Sunday 1 November 2015

“Selamat Jalan Pak Raden”



“Dulu ada filmnya Unyil sama pak Raden”
“Siapa itu Unyil dan pak Raden?”
“Wuih, pak Raden orangnya nakutin. Nyeremin. Kumisnya tebal melengkung ke atas. Alisnya juga tebal”
“Kok, sekarang sudah gak ada filmnya?”
“Mungkin nanti ditayangin lagi. Percayalah”

Percakapan di atas masih terus melekat dalam satu wadah yang bernama kenangan. Ya, percakapan di atas memang terjadi di masa kecil saya. Saat sekolah dasar tentunya. Film Unyil dan Pak Raden memang menjadi idola bagi insan Indonesia khususnya di era tahun 80-an. Nah, berhubung saya terlahir di era 90-an, tentu saya hanya mendengar kisah film tersebut secara lisan. Alias sebatas cerita dari orang tua, kakak atau paman.
Sosok pak Raden yang menjadi centre kisah yang menyeramkan, seringkali diucapkan ibu-ibu di kampung untuk mendiamkan anaknya yang rewel. Sering nangis. Selalu ibu-ibu tadi akan berkata begini “Jangan nangis. Ada Pak Raden. Nanti kamu dibawa”
Maka, entah kemanjuran mantra tersebut ataukah memang sosok pak Raden yang begitu menyeramkan, anak tadi akan diam sendirinya. Berganti suasana menjadi takut. Kalut bertemu dengan sosok yang berkumis tebal melengkung ke atas.
Dan begitulah secuil cerita saya mengenai pak Raden. Jujur saja saya tak menyangka, sosoknya akan pergi ke hadapan Tuhan secepat ini. Meski hanya sebatas mengenalnya lewat televisi, tetapi saya bangga telah memiliki sosok yang mencintai anak-anak. Sederhana. Tak memikirkan imbalan apa-apa.
Terakhir, selamat jalan Pak Raden. Jember kehilangan salah satu legendanya

No comments:

Post a Comment

Hikayat Seorang Santri Bodoh

Usiaku lima belas tahun waktu itu. Saat aku terbuang ke Madura. Ya, di sebuah pesantren Al-Amien inilah aku harus bersemedi. Tak tanggung...