Dimuat di Radar Jember Tanggal 24 Juli 2016
Galah
yang jauh lebih jangkung dari tubuhku, masih terus kugenggam. Bambu tempat
pengait tembakau ini agak berat memang. Akan terasa ringan saat dibawa lari. Tentu
ujung bambu yang di belakang tak boleh terangkat. Supaya ikut terseret.
Seperti
sore ini. Banyak galah ikut berlari. Mengejar layangan yang kalah bertarung di
langit sana. Sepertinya, angin tak seribut hari kemarin. Mengamuk saat banyak
layangan tengah sibuk berjuang pertahankan kekuatan senar. Tak apa. Bagiku sama
saja. Aku bukan petarung layangan yang harus kecewa saat angin tak bersahabat.
Aku hanya sekedar pengejar layangan. Bahagia bila ada layangan putus lalu
menyangkut di dahan pohon. Kaki ini akan berlari secepat mungkin, berlomba
dengan kawan lain. Sambil membawa galah yang ujungnya telah dikaitkan reranting
kecil, untuk menggulung sisa senar layangan yang tengah tersangkut.
“Har,
sudah banyakkah layangannya?”
“Belum,
Rus. Masih enam.”
“Oh,
buatku saja, ya?”
Tak sulit Rustam menemuiku di bukit
Juk Tuah ini. Selain cerita angkernya, ada sebuah kuburan di puncak bukit. Tak
ada yang berani melewati kuburan tadi apalagi mengejar layangan. Termasuk aku.
Hanya saja, aku sering berada di bawah kaki bukit. Meramal ujung lintasan yang
akan dilewati layangan.
“Eh, itu ada yang putus,” gumam
Rustam
Ya,
sebuah layangan melintas tepat di atas kepala. Angin membawanya lebih jauh.
Layangan tadi menukik ke bawah perlahan. Kuseret kaki meliuk-liuk diantara
semak rerumputan. Menaiki bukit bersama galah yang turut kuseret. Sementara
tangan kiri, memegangi saku celana yang mengeluarkan gemerincing logam.
Benar
dugaanku. Layangan tadi menyangkut di atas pohon rambutan. Galah yang sudah
terpasang reranting, kujulurkan ke atas. Ah, sial. Tubuhku terlalu kecil meski
memakai galah yang lebih jangkung. Ujung senar layangan yang melambai-lambai,
tak bisa kugulung. Terpaksa kedua kaki harus menjinjit di atas sebongkah batu
yang dilumuti lumut. Agak licin memang.
“Anak
nakal. Apa kau tak lihat, batu yang kau injak itu nisan Juk Tuah?” ibu
mengawali kemarahannya sambil menenteng telinga kananku.
Kulihat
batu yang telah kuinjak. Sial. Ada satu batu lagi di bawah pohon rambutan.
Membentuk sebuah ukuran kuburan.
“Bukankah
sudah kukatakan berkali-kali. Jangan pernah main kesini. Kau tak takut biibih membawa lari dan tak kembalikan
tubuhmu ke dunia ini?” omelan ibu meluncur lebih lanjut. Kupegangi lengannya
lebih erat. Cerita biibih telah menjadi
legenda turun temurun di kampungku. Sosok dari dunia lain yang membawa lari
anak kecil ke dalam dunia gaib. Beberapa waktu lalu, Anai tetanggaku yang bermain
sendiri di belakang rumah, tiba-tiba hilang tak ada kabar. Semua penduduk di
kampung ikut mencari. Di sungai, di bukit Juk Tuah, tetap tak ada. Hingga adzan
maghrib, warga menemukan tubuh Anai tak sadarkan diri di tengah rimbun bambu
dekat sungai. Setelah siuman, ia tak menangis. Bahkan bertanya akan sosok yang
membawanya terbang selepas adzan tadi siang.
“Harusnya
kau itu belajar. Tak usah mengejar layangan sampai ke bukit sana. Dahulu saja
tak ada yang berani lewati bukit itu. Bapakmu
meninggal sedari kuburan itu, Har. Ia tak sengaja mengencingi batu nisan Juk
Tuah. Kuburan itu memang angker. Juk Tuah bukan orang sembarangan. Hari lahir
dan meninggalnya sama. Jum’at Kliwon.” Dan Seterusnya, seterusnya. Ah, betapa
seringnya ibu mengulang cerita ini.
***
“Jangan
lagi kau tanyakan yang lain. Tak ada yang pantas untuk diingat, selain kenangan
yang mengenaskan,” lirih ibuku. Lalu kembali berpaling mengambil tembakau.
