Heran!
mengapa sampai saat ini, kau masih tetap bertafakkur dalam bilangan diri.
padahal senja tetaplah sama.
datang dengan bias jingga. memadu dengan tubuh langit.
kau tau, sulit membuangmu dari ingatan.
sebab sampai kini, aku masih terus belajar melupakan orang yang ingin melupakanku
"Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu, yang telah memberikan setetes ilmu diantara kubangan samudera, untuk seluruh manusia"
Monday 31 August 2015
Sunday 30 August 2015
Ajari Aku
suatu hari nanti, aku yakin senja akan menyemai kenangan kita.
menyulap jingga menjadi setalam malam tanpa lukisan bintang.
tetapi..
sebelum hari itu tiba,
ajari aku melupakanmu..
kau tau mengapa?
sebab hari itu, aku tak lagi bisa melihat dunia
keburaman akan menjadi masa baru dalam hidupku.
dan untuk itulah, ajari aku tuk membencimu.....
menyulap jingga menjadi setalam malam tanpa lukisan bintang.
tetapi..
sebelum hari itu tiba,
ajari aku melupakanmu..
kau tau mengapa?
sebab hari itu, aku tak lagi bisa melihat dunia
keburaman akan menjadi masa baru dalam hidupku.
dan untuk itulah, ajari aku tuk membencimu.....
Friday 21 August 2015
Janji Merpati
Sesuai janjiku Bintang, kini
kubawakan kabar merpati itu padamu. Meski melalui esai tak bersastra ini, aku
rasa telah cukup mewakili diriku yang kini tak sanggup menemuimu. Karena
sebenarnya, aku bingung untuk menyampaikannya padamu. Tapi, saat aku duduk di
tengah taman kota tadi pagi, bersama koran yang kubeli dari pahlawan berita,
kuterperangah melihat judul esai Abdul Aziz. Kucoba ikuti gaya bahasanya tapi
tak bisa. Tak apalah, ini gaya bahasaku sendiri. Bukankah aksara yang tak
bersastra lebih berharga daripada mengklaim aksara orang lain?
Baiklah, aku tak mau basa-basi.
Karena aku takut kamu mulai bosan membaca tulisanku. Begini, kisah mawar putih
dan seekor merpati yang kamu ceritakan padaku malam itu, tak mungkin hilang
dari ingatanku. Sebab, aku sudah tau kemana merpati itu pergi. “Dulu, ada
seekor merpati yang setiap hari mengunjungi mawar putih” katamu mengawali
cerita. Sedangkan aku sibuk menata kepala di pangkuanmu. “Sebenarnya, ia
menaruh hati pada sang mawar tetapi merpati tak berani mengungkapkannya. Hingga
suatu hari, merpati menyatakan perasaannya. Tapi, sang mawar hanya diam lalu
mengajukan satu syarat”
“Apa syaratnya?” tanyaku menyambar
alur cerita. Kamu pun tersenyum melihat raut wajahku. “Syaratnya, sang merpati
harus bisa merubah mawar putih menjadi mawar merah”. Jawabmu lembut. “Kenapa ia
memilih menjadi mawar merah bukankah akan terlihat lebih indah jika ia menjadi
mawar putih?” keningku mengkerut menyatu dengan alis yang sedari tadi
melengkung bak celurit. Jemarimu membelai dahiku perlahan. “Karena sebenarnya
sang mawar tak menaruh hati pada merpati”
Kamu pun melanjutkan kisah mereka.
Sang merpati pergi mencari cara tuk
mengubah mawar putih menjadi mawar merah. Setiap hari ia selalu merenung. Tapi,
belum juga berhasil. Hingga tibalah pada hari yang ditentukan. Dan ia masih
belum tau bagaimana caranya. Sedangkan bola mataku menerawang ke atap kamar.
Membayangkan pilunya hati sang merpati.
“Bagaimana, apa kamu sudah bisa
merubah tubuhku menjadi merah?”
