Namanya Halima. Kawan ngaji saya sewaktu
kecil. Usianya lebih tua dan kesehatan berpikirnya sedikit terganggu. Bukan
gila. Bagi saya, Halima tidak pernah gila.
Sekalipun, dia sering marah dan bicara sendiri, atau saat anak-anak kecil
berlari mengelilingi Halima sambil berteriak; “Orang Gila. Orang Gila”. Saya
tetap pada pendirian. Dia sama sekali tidak gila.
Sewaktu mengaji,
kami sering bermain petak umpet dengannya. Dan selalu kami jadikan Halima
sebagai pihak yang kalah. Sekalipun begitu, ia selalu senang menghitung angka
satu sampai sepuluh. Sesekali saja ia marah. Saat bad mood. Parahnya, bad
mood-nya ini datang tak diundang. Seperti saat guru ngaji mengajari Halima
mengeja dari huruf ke huruf, tiba-tiba saja dia tak mau menyebut huruf tadi,
bahkan pindah duduk ke belakang dan asyik bicara sendiri.
Entah mengapa, tadi
siang kami bertemu di depan toko. Sebenarnya, saya sempat melihat Halima beberapa kali, tetapi hanya
sepintas saja. Tak sampai bertatap muka sebab dia di ujung jalan dan
menghilang. Barulah tadi, saya bertegur sapa setelah lebih sepuluh tahun saya
tak mendengar suaranya. Tampak ia lagi mengais tempat sampah.
“Halima, ingat aku?”
Dia hanya melirik
lalu melengos.
“Ma?”
Tetap tak ada
sahutan. Dia terus sibuk mengais sampah. Pandangan orang-orang di sekitar tak
nyaman. Tetapi, saya tetap berdiri di samping kawan lama ini. Halima tetap tak
merespon. Saya hanya berpikir, barangkali, dengan caranya seperti ini dia
menganggap saya sebagai temannya. Saya pun bergegas pulang. Tak disangka, saat
saya menaiki sepeda dan mengatur gas, tiba-tiba dia menghampiri saya. Melihat
barang belanjaan. Lalu tersenyum.
“Roti” ucapnya
sambil menunjuk deretan makanan yang ada di depan toko.
“Kau mau roti?” (di
dalam hati saya bertanya, darimana ia mengetahui makanan itu bernama roti?)
Dan akhirnya, ia
nyelonong pergi.
Bagi anda yang
membaca postingan ini, sungguh tak ada maksud kesombongan dari diri saya
pribadi. Tulisan ini, hanya sebagai bentuk syukur bisa bertegur sapa dengan kawan lama. Saya
bahagia, sekalipun saya tidak tahu, apakah dia benar-benar mengingat saya
sebagai temannya. Saya bahagia, meskipun ingin menangis saat mengenang masa
lalu. Saya bahagia, bukan karena saya memberinya roti. Tetapi saya bahagia,
sebab dia tersenyum kepada saya seperti waktu mengaji dulu. Tetap dengan
deretan gigi hitamnya yang berdiri rapi. Dan bagi saya, dia tetaplah teman.
Tidak gila. Sama seperti saya dan anda-anda semua.
No comments:
Post a Comment