Monday 31 August 2015

Heran

Heran!
mengapa sampai saat ini, kau masih tetap bertafakkur dalam bilangan diri.
padahal senja tetaplah sama.
datang dengan bias jingga. memadu dengan tubuh langit.

kau tau, sulit membuangmu dari ingatan.
sebab sampai kini, aku masih terus belajar melupakan orang yang ingin melupakanku

Sunday 30 August 2015

Ajari Aku

suatu hari nanti, aku yakin senja akan menyemai kenangan kita.
menyulap jingga menjadi setalam malam tanpa lukisan bintang.

tetapi..

sebelum hari itu tiba,
ajari aku melupakanmu..

kau tau mengapa?
sebab hari itu, aku tak lagi bisa melihat dunia
keburaman akan menjadi masa baru dalam hidupku.
dan untuk itulah, ajari aku tuk membencimu.....

Friday 21 August 2015

Janji Merpati




            Sesuai janjiku Bintang, kini kubawakan kabar merpati itu padamu. Meski melalui esai tak bersastra ini, aku rasa telah cukup mewakili diriku yang kini tak sanggup menemuimu. Karena sebenarnya, aku bingung untuk menyampaikannya padamu. Tapi, saat aku duduk di tengah taman kota tadi pagi, bersama koran yang kubeli dari pahlawan berita, kuterperangah melihat judul esai Abdul Aziz. Kucoba ikuti gaya bahasanya tapi tak bisa. Tak apalah, ini gaya bahasaku sendiri. Bukankah aksara yang tak bersastra lebih berharga daripada mengklaim aksara orang lain?
            Baiklah, aku tak mau basa-basi. Karena aku takut kamu mulai bosan membaca tulisanku. Begini, kisah mawar putih dan seekor merpati yang kamu ceritakan padaku malam itu, tak mungkin hilang dari ingatanku. Sebab, aku sudah tau kemana merpati itu pergi. “Dulu, ada seekor merpati yang setiap hari mengunjungi mawar putih” katamu mengawali cerita. Sedangkan aku sibuk menata kepala di pangkuanmu. “Sebenarnya, ia menaruh hati pada sang mawar tetapi merpati tak berani mengungkapkannya. Hingga suatu hari, merpati menyatakan perasaannya. Tapi, sang mawar hanya diam lalu mengajukan satu syarat”
            “Apa syaratnya?” tanyaku menyambar alur cerita. Kamu pun tersenyum melihat raut wajahku. “Syaratnya, sang merpati harus bisa merubah mawar putih menjadi mawar merah”. Jawabmu lembut. “Kenapa ia memilih menjadi mawar merah bukankah akan terlihat lebih indah jika ia menjadi mawar putih?” keningku mengkerut menyatu dengan alis yang sedari tadi melengkung bak celurit. Jemarimu membelai dahiku perlahan. “Karena sebenarnya sang mawar tak menaruh hati pada merpati”
            Kamu pun melanjutkan kisah mereka.
            Sang merpati pergi mencari cara tuk mengubah mawar putih menjadi mawar merah. Setiap hari ia selalu merenung. Tapi, belum juga berhasil. Hingga tibalah pada hari yang ditentukan. Dan ia masih belum tau bagaimana caranya. Sedangkan bola mataku menerawang ke atap kamar. Membayangkan pilunya hati sang merpati.
            “Bagaimana, apa kamu sudah bisa merubah tubuhku menjadi merah?”
            Sang merpati tertunduk. Diam. Sang mawar melirik. Lalu tersenyum menang.
            Tiba-tiba sang merpati pergi ke samping tubuh mawar. Dicabutlah sebilah parang lalu dibelahlah sayapnya. Ia mengerang kesakitan. Lalu ditopanglah tubuh sang mawar dengan sayap yang dibelahnya tadi. Seketika itu pula tubuh sang mawar berubah menjadi merah. Darah telah menyerap ke setiap kelopak tubuhnya. Sang merpati kemudian pergi. Sang mawar memanggil. Tapi ia tetap pergi. Dan tak pernah kembali. Sang mawar menyesali perbuatannya. Kini, setiap pagi ia tak lagi melihat merpati di dahan kenari. Ia pun mengerti arti sebuah pengorbanan demi orang yang disayangi.
            “Kemana merpati itu pergi?” keningku masih mengkerut