Sang merpati tertunduk. Diam. Sang
mawar melirik. Lalu tersenyum menang.
Tiba-tiba sang merpati pergi ke
samping tubuh mawar. Dicabutlah sebilah parang lalu dibelahlah sayapnya. Ia
mengerang kesakitan. Lalu ditopanglah tubuh sang mawar dengan sayap yang
dibelahnya tadi. Seketika itu pula tubuh sang mawar berubah menjadi merah.
Darah telah menyerap ke setiap kelopak tubuhnya. Sang merpati kemudian pergi.
Sang mawar memanggil. Tapi ia tetap pergi. Dan tak pernah kembali. Sang mawar
menyesali perbuatannya. Kini, setiap pagi ia tak lagi melihat merpati di dahan
kenari. Ia pun mengerti arti sebuah pengorbanan demi orang yang disayangi.
“Kemana merpati itu pergi?” keningku
masih mengkerut
“Entahlah, tak ada yang tahu kemana
ia pergi”
“Baiklah, suatu hari nanti aku akan
mengabarimu kemana merpati itu pergi. Aku akan mencari tahu meski harus
keliling dunia”
“Ha…ha…. Memangnya kamu mau pergi
kemana?” bola matamu menatapku lembut. Menganggap perkataanku barusan hanya
sekedar gurauan.
“Percayalah, suatu hari nanti aku
akan mengabarimu kemana merpati itu pergi. Aku janji” kukerutkan kening
kuat-kuat. Menautkan alis sambil kujulurkan jari kelingking. Kamu menyambutnya
dengan senyuman. Mengisyaratkan perkataanku hanya sekedar gurauan belaka.
***
Sudah tiga musim kemarau cerita itu
berselang dari bibirmu. Dan kini, sengaja aku bersemedi di kota suwar-suwir
mencari tahu kemana merpati itu pergi. Aku tak pernah bosan ketika harus
bertamu dari satu buku ke buku yang lainnya. Dari satu pintu ke pintu yang
lain. Tetapi, tahun ini aku tak merasakan musim hujan sebagai penawar benih
kehidupan. Tahun pertama, aku masih merasakan keduanya. Musim kemarau menyapa
lalu musim hujan datang menyiram. Aku masih bisa menanyakan kabarmu.
Mendengarkan keluh-kesahmu. Tahun kedua, hanya separuh musim kamu menemani.
Kukirim pesan singkat menanyakan keadaanmu, seminggu atau dua minggu baru kamu
balas. Bahkan pernah tiga bulan pesanku bersemedi di inbox handphonemu dan baru
kamu jawab setelah tahu keadaanku yang sekarat dari kawan lamamu. Dan tahun
ini, sama sekali tak ada kabar darimu. Kesibukan telah menyita waktumu tuk
sekedar memberi kabar. Tak harus setiap hari, tetapi apa iya satu dari sekian
pesan singkatku selama ini tak bisa kamu jawab? Telpon pun tak pernah diangkat.
Bahkan nomerku kamu blokir. Tidak sampai disitu, akun FB-ku juga kamu blokir.
Aku bingung bahkan sangat bingung.
Sebenarnya, apa yang terjadi denganmu? Apa salah kalau aku menanyakan kabarmu?
Menanyakan keadaanmu? Rupanya, waktu benar-benar telah merubahmu. Jalan hidup
yang berbeda memang kuasa Tuhan dan harus kuakui itu. Tapi, tidak harus
melupakan masa lalu, bukan? Dan tentunya, jalan hidup yang berbeda tidak harus
ingkar janji pula, bukan?
Hey, apa kamu mulai bosan membaca
tulisanku? Jangan-jangan kamu bosan karena tulisanku semakin buruk? Semakin
menyatu bak rumput? Wah, kalau urusan yang satu ini aku masih belum tahu
solusinya. Bukankah sedari dulu tulisanku memang selalu buruk? Kalau begitu,
kupersingkat saja kemana merpati itu pergi karena aku takut kamu mulai bosan
membacanya.
