tentang semuanya.”
            “Takkan kubiarkan Ehar pergi. Dia anakku. Aku yang melahirkannya.”
            “Ya, aku mengerti, Yati. Tapi, ini hukum kita. Sudah waktunya kau harus ceritakan semua. Tak kasiankah kau melihat anakmu dijauhi orang-orang?”
            “Tak mungkin aku berikan Ehar pada mereka. Aku ibunya. Biarkan saja adat seperti ini. Tak ada yang bisa memisahkan darah ibu pada anaknya, sekalipun kepercayaan orang-orang tak bisa diubah.”
            Bibir ibu bergetar. Matanya tersirat menyimpan amarah yang begitu besar.
            “Yati, kau harus relakan anakmu. Ini jalan satu-satunya agar ia bisa diterima masyarakat. Lagi pula, tak ada cara lain menangkal tolak bala ini. Tidakkah kau ingat, saat Ripin diamuk orang-orang malam itu?”
            “Sudah, cukup! Aku tak lagi mau mendengar cerita itu. Ripin sudah mati. Ehar dan aku sudah cukup bahagia disini.”
            “Tidak, Yati. Kau harus mengingat malam Jum’at Kliwon itu. Saat suamimu diamuk orang-orang sebab menggali kuburan Juk Tuah dan mengambil tulang-belulangnya sebagai jimat. Kau harus ingat itu, Yati. Dan anakmu, Ehar. Harus menanggung apa yang Ripin perbuat.”
            Darahku seakan berhenti mengalir. Kulihat mata ibu berair.
            “Ehar sudah dewasa. Sudah waktunya ia tinggalkan pulau Jawa. Suatu hari nanti, kalau hukuman itu sudah selesai, aku yakin ia akan kembali menemuimu.”
            “Kau pikir, dua puluh tahun itu tak lama, Pardi? Aku yang mengandungnya sembilan bulan. Aku pula yang merawatnya saat Ripin mati diamuk orang-orang. Aku pula yang bekerja agar ia makan. Dan sekarang, kau bilang kepercayaan seperti itu harus kuturuti? Hidup macam apa ini, Pardi? Hidup macam apa?”
            Tak ada jawaban dari sosok lelaki itu. Bibirnya diam mematung. Begitupun ibu. Tangisnya semakin menjadi. Gemerisik sampah yang kuinjak, membuat keduanya terperangah. Kutemui ibu yang tak menyangka keberadaanku.
            “Aku akan pergi, Bu. Bersamamu.”




Hikayat Seorang Santri Bodoh

Usiaku lima belas tahun waktu itu. Saat aku terbuang ke Madura. Ya, di sebuah pesantren Al-Amien inilah aku harus bersemedi. Tak tanggung...