            “Entahlah, tak ada yang tahu kemana ia pergi”
            “Baiklah, suatu hari nanti aku akan mengabarimu kemana merpati itu pergi. Aku akan mencari tahu meski harus keliling dunia”
            “Ha…ha…. Memangnya kamu mau pergi kemana?” bola matamu menatapku lembut. Menganggap perkataanku barusan hanya sekedar gurauan.
            “Percayalah, suatu hari nanti aku akan mengabarimu kemana merpati itu pergi. Aku janji” kukerutkan kening kuat-kuat. Menautkan alis sambil kujulurkan jari kelingking. Kamu menyambutnya dengan senyuman. Mengisyaratkan perkataanku hanya sekedar gurauan belaka.
***
            Sudah tiga musim kemarau cerita itu berselang dari bibirmu. Dan kini, sengaja aku bersemedi di kota suwar-suwir mencari tahu kemana merpati itu pergi. Aku tak pernah bosan ketika harus bertamu dari satu buku ke buku yang lainnya. Dari satu pintu ke pintu yang lain. Tetapi, tahun ini aku tak merasakan musim hujan sebagai penawar benih kehidupan. Tahun pertama, aku masih merasakan keduanya. Musim kemarau menyapa lalu musim hujan datang menyiram. Aku masih bisa menanyakan kabarmu. Mendengarkan keluh-kesahmu. Tahun kedua, hanya separuh musim kamu menemani. Kukirim pesan singkat menanyakan keadaanmu, seminggu atau dua minggu baru kamu balas. Bahkan pernah tiga bulan pesanku bersemedi di inbox handphonemu dan baru kamu jawab setelah tahu keadaanku yang sekarat dari kawan lamamu. Dan tahun ini, sama sekali tak ada kabar darimu. Kesibukan telah menyita waktumu tuk sekedar memberi kabar. Tak harus setiap hari, tetapi apa iya satu dari sekian pesan singkatku selama ini tak bisa kamu jawab? Telpon pun tak pernah diangkat. Bahkan nomerku kamu blokir. Tidak sampai disitu, akun FB-ku juga kamu blokir.
            Aku bingung bahkan sangat bingung. Sebenarnya, apa yang terjadi denganmu? Apa salah kalau aku menanyakan kabarmu? Menanyakan keadaanmu? Rupanya, waktu benar-benar telah merubahmu. Jalan hidup yang berbeda memang kuasa Tuhan dan harus kuakui itu. Tapi, tidak harus melupakan masa lalu, bukan? Dan tentunya, jalan hidup yang berbeda tidak harus ingkar janji pula, bukan?
            Hey, apa kamu mulai bosan membaca tulisanku? Jangan-jangan kamu bosan karena tulisanku semakin buruk? Semakin menyatu bak rumput? Wah, kalau urusan yang satu ini aku masih belum tahu solusinya. Bukankah sedari dulu tulisanku memang selalu buruk? Kalau begitu, kupersingkat saja kemana merpati itu pergi karena aku takut kamu mulai bosan membacanya.
***
            Merpati itu kini telah pergi mengikuti langkah kakinya. Menepi di sebuah ujung pulau. Tapi, bukan berarti ia melupakan sang mawar. Setiap hari ia selalu mengabari sang mawar melalui do’a sujudnya pada sang Pencipta. Hanya saja, ia tak tahu apa harus kembali menemui sang mawar atau tidak. Karena ia sadar, waktu bisa merubah siapa saja. Tidak termasuk sang mawar, manusia pun bisa dirubah oleh waktu. Dan sebenarnya, merpati itu sangat ingin menemuinya. Hanya saja, kelopak matanya kini telah kering tak ada air mata tuk menemuinya.
Pakusari, 13 January 2014, (09.46)
Di sebuah penataran kampung di tepi selatan pulau Jawa;
Aksara ini, slamanya kan slalu bersemayam dengan sunyi Bersama janji merpati.
 Percayalah!  Ia tak pernah ingkar janji apalagi menyakiti.
Hanya saja, sikap sang mawar yang tak bisa ia tebak, membuatnya bertapa dalam pesakitan.
-Terkadang baik bak malaikat tapi, tak jarang diam bak rumput yang membisu-
Tapi ia slalu bertahan dalam pelukan angin malam,
Berharap; sikap sang mawar yang slalu mengacuhkannya
Dapat ia rasakan, sebelum akhirnya
Ia menemui kekasih sejatinya: Sang Ilahi….