***
Merpati itu kini telah pergi
mengikuti langkah kakinya. Menepi di sebuah ujung pulau. Tapi, bukan berarti ia
melupakan sang mawar. Setiap hari ia selalu mengabari sang mawar melalui do’a
sujudnya pada sang Pencipta. Hanya saja, ia tak tahu apa harus kembali menemui
sang mawar atau tidak. Karena ia sadar, waktu bisa merubah siapa saja. Tidak
termasuk sang mawar, manusia pun bisa dirubah oleh waktu. Dan sebenarnya,
merpati itu sangat ingin menemuinya. Hanya saja, kelopak matanya kini telah
kering tak ada air mata tuk menemuinya.
Pakusari, 13 January 2014, (09.46)
Di sebuah
penataran kampung di tepi selatan pulau Jawa;
Aksara ini,
slamanya kan slalu bersemayam dengan sunyi Bersama janji merpati.
Percayalah!
Ia tak pernah ingkar janji apalagi menyakiti.
Hanya saja,
sikap sang mawar yang tak bisa ia tebak, membuatnya bertapa dalam pesakitan.
-Terkadang
baik bak malaikat tapi, tak jarang diam bak rumput yang membisu-
Tapi ia slalu
bertahan dalam pelukan angin malam,
Berharap;
sikap sang mawar yang slalu mengacuhkannya
Dapat ia
rasakan, sebelum akhirnya
Ia menemui
kekasih sejatinya: Sang Ilahi….
“Kado
ulang tahun kepada saudaraku di ujung pulau Madura sana,,,
Yang
aku sendiri tak tahu, apa ia masih terus mengacuhkan diriku yang hina ini….atau
tidak….”
Kutanya Kabarmu?
Sampai detik ini pun, kau masih tetap tak ada kabar. Jangankan cerita yang mengalir lembut dari bibirmu, keadaanmu pun tak lagi terdengar. Bahkan setiap senja lalu langit malam menyapa, selalu kusapa dirimu lewat alam. Bahkan pula, kabar yang kuselingi setiap pekan sekali, tak pernah lagi kau peduli. Alasanmu pun selalu begitu. Kuhafal betul tabi’atmu yang selalu sibuk mencari alasan. Dan aku, masih saja sibuk menabur harapan akan kedatanganmu seperti dulu.
Padahal kukatakan berkali-kali pada diri ini, tak ada
gunanya harapan yang hanya menyisakan luka yang tak pernah kering. Hanya membuatku
semakin gila mengingatmu. Tetapi, lagi-lagi jiwaku berkata: “Tak ada yang salah
dengan harapan. Sebab dengan harapan akan kembalinya dirimu yang dulu, akan
membuatku semangat menjalani hidup”
Ya, harus kuakui memang. Mengingatmu, membuatku semangat
menjalani hidup. Membuatku bergairah meraih cita-cita. Tetapi cepat pula
menghilang tatkala diriku sadar, kalaulah ternyata aku tertipu harapan semata.
Maaf, barangkali harus kuputuskan tuk tak lagi mengabarimu. Biarkan
saja tulisan yang selalu kuperuntukkan untukmu, tersimpan rapi tanpa kau baca. Biarkan
saja tulisan-tulisanku tak lagi menyapamu dan biarkan ia abadi dalam ruang yang
tak bertubuh ini. Kalaulah nanti aku mati, biarkan tulisan ini menjadi bukti
kalaulah aku tak pernah melupakanmu. Meski tulisan ini hanya berdiam tak ada
sapa, setidaknya alam masih milikku…………..
Tuesday 18 August 2015
Mengenang Sahabatku, ....
Aku bertemu dengan ibumu kemaren sore. Rupanya terlintas cukup ceria
meski duka masih merundung. Di sebelahnya, adikmu merunduk sambil mengupas
ketela. Tak mungkin aku tak menyapa mereka meski diselimuti rasa bimbang untuk
bersalaman tidaknya. Sebab, aku takut mereka semakin mengingatmu tatkala
berjuma dengan kawan-kawanmu.
