Sebagai negara yang memiliki ribuan
pulau, Indonesia memiliki kekayaan yang amat melimpah. Baik kekayaan alam
bahkan sumber daya manusia. Berbagai suku dan ras juga tersedia. Mulai dari
ujung Banda Aceh sampai tanah Papua, semua memiliki tradisi berbeda dan
disatukan dengan Bhineka Tunggal Ika.
Beruntung, semua perbedaan tersebut
dapat melebur dan tak memecah belah bangsa. Kendati demikian, tak semua
persoalan dapat diatasi dengan mudah. Salah satunya terkait kedudukan gender
dan seksualitas seseorang.
Sebagai makhluk sosial yang selalu berinteraksi
sesama insan, gesekan antar individu atau bahkan kelompok sering terjadi.
Anggapan masyarakat tentang seorang yang memiliki kecenderungan gender yang tak
seperti pada umumnya, akan menghasilkan suatu pandangan yang kurang pantas
didengungkan.
Saat seseorang lelaki lebih condong
bersikap seperti perempuan yang di dalam bahasa Madura disebut sebagai Banduh,
atau seorang perempuan yang bertingkah layakanya lelaki, maka masyarakat akan
mudah memberikan stigma negatif terhadap mereka. Tanpa ampun dan tanpa
pengertian.
Disadari atau tidak, seseorang yang
memiliki kecenderungan seksualitas yang berbeda, seringkali dianggap sebagai
sampah di dalam masyarakat. Padahal, kecenderungan seksualitas ini timbul dari
diri pribadi yang sampai sekarang tak ditemukan penyebabnya.
Sebagian ilmuwan mengklaim jika lelaki
yang berperangai layaknya perempuan ataupun sebaliknya, diakibatkan oleh gen
yang ada di dalam tubuh. Sebagian lain menjelaskan bahwa kecenderungan ini
diakibatkan oleh sebuah penyakit. Sedang sebagian yang lain menyatakan bahwa
faktor lingkungan semisal kekerasan seksual sewaktu kecil yang membuatnya
bersikap tak seperti orang normal.
Sayangnya, perbagai spekulasi di atas
tak mampu meredam amuk pandangan orang-orang. Masyarakat masih senantiasa
memandang mereka dengan tatapan nyinyir. Kendati Indonesia adalah bangsa yang
beradab yang mengutamakan sopan santun dalam bertingkah dan bertutur sapa,
nyatanya, anggapan mereka terhadap sekelompok minoritas ini masih tak berubah.
Terlepas
dari sebagian mereka yang memilih sebagai LGBT, penulis melihat bahwa toleransi
terhadap seorang yang memiliki kecenderungan gender yang berbeda sangatlah
rendah. Tentu hal ini harus diberantas sedini mungkin. Salah satunya dengan
membentuk kurikulum keberagaman gender.
Sebagai satu-satunya alat yang memadai,
guna menumbuhkan kesadaran bahwa orang yang memiliki gender yang berbeda juga
memiliki hak sebagaimana orang normal lainnya, tentu pendidikan mampu menjadi
transportasi yang dapat menjangkau seluruh elemen masyarakat. Dengan adanya
kurikulum ini, sejak dini, anak didik akan dikenalkan dengan adanya kelompok
minoritas ini. Sehingga, mereka akan lebih menghargai dengan perbedaan yang ada
di sekitar.
Untuk itu, kurikulum ini perlu dibentuk.
Mengingat, keberadaan kelompok minoritas ini terkadang terpaksa menutup diri
sebab label yang diberikan masyarakat sangat terasa berat.
No comments:
Post a Comment