“Kado ulang tahun kepada saudaraku di ujung pulau Madura sana,,,
Yang aku sendiri tak tahu, apa ia masih terus mengacuhkan diriku yang hina ini….atau tidak….”

Kutanya Kabarmu?



Sampai detik ini pun, kau masih tetap tak ada kabar. Jangankan cerita yang mengalir lembut dari bibirmu, keadaanmu pun tak lagi terdengar. Bahkan setiap senja lalu langit malam menyapa, selalu kusapa dirimu lewat alam. Bahkan pula, kabar yang kuselingi setiap pekan sekali, tak pernah lagi kau peduli. Alasanmu pun selalu begitu. Kuhafal betul tabi’atmu yang selalu sibuk mencari alasan. Dan aku, masih saja sibuk menabur harapan akan kedatanganmu seperti dulu.


Padahal kukatakan berkali-kali pada diri ini, tak ada gunanya harapan yang hanya menyisakan luka yang tak pernah kering. Hanya membuatku semakin gila mengingatmu. Tetapi, lagi-lagi jiwaku berkata: “Tak ada yang salah dengan harapan. Sebab dengan harapan akan kembalinya dirimu yang dulu, akan membuatku semangat menjalani hidup”

Ya, harus kuakui memang. Mengingatmu, membuatku semangat menjalani hidup. Membuatku bergairah meraih cita-cita. Tetapi cepat pula menghilang tatkala diriku sadar, kalaulah ternyata aku tertipu harapan semata.

Maaf, barangkali harus kuputuskan tuk tak lagi mengabarimu. Biarkan saja tulisan yang selalu kuperuntukkan untukmu, tersimpan rapi tanpa kau baca. Biarkan saja tulisan-tulisanku tak lagi menyapamu dan biarkan ia abadi dalam ruang yang tak bertubuh ini. Kalaulah nanti aku mati, biarkan tulisan ini menjadi bukti kalaulah aku tak pernah melupakanmu. Meski tulisan ini hanya berdiam tak ada sapa, setidaknya alam masih milikku…………..

Tuesday 18 August 2015

Mengenang Sahabatku, ....