Mengaitkannya ke atas ghelengan.
“Mengapa aku tak boleh mengingatnya?”
“Sebab, kau akan memiliki amarah
seperti ibumu ini.”
“Tapi, aku anaknya, Bu. Apa salahnya
aku mengingat orang tuaku sendiri?”
“Ehar!” sergah ibu tiba-tiba. “Tak
cukupkah ceritaku tentang bapakmu? Ia mati setelah mengencingi batu nisan Juk
Tuah. Kuburan itu bukan sembarang kuburan. Itu kuburan keramat.”
Ada sedikit amarah diantara keriput
wajah ibu. Sambil terus menata ghelengan,
mata ibu tetap bersungut.
“Kalau kau hanya ingin bertanya
tentang bapakmu, lebih baik tak usah bantu. Aku bisa kerjakan sendiri,” ucap
ibu kembali.
Aku memandangnya lekat. Pergi dari
hadapan Ibu. Membiarkannya terus bekerja. Menata tembakau milik kepala desa.
Tiba-tiba saja ada seorang lelaki
mendekati ibu. Lelaki separuh baya itu terlihat menyeramkan. Kumisnya lebat
melengkung ke atas. Matanya terlihat menaruh hati-hati. Aku tak pernah melihat
lelaki itu sebelumnya. Kulihat Ibu terperangah melihat sosok lelaki yang
berpakaian serba hitam itu. Telunjuknya mengarah ke sebuah rimbun bambu di
ujung pekarangan Wak Buto.
Aku yang masih duduk di bawah pohon
sawo, menguntit langkah keduanya. Wajah ibu terlihat sedikit gusar. Lebih gusar
dari amarahnya tadi.
“Apa yang kau lakukan di sini,
Pardi?”
“Sudah waktunya aku kesini. Sudah
waktunya pula Ehar harus tau tentang semuanya.”
“Takkan kubiarkan Ehar pergi. Dia anakku. Aku yang melahirkannya.”
“Ya, aku mengerti, Yati. Tapi, ini
hukum kita. Sudah waktunya kau harus ceritakan semua. Tak kasiankah kau melihat
anakmu dijauhi orang-orang?”
“Tak mungkin aku berikan Ehar pada
mereka. Aku ibunya. Biarkan saja adat seperti ini. Tak ada yang bisa memisahkan
darah ibu pada anaknya, sekalipun kepercayaan orang-orang tak bisa diubah.”
Bibir ibu bergetar. Matanya tersirat
menyimpan amarah yang begitu besar.
“Yati, kau harus relakan anakmu. Ini
jalan satu-satunya agar ia bisa diterima masyarakat. Lagi pula, tak ada cara
lain menangkal tolak bala ini. Tidakkah kau ingat, saat Ripin diamuk
orang-orang malam itu?”
“Sudah, cukup! Aku tak lagi mau
mendengar cerita itu. Ripin sudah mati. Ehar dan aku sudah cukup bahagia disini.”
“Tidak, Yati. Kau harus mengingat
malam Jum’at Kliwon itu. Saat suamimu diamuk orang-orang sebab menggali kuburan
Juk Tuah dan mengambil tulang-belulangnya sebagai jimat. Kau harus ingat itu,
Yati. Dan anakmu, Ehar. Harus menanggung apa yang Ripin perbuat.”
Darahku seakan berhenti mengalir. Kulihat
mata ibu berair.
“Ehar sudah dewasa. Sudah waktunya
ia tinggalkan pulau Jawa. Suatu hari nanti, kalau hukuman itu sudah selesai,
aku yakin ia akan kembali menemuimu.”
“Kau pikir, dua puluh tahun itu tak
lama, Pardi? Aku yang mengandungnya sembilan bulan. Aku pula yang merawatnya
saat Ripin mati diamuk orang-orang. Aku pula yang bekerja agar ia makan. Dan
sekarang, kau bilang kepercayaan seperti itu harus kuturuti? Hidup macam apa
ini, Pardi? Hidup macam apa?”
Tak ada jawaban dari sosok lelaki
itu. Bibirnya diam mematung. Begitupun ibu. Tangisnya semakin menjadi.
Gemerisik sampah yang kuinjak, membuat keduanya terperangah. Kutemui ibu yang
tak menyangka keberadaanku.
“Aku akan pergi, Bu. Bersamamu.”
No comments:
Post a Comment