Aku masih mengingatnya, kawan. 3 hari sebelum kepergianmu, aku datang
berkunjung dengan seplastik oleh-oleh yang aku sendiri ragu menyebutnya
oleh-oleh. Mengingat, keuanganku sangatlah buruk akhir-akhir ini. Tapi
percayalah, yang kubawakan untukmu waktu itu bersumber dari muara hati yang
paling dalam.
Ah, hari itu terasa bahagia untukku. Terutama, disaat kita bernostalgia
semasa sekolah dulu. Tak ubahnya sesama perantau yang jarang pulang, pun begitu
aku denganmu bercakap ria sebab lama tak bersua. Begitu mudahnya cerita
mengalir mengingat perjuangan kita tatkala bersekolah dulu.
Kau masih ingat, Dian, bukan? Tepat sepuluh hari kau pergi, aku bertemu
dengannya di bank BRI Mayang. Kau pasti bisa menebaknya, apa yang terjadi pada
kita berdua. Ya, saling bernostalgia. Sama tatkala aku mengunjungimu hari itu.
Mengenang anak-anak yang sudah berada di jalan masing-masing, mengingat Lek
Kadim-supir angkot terbaik yang pernah kutemui- dan tentu mengingatmu, kawan.
Lek Kadim, ya, kau pasti masih mengingatnya. Ia seorang supir biasa
tetapi hatinya luar biasa. Bayangkan saja, kita yang beranggota enam belas
anak, dengan membayar ongkos separuh dari tarif dewasa, diajak berkeliling
lewati jalan yang lebih jauh. Dan itu bukan hanya sekali, melainkan
berkali-kali. Terlebih, disaat kita selesai ujian. Refreshing alasannya.
Barangkali, aku tak cukup miris mengingatnya jikalau angkot yang kita tumpangi
baik-baik saja. Tapi kau masih ingat, bukan. Tatkala kita berkali-kali
mendorong angkot sebab mogok, lalu bensin yang sangat boros membuat lek Kadim
mengeluarkan uang lebih banyak.
Bahkan, saat tiga kawan kita kecelakaan dan dirawat di RS Dr. Soebandi.
Jarak yang belasan kilo hanya dibayar seperti kita mengongkos pulang sekolah.
Ai, sungguh baik lek Kadim tetapi aku tak tahu keberadaannya saat ini.
Ah, kawan-kawan angkot. Kau tentu tertawa mengingat kejahilan kita di
atas angkot, saling berebutan siapa yang menjadi kernet, saling menasehati,
saling bertengkar pun kita juga bersama-sama. Atau, saat kita berjalan kaki
dari sekolah sampai rumah karena bernadzar lulus sekolah. Yaa, setidaknya jarak
8 kilo tak terasa jikalau kita bersama-sama melaluinya. Bersama-sama teriak
seperti orang gila bahkan bersama-sama menyanyikan lagu nasional untuk
hilangkan lelah. Dan itu terbukti sampai kita memasuki garis finish. Dan
teparlah kita di rumah setelahnya.
Owh, iya, kawan, sebentar lagi Miksil wisuda. Dian mengajakku untuk reuni
anak-anak angkot. Ia berinisiatif di rumah Miksil. Yaa, setidaknya selametan
yang menjadi latar belakang . Semoga saja terwujud. Sudah tujuh tahun aku tak
berjumpa mereka. Barangkali, aku sedikit pikun mengingat wajah-wajah yang
semakin dewasa.
Kawan, aku menulis begini, tentu tak ada maksud berarti. Aku hanya
sekedar bernostalgia. Sama seperti aku bertemu kawan-kawan yang lain. Aku yakin
kau bahagia di alam sana. Aku yakin pula, saat ini kau berada di tempat
terindah yang tak ada di dunia. Maafkan kesalahan sahabatmu ini. Dan teruntuk
keluargamu, aku yakin mereka akan tabah menerima suratan Tuhan...
