Friday 21 August 2015

Janji Merpati




            Sesuai janjiku Bintang, kini kubawakan kabar merpati itu padamu. Meski melalui esai tak bersastra ini, aku rasa telah cukup mewakili diriku yang kini tak sanggup menemuimu. Karena sebenarnya, aku bingung untuk menyampaikannya padamu. Tapi, saat aku duduk di tengah taman kota tadi pagi, bersama koran yang kubeli dari pahlawan berita, kuterperangah melihat judul esai Abdul Aziz. Kucoba ikuti gaya bahasanya tapi tak bisa. Tak apalah, ini gaya bahasaku sendiri. Bukankah aksara yang tak bersastra lebih berharga daripada mengklaim aksara orang lain?
            Baiklah, aku tak mau basa-basi. Karena aku takut kamu mulai bosan membaca tulisanku. Begini, kisah mawar putih dan seekor merpati yang kamu ceritakan padaku malam itu, tak mungkin hilang dari ingatanku. Sebab, aku sudah tau kemana merpati itu pergi. “Dulu, ada seekor merpati yang setiap hari mengunjungi mawar putih” katamu mengawali cerita. Sedangkan aku sibuk menata kepala di pangkuanmu. “Sebenarnya, ia menaruh hati pada sang mawar tetapi merpati tak berani mengungkapkannya. Hingga suatu hari, merpati menyatakan perasaannya. Tapi, sang mawar hanya diam lalu mengajukan satu syarat”
            “Apa syaratnya?” tanyaku menyambar alur cerita. Kamu pun tersenyum melihat raut wajahku. “Syaratnya, sang merpati harus bisa merubah mawar putih menjadi mawar merah”. Jawabmu lembut. “Kenapa ia memilih menjadi mawar merah bukankah akan terlihat lebih indah jika ia menjadi mawar putih?” keningku mengkerut menyatu dengan alis yang sedari tadi melengkung bak celurit. Jemarimu membelai dahiku perlahan. “Karena sebenarnya sang mawar tak menaruh hati pada merpati”
            Kamu pun melanjutkan kisah mereka.
            Sang merpati pergi mencari cara tuk mengubah mawar putih menjadi mawar merah. Setiap hari ia selalu merenung. Tapi, belum juga berhasil. Hingga tibalah pada hari yang ditentukan. Dan ia masih belum tau bagaimana caranya. Sedangkan bola mataku menerawang ke atap kamar. Membayangkan pilunya hati sang merpati.
            “Bagaimana, apa kamu sudah bisa merubah tubuhku menjadi merah?”
            Sang merpati tertunduk. Diam. Sang mawar melirik. Lalu tersenyum menang.
            Tiba-tiba sang merpati pergi ke samping tubuh mawar. Dicabutlah sebilah parang lalu dibelahlah sayapnya. Ia mengerang kesakitan. Lalu ditopanglah tubuh sang mawar dengan sayap yang dibelahnya tadi. Seketika itu pula tubuh sang mawar berubah menjadi merah. Darah telah menyerap ke setiap kelopak tubuhnya. Sang merpati kemudian pergi. Sang mawar memanggil. Tapi ia tetap pergi. Dan tak pernah kembali. Sang mawar menyesali perbuatannya. Kini, setiap pagi ia tak lagi melihat merpati di dahan kenari. Ia pun mengerti arti sebuah pengorbanan demi orang yang disayangi.
            “Kemana merpati itu pergi?” keningku masih mengkerut
            “Entahlah, tak ada yang tahu kemana ia pergi”
            “Baiklah, suatu hari nanti aku akan mengabarimu kemana merpati itu pergi. Aku akan mencari tahu meski harus keliling dunia”
            “Ha…ha…. Memangnya kamu mau pergi kemana?” bola matamu menatapku lembut. Menganggap perkataanku barusan hanya sekedar gurauan.
            “Percayalah, suatu hari nanti aku akan mengabarimu kemana merpati itu pergi. Aku janji” kukerutkan kening kuat-kuat. Menautkan alis sambil kujulurkan jari kelingking. Kamu menyambutnya dengan senyuman. Mengisyaratkan perkataanku hanya sekedar gurauan belaka.