Aku bertemu dengan ibumu kemaren sore. Rupanya terlintas cukup ceria meski duka masih merundung. Di sebelahnya, adikmu merunduk sambil mengupas ketela. Tak mungkin aku tak menyapa mereka meski diselimuti rasa bimbang untuk bersalaman tidaknya. Sebab, aku takut mereka semakin mengingatmu tatkala berjuma dengan kawan-kawanmu.
Aku masih mengingatnya, kawan. 3 hari sebelum kepergianmu, aku datang berkunjung dengan seplastik oleh-oleh yang aku sendiri ragu menyebutnya oleh-oleh. Mengingat, keuanganku sangatlah buruk akhir-akhir ini. Tapi percayalah, yang kubawakan untukmu waktu itu bersumber dari muara hati yang paling dalam.
Ah, hari itu terasa bahagia untukku. Terutama, disaat kita bernostalgia semasa sekolah dulu. Tak ubahnya sesama perantau yang jarang pulang, pun begitu aku denganmu bercakap ria sebab lama tak bersua. Begitu mudahnya cerita mengalir mengingat perjuangan kita tatkala bersekolah dulu.
Kau masih ingat, Dian, bukan? Tepat sepuluh hari kau pergi, aku bertemu dengannya di bank BRI Mayang. Kau pasti bisa menebaknya, apa yang terjadi pada kita berdua. Ya, saling bernostalgia. Sama tatkala aku mengunjungimu hari itu. Mengenang anak-anak yang sudah berada di jalan masing-masing, mengingat Lek Kadim-supir angkot terbaik yang pernah kutemui- dan tentu mengingatmu, kawan.
Lek Kadim, ya, kau pasti masih mengingatnya. Ia seorang supir biasa tetapi hatinya luar biasa. Bayangkan saja, kita yang beranggota enam belas anak, dengan membayar ongkos separuh dari tarif dewasa, diajak berkeliling lewati jalan yang lebih jauh. Dan itu bukan hanya sekali, melainkan berkali-kali. Terlebih, disaat kita selesai ujian. Refreshing alasannya. Barangkali, aku tak cukup miris mengingatnya jikalau angkot yang kita tumpangi baik-baik saja. Tapi kau masih ingat, bukan. Tatkala kita berkali-kali mendorong angkot sebab mogok, lalu bensin yang sangat boros membuat lek Kadim mengeluarkan uang lebih banyak.
Bahkan, saat tiga kawan kita kecelakaan dan dirawat di RS Dr. Soebandi. Jarak yang belasan kilo hanya dibayar seperti kita mengongkos pulang sekolah. Ai, sungguh baik lek Kadim tetapi aku tak tahu keberadaannya saat ini.
Ah, kawan-kawan angkot. Kau tentu tertawa mengingat kejahilan kita di atas angkot, saling berebutan siapa yang menjadi kernet, saling menasehati, saling bertengkar pun kita juga bersama-sama. Atau, saat kita berjalan kaki dari sekolah sampai rumah karena bernadzar lulus sekolah. Yaa, setidaknya jarak 8 kilo tak terasa jikalau kita bersama-sama melaluinya. Bersama-sama teriak seperti orang gila bahkan bersama-sama menyanyikan lagu nasional untuk hilangkan lelah. Dan itu terbukti sampai kita memasuki garis finish. Dan teparlah kita di rumah setelahnya.
Owh, iya, kawan, sebentar lagi Miksil wisuda. Dian mengajakku untuk reuni anak-anak angkot. Ia berinisiatif di rumah Miksil. Yaa, setidaknya selametan yang menjadi latar belakang . Semoga saja terwujud. Sudah tujuh tahun aku tak berjumpa mereka. Barangkali, aku sedikit pikun mengingat wajah-wajah yang semakin dewasa.
Kawan, aku menulis begini, tentu tak ada maksud berarti. Aku hanya sekedar bernostalgia. Sama seperti aku bertemu kawan-kawan yang lain. Aku yakin kau bahagia di alam sana. Aku yakin pula, saat ini kau berada di tempat terindah yang tak ada di dunia. Maafkan kesalahan sahabatmu ini. Dan teruntuk keluargamu, aku yakin mereka akan tabah menerima suratan Tuhan...


Oleh sahabatmu, Hant_k

Mengenang kepergian salah seorang sahabat, tertanggal 18 Juli 2015 

Thursday 13 August 2015

Ikhlaskah Aku Ini?

Bicara hari ini dan kemaren, aku tak pernah tau akan apa yang terjadi. Semua mengalir seperti angin berhembus di segala penjuru. Pun begitu hidupku, disaat terlambat memaknai sesuatu, aku belajar untuk lebih ikhlas.
Ikhlas ada pada hati manusia. Ia mudah diucapkan tetapi sulit dilakukan. Tetapi air yang setiap tetesannya berhasil melubangi sebongkah batu, telah mengajariku arti ikhlas.
Barangkali, bagi seseorang, ikhlas adalah proses memasrahkan pada Yang Kuasa. Tetapi bagiku, ikhlas adalah proses mencari. Hakekat dari menemukan. Yaa, menemukan sebuah kelapangan. Menemukan sebuah kerelaan.
Barangkali pula, aku harus terus mencari dan menemukan kelapangan tadi hingga akhirnya itulah yang dinamakan ikhlas. Barangkali pula, aku yang masih tak cukup ikhlas sehingga berfilosofi begitu?
Tentu aku masih belajar ikhlas. Selamanya, aku akan belajar dan selalu belajar. Kalaulah saat ini aku mengatakan ikhlas, naïflah diriku ini. Sebab, untuk apa aku menulis begini kalaulah hati telah menerima takdir Tuhan…