Oleh sahabatmu,
Hant_k
Mengenang
kepergian salah seorang sahabat, tertanggal 18 Juli 2015
Thursday 13 August 2015
Ikhlaskah Aku Ini?
Bicara hari ini dan kemaren, aku
tak pernah tau akan apa yang terjadi. Semua mengalir seperti angin berhembus di
segala penjuru. Pun begitu hidupku, disaat terlambat memaknai sesuatu, aku
belajar untuk lebih ikhlas.
Ikhlas ada pada hati manusia. Ia mudah
diucapkan tetapi sulit dilakukan. Tetapi air yang setiap tetesannya berhasil
melubangi sebongkah batu, telah mengajariku arti ikhlas.
Barangkali, bagi seseorang, ikhlas
adalah proses memasrahkan pada Yang Kuasa. Tetapi bagiku, ikhlas adalah proses
mencari. Hakekat dari menemukan. Yaa, menemukan sebuah kelapangan. Menemukan sebuah
kerelaan.
Barangkali pula, aku harus terus
mencari dan menemukan kelapangan tadi hingga akhirnya itulah yang dinamakan
ikhlas. Barangkali pula, aku yang masih tak cukup ikhlas sehingga berfilosofi
begitu?
Tentu aku masih belajar ikhlas. Selamanya,
aku akan belajar dan selalu belajar. Kalaulah saat ini aku mengatakan ikhlas, naïflah
diriku ini. Sebab, untuk apa aku menulis begini kalaulah hati telah menerima
takdir Tuhan…
Monday 10 August 2015
Tak Harus Kau Baca
Tulisan ini tak harus kau baca,
Bintang. Sebab, yang kuinginkan bukanlah kehadiranmu bahkan sapamu. Tulisan ini
sekedar tempat bercerita yang tak lagi memiliki muara. Biarlah tulisan ini
menjadi sejarah di dalam dinding yang tersedia. Aku tak punya harapan lagi. Bahkan
sekedar mengingat kenangan pun, hatiku enggan. Bisaku hanya berbisik pada
Tuhan, agar kau selalu bahagia disana.
Bintang, aku tau sebutan itu
tersemat semenjak bertahun-tahun lalu. Tak ada yang lebih indah selain
memanggilmu dengan sebutan ciptaan Tuhan yang kukagumi. Bagiku, bintang adalah
tempat mencurahkan keadaan diri. Pun begitu denganmu. Tetapi sayang, aku tak
lagi Bintangmu. Bintang-bintang yang lain sudah kau miliki sekarang.
Sejujurnya, aku turut bahagia
dengan apa yang kau yakini saat ini. Namun, sikap tak acuhmu yang membuatku
bertafakkur bersama alam. Kau berubah menjadi galaksi lain. Kau menjelma bak
meteor yang hanya sesekali menyapa bumi lewat atmosfir. Selebihnya, kau hilang
bak supernova.
Barangkali, kesibukan yang
membuatmu begitu. Tetapi, berkali-kali kuamati, ternyata sikapmu memang begitu.
Yaa, sekali lagi tulisan ini tak
harus kau baca. Toh, aku tak perlu pamit padamu. Pamit pun kau enggan peduli. Biarlah
kau ada dalam masaku yang dulu. Sekarang dan ke depan, mungkin kau menjelma
Bintang yang tak mampu kujamah...
Elang_Timur
Ku Ingin Kau Mendengar Ceritaku
Senja datang
seperti biasa. Tak ada yang spesial selain ingatanku padamu. Aku baru pulang dari kuliah, lalu mampir ke
masjid alun-alun di tengah kota. Mungkin pernah kuceritakan padamu tentang
mengapa aku lebih sering menyendiri di emperan masjid ini. Ah, mungkin juga
tidak.
