“Dulu
ada filmnya Unyil sama pak Raden”
“Siapa
itu Unyil dan pak Raden?”
“Wuih,
pak Raden orangnya nakutin. Nyeremin. Kumisnya tebal melengkung ke atas.
Alisnya juga tebal”
“Kok,
sekarang sudah gak ada filmnya?”
“Mungkin
nanti ditayangin lagi. Percayalah”
Percakapan
di atas masih terus melekat dalam satu wadah yang bernama kenangan. Ya,
percakapan di atas memang terjadi di masa kecil saya. Saat sekolah dasar
tentunya. Film Unyil dan Pak Raden memang menjadi idola bagi insan Indonesia
khususnya di era tahun 80-an. Nah, berhubung saya terlahir di era 90-an, tentu
saya hanya mendengar kisah film tersebut secara lisan. Alias sebatas cerita
dari orang tua, kakak atau paman.
Sosok
pak Raden yang menjadi centre kisah
yang menyeramkan, seringkali diucapkan ibu-ibu di kampung untuk mendiamkan
anaknya yang rewel. Sering nangis. Selalu ibu-ibu tadi akan berkata begini
“Jangan nangis. Ada Pak Raden. Nanti kamu dibawa”
Maka,
entah kemanjuran mantra tersebut ataukah memang sosok pak Raden yang begitu
menyeramkan, anak tadi akan diam sendirinya. Berganti suasana menjadi takut.
Kalut bertemu dengan sosok yang berkumis tebal melengkung ke atas.
Dan
begitulah secuil cerita saya mengenai pak Raden. Jujur saja saya tak menyangka,
sosoknya akan pergi ke hadapan Tuhan secepat ini. Meski hanya sebatas
mengenalnya lewat televisi, tetapi saya bangga telah memiliki sosok yang
mencintai anak-anak. Sederhana. Tak memikirkan imbalan apa-apa.
Terakhir,
selamat jalan Pak Raden. Jember kehilangan salah satu legendanya
No comments:
Post a Comment