Monday 10 August 2015

Tak Harus Kau Baca

Tulisan ini tak harus kau baca, Bintang. Sebab, yang kuinginkan bukanlah kehadiranmu bahkan sapamu. Tulisan ini sekedar tempat bercerita yang tak lagi memiliki muara. Biarlah tulisan ini menjadi sejarah di dalam dinding yang tersedia. Aku tak punya harapan lagi. Bahkan sekedar mengingat kenangan pun, hatiku enggan. Bisaku hanya berbisik pada Tuhan, agar kau selalu bahagia disana.
Bintang, aku tau sebutan itu tersemat semenjak bertahun-tahun lalu. Tak ada yang lebih indah selain memanggilmu dengan sebutan ciptaan Tuhan yang kukagumi. Bagiku, bintang adalah tempat mencurahkan keadaan diri. Pun begitu denganmu. Tetapi sayang, aku tak lagi Bintangmu. Bintang-bintang yang lain sudah kau miliki sekarang.
Sejujurnya, aku turut bahagia dengan apa yang kau yakini saat ini. Namun, sikap tak acuhmu yang membuatku bertafakkur bersama alam. Kau berubah menjadi galaksi lain. Kau menjelma bak meteor yang hanya sesekali menyapa bumi lewat atmosfir. Selebihnya, kau hilang bak supernova.
Barangkali, kesibukan yang membuatmu begitu. Tetapi, berkali-kali kuamati, ternyata sikapmu memang begitu.
Yaa, sekali lagi tulisan ini tak harus kau baca. Toh, aku tak perlu pamit padamu. Pamit pun kau enggan peduli. Biarlah kau ada dalam masaku yang dulu. Sekarang dan ke depan, mungkin kau menjelma Bintang yang tak mampu kujamah...


Elang_Timur

Ku Ingin Kau Mendengar Ceritaku

Senja datang seperti biasa. Tak ada yang spesial selain ingatanku padamu.  Aku baru pulang dari kuliah, lalu mampir ke masjid alun-alun di tengah kota. Mungkin pernah kuceritakan padamu tentang mengapa aku lebih sering menyendiri di emperan masjid ini. Ah, mungkin juga tidak.
Kau tahu apa yang kulakukan? Melihat jam tangan. Hampir jam lima sore. Pasti kau tahu maksudku,  bukan?. Ya, senja sudah tiba. Hahaha. Yang jelas, kau tahu apa maksudku.
Oh, iya, banyak anak-anak kecil seliweran  sambil ketawa dan berlari. Mungkin sedang bermain kejar-kejaran, atau lagi bersembunyi. Entahlah, yang jelas mereka jauh dari pandanganku.
Hampir lupa. Di tepi emperan masjid  bersebelahan dengan rel kereta. Beberapa kali mataku dimanjakan dengan bunyinya yang tak lagi asing. Mengingat, selama SMP aku selalu bermain di stasiun. Hemm… terlalu banyak cerita hidup yang ingin kusampaikan. Tapi, aku harus tau diri. Siapa aku dalam masa kini.
Yaa, sudah jam lima lebih. Langit sudah mendengarkan ceritaku walau tak berkata. Kau tahu, aku selalu menyukai senja walau kadang tak berwarna jingga. Aku yakin kau masih mengingatnya…………

