Akan ada satu tempat dimana waktu berhenti
yang tersisa hanyalah peristiwa-peristiwa yang
membeku
yang menjelma menjadi satu petikan adegan
dari ribuan kenangan
Andaikan
waktu berbicara soal kualitas bukan kuantitas, seperti cahaya malam menyisiri
garis-garis pohon. Waktu hadir tetapi tak bisa diukur.
Seperti
saat ini, malam yang cerah. Seseorang hadir dengan mata sayu. Sudut matanya
menyimpan kesyahduan yang basah. Kontras dengan cahaya bulan yang naik menaungi
pepohonan.
“Malam
yang indah” ia menebarkan sesungging senyum. Meski di ujung pintu bibirnya
sulit memanjang.
Aku
hanya mengangguk. Menanti sapa berikutnya.
Dengan
menghela nafas berat, ia buru-buru menoleh ke arah jendela kamar. Tatapannya
mengambang diantara purnama dan gumpal awan berarak pelan. Selintas, ada gerak
kebimbangan.
“Sudah
cukup lama, aku seperti ini. Bahagia dalam derita. Tapi tak sedetik pun ia
peduli” aku pura-pura tak menatapnya. Tak tega melihat air mata yang terbentang
di kedua bola matanya. Sementara bibirnya bergetar perlahan.
“Ternyata,
waktu begitu cepat berlalu. Ia sudah berubah. Bukan Bintang yang dulu ku
kenal”. Kali ini, aku tak sanggup berkata lagi. Setiap malam, ia selalu begini.
Dan aku tak bisa berbuat apa-apa.
“Mungkin
aku pengecut” lanjutnya. “Aku tak sanggup menerima kenyataan. Tapi, siapa yang
sanggup terus menyayangi sedangkan ia tak pernah peduli?”
Aku
memandangnya lembut. Matanya penuh kaca. Begitupun mataku. Aku mengerti.
Semenjak ia pergi melanjutkan studi, hari-harinya pucat tak ada gairah.
Bintang, yang selalu mengisi pikiran dan jiwanya, kini telah berubah.
Komunikasi keduanya terasa hambar. Sekedar menanyakan kabar. Itu saja.
Parahnya, beberapa bulan sekali. Setiap kali ia menanyakan ini dan itu, selalu
direspon dua kata “Nanti saja”. Bahkan sering tak dijawab.
Dan
kini, lihatlah. Jiwanya tampak letih. Wajahnya yang kering, menampakkan
kecapaian yang berkerut-kerut dan kesakitan. Matanya berkunang-kunang melihat
perubahan yang tak disangkanya. Ah, mungkinkah ia menyadari semua yang berubah
bisa membunuhnya.
Plek!
Tiba-tiba
ia mematikan lampu. Barangkali ia ingin berbaring. Menata pikiran dan tubuhnya
yang turut berubah. Ya, biarkan saja.
***
Angin
berdesir. Lembut. Bagai sutera yang melintas di tangan Srikandi.
“Hey,
bangun!” suara itu buyarkan mimpiku saja. Ah, aku bergumam sendiri. Pagi-pagi
begini ia sudah membangunkanku. Sungguh, kelopak mataku sulit terbuka.
Tiba-tiba, tercium bau tak sedap.
“Ukh”
perutku mual sekali. Kulihat sekeliling. Mataku terbelalak. Tubuhku terbaring
di tengah tumpukan sampah yang membusuk.
“Kenapa
kita ada di sini?” tanyaku setengah bingung
Ia
tak menjawab pertanyaanku. “Lihatlah itu!”
Segerombolan
orang berjalan tergesa, mengusung tandu.
“Siapa
yang di dalam tandu?” aku tak peduli lagi dengan bau sampah yang menyengat.
“Jenazah”
jawabnya
“Jenazah”
aku bergumam sendiri
“Ya,
jenazah…….” Tak sempat ia menyebut jenazah siapa di dalam tandu, mataku
termangu pada barisan pengusung tandu. Wajah mereka memancarkan duka. Berarak
sambil menyebut asma Allah dalam irama yang sama.
“Aku
harus kesana. Akan kuceritakan kenapa dia berbuat begitu” teriakku setengah
memaksa.
“Untuk
apa? Tak ada gunanya! Itu sudah jalan hidup yang dia pilih. Kita tidak bisa
berbuat apa-apa”
“Tidak!”
bentakku. “Aku akan tetap pergi. Akan kuceritakan apa yang ia derita selama
ini. Aku saksi semua ini”
“Apa
kamu sadar, kamu ini siapa?” ia balik membentakku. Matanya melotot tajam.
Seperti menyimpan dendam. Ia meneruskan amarahnya tanpa mengurangi tekanan
suara. “Dia sengaja membuang kita semalam. Dia tidak ingin ada jejak kenapa dia
mengakhiri hidupnya”
Kali
ini, aku tak merespon. Ada nada sesal dalam kalimat yang meluncur dari
mulutnya.
“Kita
berdua memang saksi penderitaan hidupnya. Tapi apa artinya kita? Kamu hanya
sekedar buku diary yang setiap malam menjadi pendengar setia. Dan aku, hanyalah
pena yang selalu menghasilkan cerita yang ia derita. Apa kita bisa memberi
kesaksian kepada orang-orang itu?”
Aku
tak sanggup menjawab pertanyaan pena. Bibirku menggigil. Sangat menggigil.
“Urungkan
niatmu. Aku mengerti, dia memang cerita banyak hal padamu. Tentang Bintang yang
kini lupa akan rembulan yang datangkan purnama” ucapnya menembus keheningan.
Mungkin, aku yang terlalu
menyayangkan keputusan yang ia pilih. Mengakhiri hidup yang ia lakukan,
ternyata ada baiknya. Kehidupan memang penuh kepalsuan. Janji-janji terasa
manis tatkala dibutuhkan.
“lihatlah itu!” tiba-tiba pena
bersuara parau
Seseorang melangkah ke arahku.
Membawa sebotol air yang tak penuh. Air? Bukan. Itu minyak tanah. Orang itu
berdiri tepat di hadapanku. Tangan kanannya merogoh saku celana.
Krek!
“Barangkali, kamu benar! Bintang
memang tak pernah menyayanginya sepenuh hati” lirihku getir. Sebelum api
menjadikanku abu kenangan.
Hant_K
Pakusari, 28 Oktober 2014
at: 22.19
at: 22.19
Kado sederhana
yang selalu kuhadirkan setiap tahun.
entah, kamu
masih mengingat peristiwa itu atau tidak…..
No comments:
Post a Comment