Wednesday 28 October 2015

Sekelumit Kisah Di Pesantren; Bagian II

in Memoriam, Madura

Sungguh kebahagiaan tersendiri teruntuk saya pribadi, sebab dapat merasakan bagaimana memasuki gerbang pesantren dan berdiam diri selama 5 tahun lamanya di ujung Madura sana. Barangkali, sebab musabab awal menyantri, telah saya ceritakan di tulisan yang lalu. Dan kali ini, sesuai janji saya terdahulu, saya akan menyambung kembali kisah-kisah yang pernah ada dan selalu ada. Maka, izinkanlah dalam tulisan kali ini, saya awali dengan ungkapan terima kasih yang tak terhingga.

Pertama
Kepada Alm. Kyai M. Idris djauhari. Harus saya akui, betapapun kekaguman sekaligus kisah mengenai beliau saya tuangkan dalam tulisan, tentu, takkan ada lembar dan pena yang sanggup mewadahi segala unek-unek serta isi hati. Saya yakin, bukan hanya saya saja yang merasakan demikian, melainkan seluruh alumni dan santri-santrinya akan merasakan hal yang sama. Mengapa demikian? Gerangan apa yang sanggup membuat kami sampai berdiri dan menunduk ta’dzim? Ya, kharismanya-lah yang membuat hati kami bergetar tatkala mengingatya. Sekalipun saya tidak pernah berjabat tangan dengan beliau, tetapi, bertemu sekaligus menatapnya adalah suatu kebahagiaan tersendiri bagi sanubari.
Mengingat beliau, saya takkan lupa tatkala di hari pertama menyantri. Kedua orang tua saya telah kembali ke Jawa. Tinggalah saya seorang diri memulai diri beradaptasi. Hingga di sore hari, dikumpulkanlah seluruh anak baru di dalam aula. Kami yang tak pernah kenal sebelumnya, saling bertanya nama dan berasal dari mana. Salah satu upaya menghibur diri menciptakan suasana kerasan. Ada yang berasal dari daerah Madura, ada pula yang dari Jakarta serta Bangka. Inilah, pertemuan pertama saya dengan kawan-kawan dari berbagai daerah. Dan tibalah di awal acara, seseorang berapakain jubah putih, duduk di tengah podium. Sekilas, saya mengajak pikiran saya kembali menyelami kelas 2 SMP. Agaknya, seseorang di depan saya ini pernah saya temui. Ya, sepertinya beliau memang pernah ke rumah saya, yang mana sebelum pamit pulang beliau bertanya pada bapak, apakah ini putri bapak? Bapak saya hanya mengangguk. Lalu, kyai tadi melanjutkan: “Nanti menyusul ke Madura, mondok sampai lulus”.
Ai, saya tak menyimpan benar kalimat kyai tadi. Nyatanya, saya cukup kecewa sebab hari Minggu saya terganggu. Saya tak lagi bisa melihat kartun kesayangan saya: Detective Conan. Dan satu hal lagi, kata menyantri amat jauh dari pikiran dan keinginan saya. Dan itu tidak mungkin terjadi.
Dan sungguh, sangatlah kuasa campur tangan Tuhan. Setahun lebih, ucapan kyai tadi terbukti. Saya menyantri di Madura. Dan beliau, berbicara di depan saya di hari pertama menyantri. Dan kalimat beliau yang tidak akan pernah saya lupa: “Disini kalian juga memiliki orang tua. Mulai sekarang, saya abah kalian”
Ya, itulah perjalanan awal saya yang dimulai dengan sapa sang Kyai...

Kedua

Kepada semua ustadzah dan wali kelas, khususnya disaat awal saya menyantri. Kesulitan pertama yang saya hadapi di pondok ialah pelajaran yang berbau arab. Entah mengapa, saat pelajaran tersebut, membuat kepala saya mengerut sekaligus menyusut. Parahnya, semua pelajaran dihantarkan dengan bahasa arab. Jadilah saya celingak-celinguk tak karuan. Beruntung bagi kawan yang lulusan Madrasah ataupun yang pernah mengenyam pendidikan bahasa arab di kampungnya. Lah, saya???
Tetapi, lagi-lagi Tuhan tidak membiarkan saya sedih terus menerus. Wali kelas yang dihadirkanNya, membuat saya terus semangat menjelajahi dunia pesantren. Para wali kelas, yang senantiasa sabar membimbing saya yang sulit menghafal dan cepat pula hilang. Para usth, yang selalu telaten melihat tulisan arab saya yang salah total. Anda bayangkan saja, di dalam kalimat bahasa indonesia saja, spasi menjadi hal mutlak untuk membedakan satu kata dengan kata yang lain. Pun begitu di dalam bahasan arab. Parahnya, saya tak memberi spasi satu pun dalam semua tulisan sebab saya tidak tau disebelah mana spasi tersebut diletakkan.
Hahaa......tentu saat ini saya bisa tertawa mengingatnya. Tetapi, jangan anda tanyakan saat saya masih mengalami peristiwa tujuh tahun lalu tersebut. Menangis adalah pilihan saya. Tentu, saya tak menangis di depan kawan ataupun ustadzah. Saya cukup menangis saat adzan menyapa. Ditambah dengan nasib yang jauh dari orang tua. Lengkaplah tangisan saya tersebut.


Ketiga

Ust. Moh. Hamzah Arsa, Guru pertama yang mengatakan kalaulah saya bisa menulis. Jujur saja, awalnya saya memang salah memilih kegiatan ekstakurikuler. Ya, bagaimana mungkin saya memilih bidang tulis menulis, lah wong saya tak bisa menulis puisi, cerpen, atau yang lain. Kalau sekedar suka, ya, saya suka. Tetapi untuk merangkai kata yang berkias, bukan saya spesialisnya. Hingga akhirnya, saat saya bergelut di kegiatan tersebut, saya ikuti arusnya dengan ikhlas. Bersama kawan Panah Pers, yang membuat saya mengerti arti kerja keras, persahabatan, ego dan masih banyak lagi. Di lain hal, saya akan ceritakan kawan Panah Pers tadi di bagian lain. Dan terakhir, sampai saat ini, saya takkan pernah mengatakan jikalau saya bisa menulis. Melainkan, saya akan terus belajar menulis.

Keempat
Ungkapan terima kasih kepada semua elemen di dalam pesantren. Ibu-ibu petugas pengambil sampah, bapak-bapak yang siap siaga melakukan banyak hal, ibu-ibu penjaga wartel yang terkadang cerewet melihat santri menelpon terlalu lama padahal antrean panjang, ibu foto copy yang selalu membantu saya tatkala bermasah dengan jam tangan, ibu kantin dan ibu dapur. Untuk yang disebutkan terakhir, saya ucapkan beribu terima kasih. Saya tahu, ucapan ini barangkali tidak akan tersampai pada anda semua. Tetapi, kebaikan ibu dapur yang tak pernah letih, saya tak bisa membalasnya. Bayangkan saja, saya menjadi anak emas bagi beliau. Kalaulah saya tak makan, entah karena kesibukan atau malas, ia akan menitipkan sebungkus nasi untuk saya. Apalagi kalau saya sakit. Masih belum lauk yang ditambah. Ah, masih banyak kebaikan beliau. Dan saya, tak melakukan apa-apa kecuali menjadi pendengar yang baik, tatkala ibu dapur ingin bercerita. Hehehehe........

No comments:

Post a Comment

Hikayat Seorang Santri Bodoh

Usiaku lima belas tahun waktu itu. Saat aku terbuang ke Madura. Ya, di sebuah pesantren Al-Amien inilah aku harus bersemedi. Tak tanggung...