Emperan Masjid, 4 Maret 2015

Sunday 9 August 2015

Mencari Tuhan Kembali




Rasa-rasanya, judul di atas amat menyedihkan. Betatapun riuhnya tanya anda, atau tak acuhnya sikap anda, itulah kenyataannya. Saya sedang berusaha mencari Tuhan saya yang sempat hilang dalam ratusan hari ini.
Mungkin anda akan tertawa terpingkal-pingkal, sambil lalu mengoceh dengan kalimat “Dasar orang gila! Tuhan, kok dicari? Ia ada disetiap kehidupan”
Tak apa anda berkata begitu. Toh, kenyataannya saya memang begitu. Saya tak akan marah. Dan saya akan berusaha untuk tak pernah marah-marah ke depannya. Sudah cukup sahabat saya menjadi muara amarah saya.
Mungkin anda bertanya, kemana Tuhan saya selama ini? Apakah ia pergi? Ataukah, anda tak mau bertanya? Tak apa, saya pun akan tetap menjawabnya.
Sejatinya, saya sudah menemukan Tuhan sejak kecil. Ia diperkenalkan orang tua serta guru ngaji. Bahkan, lima kali sehari saya selalu berusaha bertamu. Setiap meminta sesuatu, Ia selalu memberi. Bahkan, saat saya tak lagi bertamu pun, Ia tetap memberi. Sungguh baik, bukan Tuhan saya? Meski dosa selalu saya tabung setiap harinya.....
Dosa? Wah, rupanya orang macam saya juga mengenal dosa. Iya, tentunya. Saya cerita beginipun lantaran dosa. Lihatlah, gara-gara dosa saya yang menggila itu, mata hati saya enggan diajak bicara. Betapa jahatnya setan yang selalu berhasil menghasut saya. Siapa? Setan? Tentu bukan. Setan memang bertugas menghasut manusia, tetapi manusia memiliki akal sebagai penasehat. Ingat, akal sebagai penasehat bukan sebagai raja. Sebab raja manusia adalah hati.
Nah, sudah ketemu bukan benang merahnya? Bagaimana saya bisa memimpin kalau rajanya saya tak terlihat. Kerajaan saya diselimuti abu tebal. Dan saya harus menyapunya perlahan. Itu untuk sekedar menemui raja. Lalu, untuk mengajak bicara? Waduh, butuh berapa lama yaa?
Tapi, bukan persoalan waktu yang membuat rajutan syaraf saya rumit. Justru apa yang harus saya lakukan untuk menyapu debu tadi, itu yang menjadi persoalannya sekarang. Kalau hanya sekedar menyapu, ya bisa.
Eh, tunggu dulu. Tadi saya mengatakan kalau manusia memiliki akal yang bisa pertimbangkan baik buruknya suatu bisikan, bukan? Owh, itu artinya saya harus berbuat baik kepada setiap orang. selalu.
Baiklah, barangkali seperti ini langkah-langkahnya:
Pertama, saya harus selalu tersenyum jika bertemu seseorang. Tak boleh marah-marah apalagi membentak orang tua khususnya.
Kedua, semua perintah Tuhan, harus saya lakukan. Bahkan yang dianjurkanNya pun harus dilakukan. Tetapi, ingat! Jangan riya’! Jangan ujub! Jangan cari popularitas! Mencari Tuhan, kok dijadikan popularitas? Orang gila namanya.
Terakhir, sekalipun Tuhan tak lagi ditemukan, ataupun raja tak lagi mau ditemui, teruslah lakukan dua langkah tadi. Biarkan Tuhan tau, kalaulah saya benar-benar mencariNya.
“Hey, lihat orang gila tadi. Dia tetap mengomel-ngomel mencari Tuhannya. Barangkali, ia harus dimandikan dulu untuk menemui Tuhannya”


Elang_Timur

Berubahlah! Sebab, Perubahan Itu Ada

Terkadang, aku bingung dengan takdir Tuhan. Meski banyak kalimat yang kutemui, entah dari kawan, guru maupun selepas bertamu dari buku ke buku yang lain, jawaban mereka tetaplah sama: “Tuhan lebih tahu mana yang terbaik buat kita”
Tetapi, coba cerna kalimat tadi dengan keadaanku saat ini.
Berkali-kali aku meyakinkan diri, kalaulah hidup sejatinya sudah ditentukan Tuhan, dan kita adalah pemainnya. Lantas, apakah permainan sudah diatur sedemikian rupa? Maksudnya, apakah yang kalah, menang ataupun yang patah tulang sudah ditulis? Apakah tidak bisa pemain tadi mengubahnya? Ah, kalau sudah ditulis, berarti ibarat permainan sepak bola, kalau kalah terus itu sudah rencana Tuhan? Kalau dipikir-pikir, amatlah kejam permainan tadi.
Eits, tunggu dulu. Ternyata yang ditulis Tuhan tak semuanya berkekuatan hukum tetap alias paten. Sesuatu akan dikatakan paten jika mengenai hal-hal tertentu. Selebihnya, Tuhan menyerahkan kepada usaha manusia.
Ah, cobalah amati kembali. Berarti, kalaulah aku menggerutu terus menerus dengan keadaan jiwaku saat ini, aku harus melakukan usaha. Tak boleh diam diri apalagi bertafakkur dengan kasur. Perubahan tidak akan pernah datang kalau aku tak mau berjalan.
Lihatlah, keadaanku saat ini sangat hina. Baik jiwa maupun di luarnya sangat miris. Tapi akal selalu berusaha membenarkan. Hati pun tak mau diajak bercakap.
Lihatlah pula saat aku berusaha menemui Tuhan. Aku kalah dalam hasutan setan. Padahal Tuhan amat baik hingga saat ini. Meski ku akui, mata hati mulai menutup diri.
So, berubahlah! Jangan Diam Diri....


Elang_Timur

Hikayat Seorang Santri Bodoh

Usiaku lima belas tahun waktu itu. Saat aku terbuang ke Madura. Ya, di sebuah pesantren Al-Amien inilah aku harus bersemedi. Tak tanggung...