Monday 27 July 2015

Negeri Dengan Sejuta Persoalan




Pendidikan di Indonesia ibarat sebuah perjalanan yang amat jauh. Bukan persoalan berapa lamanya melainkan banyak rintangan yang harus dihadapi. Mulai dari jalanan yang berlubang, mobil yang tersendat-sendat bahkan sang sopir yang rawan ugal-ugalan.
Jika direalisasikan dalam dunia pendidikan, jalanan yang berlubang tadi diibaratkan sebagai pemerintah. Lembaga yang menyiapkan program guna mencerdaskan anak bangsa. Nyatanya, pendidikan yang dicanangkan sebagai benteng kekuatan bangsa hanya sebatas pepohonan yang mampu disentuh bagi mereka yang memiliki galah. Artinya, setelah 68 tahun Indonesia merdeka sampai saat ini masih banyak rakyat yang belum mampu meneruskan pendidikannya hingga ke perguruan tinggi. Sungguh pemandangan yang sangat kontras jika dibandingkan dengan pernyataan presiden beberapa waktu lalu yang mengatakan pertumbuhan ekonomi bangsa semakin baik tiap tahunnya. Seharusnya, pertumbuhan ekonomi yang semakin baik diiringi dengan peningkatan pendidikan yang baik pula. Bukan sebaliknya.
Persoalan kedua dari rintangan pendidikan di Indonesia yakni datang dari pendidik itu sendiri. Sejatinya, seorang pendidik bukanlah seseorang yang hanya mentransfer ilmu saja melainkan membimbing anak didiknya menjadi individu yang berkualitas. Seorang pendidik sejati bukanlah mereka yang hanya berprofesi sebagai guru melainkan harus berjiwa guru. Namun, kenyataan saat ini mengatakan sebaliknya. Berbagai kasus yang melibatkan guru sering terjadi. Mulai dari pelecehan seksual terhadap anak didiknya hingga kasus pembunuhan antar guru hanya karena masalah jual beli. Sungguh ironis melihat kenyataan tersebut namun, akan lebih baik apabila semua pendidik memiliki kesadaran bahwasannya mereka tidak hanya sekedar mentransfer apa yang terdapat di dalam buku kepada anak didiknya, melainkan mengajari apa yang dibutuhkan dalam kehidupan katakanlah etika. Bagaimana mungkin mereka mampu mendidik para muridnya jika etika mereka saja tidak bisa dicontoh?
Adapun persoalan yang terakhir yakni dari anak didik itu sendiri. Jika pemerintah sudah menyediakan infrastruktur yang baik, para pendidik sudah memiliki jiwa guru lantas, bagaimana dengan anak didik itu sendiri? Rupanya, realita saat ini memiliki cerita yang tak jauh berbeda dengan kedua rintangan di atas. Hampir setiap hari kita melihat dalam dunia massa entah di koran ataupun televisi mengenai kejahatan yang dilakukan para remaja yang notabene tergolong pelajar. Katakanlah aborsi. Aborsi ini merupakan upaya terakhir dari pelaku dalam menghilangkan jejak kejahatan yang mereka lakukan. Sungguh ironis melihat pemuda bangsa lain berlomba-lomba dalam membangun negaranya namun, pemuda Indonesia sendiri malah sibuk dengan kesenangan mereka sendiri. Sungguh ironis pula ketika melihat para pemuda bangsa lain mencintai dan menjaga budaya negaranya justru pemuda Indonesia lebih mencintai budaya negara lain.
Namun, dari sejuta persoalan yang dihadapi negeri ini bukan berarti tidak ada solusi. Kesadaran ini harus dimulai dari sekarang bukan esok ataupun tahun depan; oleh pemerintah, para pendidik dan tentunya kita: anak didik.

No comments:

Post a Comment

Hikayat Seorang Santri Bodoh

Usiaku lima belas tahun waktu itu. Saat aku terbuang ke Madura. Ya, di sebuah pesantren Al-Amien inilah aku harus bersemedi. Tak tanggung...