Sunday 7 February 2016

Namanya, Halima



Namanya Halima. Kawan ngaji saya sewaktu kecil. Usianya lebih tua dan kesehatan berpikirnya sedikit terganggu. Bukan gila. Bagi saya, Halima tidak pernah gila. Sekalipun, dia sering marah dan bicara sendiri, atau saat anak-anak kecil berlari mengelilingi Halima sambil berteriak; “Orang Gila. Orang Gila”. Saya tetap pada pendirian. Dia sama sekali tidak gila.
Sewaktu mengaji, kami sering bermain petak umpet dengannya. Dan selalu kami jadikan Halima sebagai pihak yang kalah. Sekalipun begitu, ia selalu senang menghitung angka satu sampai sepuluh. Sesekali saja ia marah. Saat bad mood. Parahnya, bad mood-nya ini datang tak diundang. Seperti saat guru ngaji mengajari Halima mengeja dari huruf ke huruf, tiba-tiba saja dia tak mau menyebut huruf tadi, bahkan pindah duduk ke belakang dan asyik bicara sendiri.
Entah mengapa, tadi siang kami bertemu di depan toko. Sebenarnya, saya sempat  melihat Halima beberapa kali, tetapi hanya sepintas saja. Tak sampai bertatap muka sebab dia di ujung jalan dan menghilang. Barulah tadi, saya bertegur sapa setelah lebih sepuluh tahun saya tak mendengar suaranya. Tampak ia lagi mengais tempat sampah.
“Halima, ingat aku?”
Dia hanya melirik lalu melengos.
“Ma?”
Tetap tak ada sahutan. Dia terus sibuk mengais sampah. Pandangan orang-orang di sekitar tak nyaman. Tetapi, saya tetap berdiri di samping kawan lama ini. Halima tetap tak merespon. Saya hanya berpikir, barangkali, dengan caranya seperti ini dia menganggap saya sebagai temannya. Saya pun bergegas pulang. Tak disangka, saat saya menaiki sepeda dan mengatur gas, tiba-tiba dia menghampiri saya. Melihat barang belanjaan. Lalu tersenyum.
“Roti” ucapnya sambil menunjuk deretan makanan yang ada di depan toko.
“Kau mau roti?” (di dalam hati saya bertanya, darimana ia mengetahui makanan itu bernama roti?)
Dan akhirnya, ia nyelonong pergi.
Bagi anda yang membaca postingan ini, sungguh tak ada maksud kesombongan dari diri saya pribadi. Tulisan ini, hanya sebagai bentuk syukur  bisa bertegur sapa dengan kawan lama. Saya bahagia, sekalipun saya tidak tahu, apakah dia benar-benar mengingat saya sebagai temannya. Saya bahagia, meskipun ingin menangis saat mengenang masa lalu. Saya bahagia, bukan karena saya memberinya roti. Tetapi saya bahagia, sebab dia tersenyum kepada saya seperti waktu mengaji dulu. Tetap dengan deretan gigi hitamnya yang berdiri rapi. Dan bagi saya, dia tetaplah teman. Tidak gila. Sama seperti saya dan anda-anda semua.

No comments:

Post a Comment

Hikayat Seorang Santri Bodoh

Usiaku lima belas tahun waktu itu. Saat aku terbuang ke Madura. Ya, di sebuah pesantren Al-Amien inilah aku harus bersemedi. Tak tanggung...