Kau tahu apa
yang kulakukan? Melihat jam tangan. Hampir jam lima sore. Pasti kau tahu
maksudku, bukan?. Ya, senja sudah tiba. Hahaha. Yang jelas, kau tahu apa
maksudku.
Oh, iya, banyak anak-anak kecil seliweran
sambil ketawa dan berlari. Mungkin sedang bermain kejar-kejaran, atau
lagi bersembunyi. Entahlah, yang jelas mereka jauh dari pandanganku.
Hampir lupa. Di
tepi emperan masjid bersebelahan dengan
rel kereta. Beberapa kali mataku dimanjakan dengan bunyinya yang tak lagi
asing. Mengingat, selama SMP aku selalu bermain di stasiun. Hemm… terlalu
banyak cerita hidup yang ingin kusampaikan. Tapi, aku harus tau diri. Siapa aku
dalam masa kini.
Yaa, sudah jam lima lebih. Langit sudah
mendengarkan ceritaku walau tak berkata. Kau tahu, aku selalu menyukai senja walau
kadang tak berwarna jingga. Aku yakin kau masih mengingatnya…………
Emperan
Masjid, 4 Maret 2015
Sunday 9 August 2015
Mencari Tuhan Kembali
Rasa-rasanya, judul di atas amat
menyedihkan. Betatapun riuhnya tanya anda, atau tak acuhnya sikap anda, itulah
kenyataannya. Saya sedang berusaha mencari Tuhan saya yang sempat hilang dalam
ratusan hari ini.
Mungkin anda akan tertawa
terpingkal-pingkal, sambil lalu mengoceh dengan kalimat “Dasar orang gila!
Tuhan, kok dicari? Ia ada disetiap kehidupan”
Tak apa anda berkata begitu. Toh,
kenyataannya saya memang begitu. Saya tak akan marah. Dan saya akan berusaha
untuk tak pernah marah-marah ke depannya. Sudah cukup sahabat saya menjadi
muara amarah saya.
Mungkin anda bertanya, kemana
Tuhan saya selama ini? Apakah ia pergi? Ataukah, anda tak mau bertanya? Tak apa,
saya pun akan tetap menjawabnya.
Sejatinya, saya sudah menemukan
Tuhan sejak kecil. Ia diperkenalkan orang tua serta guru ngaji. Bahkan, lima kali sehari saya selalu berusaha bertamu. Setiap meminta sesuatu, Ia selalu memberi. Bahkan,
saat saya tak lagi bertamu pun, Ia tetap memberi. Sungguh
baik, bukan Tuhan saya? Meski dosa selalu saya tabung setiap harinya.....
Dosa? Wah, rupanya orang macam
saya juga mengenal dosa. Iya, tentunya. Saya cerita beginipun lantaran dosa. Lihatlah,
gara-gara dosa saya yang menggila itu, mata hati saya enggan diajak bicara. Betapa
jahatnya setan yang selalu berhasil menghasut saya. Siapa? Setan? Tentu bukan. Setan
memang bertugas menghasut manusia, tetapi manusia memiliki akal sebagai penasehat.
Ingat, akal sebagai penasehat bukan sebagai raja. Sebab raja manusia adalah
hati.
Nah, sudah ketemu bukan benang
merahnya? Bagaimana saya bisa memimpin kalau rajanya saya tak terlihat. Kerajaan
saya diselimuti abu tebal. Dan saya harus menyapunya perlahan. Itu untuk
sekedar menemui raja. Lalu, untuk mengajak bicara? Waduh, butuh berapa lama
yaa?
Tapi, bukan persoalan waktu yang
membuat rajutan syaraf saya rumit. Justru apa yang harus saya lakukan untuk menyapu debu tadi, itu
yang menjadi persoalannya sekarang. Kalau hanya sekedar menyapu, ya bisa.
Eh, tunggu dulu. Tadi saya mengatakan kalau manusia memiliki akal yang bisa pertimbangkan baik buruknya
suatu bisikan, bukan? Owh, itu artinya saya harus berbuat baik kepada setiap orang. selalu.
