Peristiwa
di sore itu, telah berlalu dalam minggu lalu. Tetapi saya masih mengingatnya.
Sangat.
“Tak
taukah kau? Ada turis di lapangan”
Owh,
ya? Kedua alis saya tiba-tiba saja mengkerut. Tak percaya. Lekas saya beranjak
ke lapangan, meski mata sedikit terantuk.
Dari
tepi jalan saya melihat rombongan turis tadi. Sedang bercengkerama dengan
kamera yang memotret para pemilik lakon lapangan. Para pemain sirkus yang
menjadi objek ketertarikan para turis ini sebelum singgah ke Banyuwangi dan
Bali. Ya, apalagi kalau bukan tembakau.
Kabupaten
serta kampung saya ini, memang terkenal dengan tembakaunya. Bahan pokok membuat
rokok sekaligus cerutu bagi para turis. Puluhan gudang tembakau tersebar di
pelosok kabupaten apalagi di kampung saya, jumlahnya amat banyak. Tak heran
mereka memandang takjub para petani dan kuli yang sedang menjemur atau
menggambang tembakau di lapangan. Apalagi, lapangan kami berada di tepi jalan.
Jalan utama lewat jalur darat selatan menuju Bali.
Sesekali
saya menyapa mereka. Bertanya negeri asal beserta gerangan apa yang membuat
mereka menyapa negeri saya, Indonesia. Hanya sekedar basa-basi begitu.
Mengingat, bahasa inggris saya masih hancur kalang kabut. Beruntunglah mereka
memahami bahasa saya. Hehehhe........
Barangkali,
satu kalimat yang diungkapkan banyak turis tadi yang membuat saya berani
menulis kejadian sore itu. Satu kalimat tentang kesepakatan bersama tanpa
bermusyawarah dulu antar turis tadi. Ya, satu kalimat yang sangat berarti bagi
saya pribadi. Dan kalimat itu berisi: “Saya begitu bahagia di negera kamu dan
saya menikmatinya. Apalagi, orang-orang di kampung kamu ramah dan bersahabat”
Wah,
saya sangat bahagia mendengarnya. Kalimat tadi yang diucapkan satu orang tetapi
kesepakatan semuanya, mampu membuat saya senyum-senyum sendiri. Senyum yang
bersaing saat tulisan pertama saya dimuat di koran pertama kali.
Sayang,
mereka tak memiliki waktu amat banyak. Padahal, ingin sekali saya bercerita
panjang lebar tentang kampung saya. Kampung tembakau kami. Tembakau yang
menjadi urat nadi kami. Sebab pada urat-uratnyalah kami akan bertahan hidup.
Ingin pula saya bercerita, bagaimana para bapak dan ibu kami merawat daun-daun
tembakau tadi seperti merawat anak sendiri. Bagaimana daun-daun tembakau tadi,
saat abu semburan gunung Raung meletus dan menutupi tubuh tembakau, kami membersihkan
dengan kuas sangat perlahan agar debunya tak lagi merusak daun tembakau yang
telah dijemur.
Dan
satu hal lagi, saya ingin sekali mengatakan kepada turis tadi, bagaimana
keadaan kami dengan tembakau-tembakau tadi. Saat ini, masih banyak gudang
tembakau yang tutup. Tak buka. Tak mau membeli tembakau para petani. Alangkah sialnya
nasib kami. Kalaupun ada gudang yang mau membeli, harus para petani yang
memiliki kartu anggota. Matilah para petani yang bukan anggotanya.
“Ah,
Gara-gara abu Raung. Tembakau tak laku”
“Kayaknya
bukan. Memang ekonomi kita tiap tahun terus merosot”
“Entahlah.
Memiliki tembakau, tak sebahagia tahun-tahun lalu. Nasib, nasib”
Jujur
saja, entah karena abu Raung ataupun keadaan ekonomi yang kian lesu yang
membuat tembakau-tembakau kami tak laku. Kenyataannya, kejayaan tembakau mulai
surut. Saya teringat saja pada kisah kejayaan Majapahit. Perlahan tapi pasti,
memudar. Tetapi, apakah kampung tembakau kami akan turut memudar lalu hilang
seperti Majapahit tadi? Lalu, setelah seribu tahun akan ada seorang artefak
yang akan menemukan kampung yang sarat dengan tembakau tengah terkubur puluhan
meter di bawah tanah?
Owh,
tentu khayalan saya di atas sangat mengerikan. Saya masih yakin, petani-petani
di kampung saya masih akan terus menanam tembakau. Kami akan merawatnya meski
berbulan-bulan baru akan menuai hasil. Entah rugi ataupun untung, tembakau
telah menjadi darah daging kami. Menjadi urat nadi kehidupan para anak petani.
Dan meski, ada beberapa gudang telah menutup diri dan ribuan karyawan di PHK.
Dan
terakhir, saya ingin bercerita kepada para pelancong dari luar negeri tadi:
terima kasih atas pernyataan keramahan orang-orang di kampung kami. Sesulit
apapun keadaan ekonomi, sekeras apapun kehidupan kami, bibir kami akan terus
merekah. Akan terus menyapa para pelancong ataupun masyarakat lainnya. Cukuplah
kami memanipulasi diri dengan sinar persahabatan. Cahaya keramahan. Meski hati
menyimpan secuil cerita: “Ada saudara kami, yang membakar berkwintal-kwintal
tembakau sebab tak laku. Banyak diantara kami, menanggung rugi sekaligus hutang
puluhan juta. Dan ada saudara kami, mati bunuh diri gara-gara tembakau tak ada
yang mau beli”
Oktober
‘15
Kampung
tembakau, Pakusari, Kabupaten Jember