Sunday 16 July 2017

Saatnya Membangun Kurikulum Keberagaman Gender


Sebagai negara yang memiliki ribuan pulau, Indonesia memiliki kekayaan yang amat melimpah. Baik kekayaan alam bahkan sumber daya manusia. Berbagai suku dan ras juga tersedia. Mulai dari ujung Banda Aceh sampai tanah Papua, semua memiliki tradisi berbeda dan disatukan dengan Bhineka Tunggal Ika.
Beruntung, semua perbedaan tersebut dapat melebur dan tak memecah belah bangsa. Kendati demikian, tak semua persoalan dapat diatasi dengan mudah. Salah satunya terkait kedudukan gender dan seksualitas seseorang.
Sebagai makhluk sosial yang selalu berinteraksi sesama insan, gesekan antar individu atau bahkan kelompok sering terjadi. Anggapan masyarakat tentang seorang yang memiliki kecenderungan gender yang tak seperti pada umumnya, akan menghasilkan suatu pandangan yang kurang pantas didengungkan.
Saat seseorang lelaki lebih condong bersikap seperti perempuan yang di dalam bahasa Madura disebut sebagai Banduh, atau seorang perempuan yang bertingkah layakanya lelaki, maka masyarakat akan mudah memberikan stigma negatif terhadap mereka. Tanpa ampun dan tanpa pengertian.
Disadari atau tidak, seseorang yang memiliki kecenderungan seksualitas yang berbeda, seringkali dianggap sebagai sampah di dalam masyarakat. Padahal, kecenderungan seksualitas ini timbul dari diri pribadi yang sampai sekarang tak ditemukan penyebabnya.
Sebagian ilmuwan mengklaim jika lelaki yang berperangai layaknya perempuan ataupun sebaliknya, diakibatkan oleh gen yang ada di dalam tubuh. Sebagian lain menjelaskan bahwa kecenderungan ini diakibatkan oleh sebuah penyakit. Sedang sebagian yang lain menyatakan bahwa faktor lingkungan semisal kekerasan seksual sewaktu kecil yang membuatnya bersikap tak seperti orang normal.
Sayangnya, perbagai spekulasi di atas tak mampu meredam amuk pandangan orang-orang. Masyarakat masih senantiasa memandang mereka dengan tatapan nyinyir. Kendati Indonesia adalah bangsa yang beradab yang mengutamakan sopan santun dalam bertingkah dan bertutur sapa, nyatanya, anggapan mereka terhadap sekelompok minoritas ini masih tak berubah.
Terlepas dari sebagian mereka yang memilih sebagai LGBT, penulis melihat bahwa toleransi terhadap seorang yang memiliki kecenderungan gender yang berbeda sangatlah rendah. Tentu hal ini harus diberantas sedini mungkin. Salah satunya dengan membentuk kurikulum keberagaman gender.
Sebagai satu-satunya alat yang memadai, guna menumbuhkan kesadaran bahwa orang yang memiliki gender yang berbeda juga memiliki hak sebagaimana orang normal lainnya, tentu pendidikan mampu menjadi transportasi yang dapat menjangkau seluruh elemen masyarakat. Dengan adanya kurikulum ini, sejak dini, anak didik akan dikenalkan dengan adanya kelompok minoritas ini. Sehingga, mereka akan lebih menghargai dengan perbedaan yang ada di sekitar.

Untuk itu, kurikulum ini perlu dibentuk. Mengingat, keberadaan kelompok minoritas ini terkadang terpaksa menutup diri sebab label yang diberikan masyarakat sangat terasa berat.

No comments:

Post a Comment

Hikayat Seorang Santri Bodoh

Usiaku lima belas tahun waktu itu. Saat aku terbuang ke Madura. Ya, di sebuah pesantren Al-Amien inilah aku harus bersemedi. Tak tanggung...