***
            Sudah tiga musim kemarau cerita itu berselang dari bibirmu. Dan kini, sengaja aku bersemedi di kota suwar-suwir mencari tahu kemana merpati itu pergi. Aku tak pernah bosan ketika harus bertamu dari satu buku ke buku yang lainnya. Dari satu pintu ke pintu yang lain. Tetapi, tahun ini aku tak merasakan musim hujan sebagai penawar benih kehidupan. Tahun pertama, aku masih merasakan keduanya. Musim kemarau menyapa lalu musim hujan datang menyiram. Aku masih bisa menanyakan kabarmu. Mendengarkan keluh-kesahmu. Tahun kedua, hanya separuh musim kamu menemani. Kukirim pesan singkat menanyakan keadaanmu, seminggu atau dua minggu baru kamu balas. Bahkan pernah tiga bulan pesanku bersemedi di inbox handphonemu dan baru kamu jawab setelah tahu keadaanku yang sekarat dari kawan lamamu. Dan tahun ini, sama sekali tak ada kabar darimu. Kesibukan telah menyita waktumu tuk sekedar memberi kabar. Tak harus setiap hari, tetapi apa iya satu dari sekian pesan singkatku selama ini tak bisa kamu jawab? Telpon pun tak pernah diangkat. Bahkan nomerku kamu blokir. Tidak sampai disitu, akun FB-ku juga kamu blokir.
            Aku bingung bahkan sangat bingung. Sebenarnya, apa yang terjadi denganmu? Apa salah kalau aku menanyakan kabarmu? Menanyakan keadaanmu? Rupanya, waktu benar-benar telah merubahmu. Jalan hidup yang berbeda memang kuasa Tuhan dan harus kuakui itu. Tapi, tidak harus melupakan masa lalu, bukan? Dan tentunya, jalan hidup yang berbeda tidak harus ingkar janji pula, bukan?
            Hey, apa kamu mulai bosan membaca tulisanku? Jangan-jangan kamu bosan karena tulisanku semakin buruk? Semakin menyatu bak rumput? Wah, kalau urusan yang satu ini aku masih belum tahu solusinya. Bukankah sedari dulu tulisanku memang selalu buruk? Kalau begitu, kupersingkat saja kemana merpati itu pergi karena aku takut kamu mulai bosan membacanya.
***
            Merpati itu kini telah pergi mengikuti langkah kakinya. Menepi di sebuah ujung pulau. Tapi, bukan berarti ia melupakan sang mawar. Setiap hari ia selalu mengabari sang mawar melalui do’a sujudnya pada sang Pencipta. Hanya saja, ia tak tahu apa harus kembali menemui sang mawar atau tidak. Karena ia sadar, waktu bisa merubah siapa saja. Tidak termasuk sang mawar, manusia pun bisa dirubah oleh waktu. Dan sebenarnya, merpati itu sangat ingin menemuinya. Hanya saja, kelopak matanya kini telah kering tak ada air mata tuk menemuinya.
Pakusari, 13 January 2014, (09.46)
Di sebuah penataran kampung di tepi selatan pulau Jawa;
Aksara ini, slamanya kan slalu bersemayam dengan sunyi Bersama janji merpati.
 Percayalah!  Ia tak pernah ingkar janji apalagi menyakiti.
Hanya saja, sikap sang mawar yang tak bisa ia tebak, membuatnya bertapa dalam pesakitan.
-Terkadang baik bak malaikat tapi, tak jarang diam bak rumput yang membisu-
Tapi ia slalu bertahan dalam pelukan angin malam,
Berharap; sikap sang mawar yang slalu mengacuhkannya
Dapat ia rasakan, sebelum akhirnya
Ia menemui kekasih sejatinya: Sang Ilahi….

“Kado ulang tahun kepada saudaraku di ujung pulau Madura sana,,,
Yang aku sendiri tak tahu, apa ia masih terus mengacuhkan diriku yang hina ini….atau tidak….”

No comments:

Post a Comment

Hikayat Seorang Santri Bodoh

Usiaku lima belas tahun waktu itu. Saat aku terbuang ke Madura. Ya, di sebuah pesantren Al-Amien inilah aku harus bersemedi. Tak tanggung...