Baiklah, barangkali seperti ini
langkah-langkahnya:
Pertama, saya harus selalu
tersenyum jika bertemu seseorang. Tak boleh marah-marah apalagi membentak orang tua
khususnya.
Kedua, semua perintah Tuhan,
harus saya lakukan. Bahkan yang dianjurkanNya pun harus dilakukan. Tetapi,
ingat! Jangan riya’! Jangan ujub! Jangan cari popularitas! Mencari Tuhan, kok
dijadikan popularitas? Orang gila namanya.
Terakhir, sekalipun Tuhan tak
lagi ditemukan, ataupun raja tak lagi mau ditemui, teruslah lakukan dua langkah
tadi. Biarkan Tuhan tau, kalaulah saya benar-benar mencariNya.
“Hey, lihat orang gila tadi. Dia tetap
mengomel-ngomel mencari Tuhannya. Barangkali, ia harus dimandikan dulu untuk
menemui Tuhannya”
Elang_Timur
Berubahlah! Sebab, Perubahan Itu Ada
Terkadang, aku bingung dengan
takdir Tuhan. Meski banyak kalimat yang kutemui, entah dari kawan, guru maupun
selepas bertamu dari buku ke buku yang lain, jawaban mereka tetaplah sama: “Tuhan
lebih tahu mana yang terbaik buat kita”
Tetapi, coba cerna kalimat tadi
dengan keadaanku saat ini.
Berkali-kali aku meyakinkan diri,
kalaulah hidup sejatinya sudah ditentukan Tuhan, dan kita adalah pemainnya. Lantas,
apakah permainan sudah diatur sedemikian rupa? Maksudnya, apakah yang kalah,
menang ataupun yang patah tulang sudah ditulis? Apakah tidak bisa pemain tadi
mengubahnya? Ah, kalau sudah ditulis, berarti ibarat permainan sepak bola,
kalau kalah terus itu sudah rencana Tuhan? Kalau dipikir-pikir, amatlah kejam
permainan tadi.
Eits, tunggu dulu. Ternyata yang
ditulis Tuhan tak semuanya berkekuatan hukum tetap alias paten. Sesuatu akan
dikatakan paten jika mengenai hal-hal tertentu. Selebihnya, Tuhan menyerahkan
kepada usaha manusia.
Ah, cobalah amati kembali. Berarti,
kalaulah aku menggerutu terus menerus dengan keadaan jiwaku saat ini, aku harus
melakukan usaha. Tak boleh diam diri apalagi bertafakkur dengan kasur. Perubahan
tidak akan pernah datang kalau aku tak mau berjalan.
Lihatlah, keadaanku saat ini
sangat hina. Baik jiwa maupun di luarnya sangat miris. Tapi akal selalu
berusaha membenarkan. Hati pun tak mau diajak bercakap.
Lihatlah pula saat aku berusaha
menemui Tuhan. Aku kalah dalam hasutan setan. Padahal Tuhan amat baik hingga
saat ini. Meski ku akui, mata hati mulai menutup diri.
So, berubahlah! Jangan Diam
Diri....
Elang_Timur
Subscribe to:
Posts (Atom)
Hikayat Seorang Santri Bodoh
Usiaku lima belas tahun waktu itu. Saat aku terbuang ke Madura. Ya, di sebuah pesantren Al-Amien inilah aku harus bersemedi. Tak tanggung...
-
Sesuai janjiku Bintang, kini kubawakan kabar merpati itu padamu. Meski melalui esai tak bersastra ini, aku rasa telah c...
-
Siapa yang patut disalahkan? Akhir-akhir ini, saya melihat propaganda politik kian miris. Bahkan, embel-embel agama, diusung lebih ...
-
Ini kawan saya, Krishna Waty. Tetapi lebih sering dipanggil Waty. Salah seorang kawan ngaji saya sewaktu kecil. Saya berhutang budi...