Kami kawan ngaji sewaktu kecil. Langgar yang kami tuju,
sebenarnya, hanya berjarak 1-2 kilometer. Hanya saja, kami jarang sekali
melewati jalan tercepat ini. Ya, lewati pinggiran jalan raya pengubung antar
kabupaten ini. Kami lebih menyukai lewat jalan setapak. Lewati bukit, sungai
dan rumah orang-orang. Memetik buah entah siapa pemiliknya sambil
mengendap-ngendap. Takut ketahuan.
Anda bayangkan saja, kami berjumlah belasan anak yang
rata-rata memiliki jarak yang lebih jauh dari sebagian kawan lain di langgar.
Jadilah, kami sering berangkat lebih siang jika di waktu piket. Kalau anda
ingin bertanya tentang piket, jangan tanyakan tentang menyapu langgar.
Melainkan, kami lebih sering mencuci piring dan peralatan masak yang kotor.
Beruntung jika musim hujan. Mata air melimpah di dasar sumur. Tetapi naas saat
kemarau. Kami harus mencuci ke sungai yang harus menuruni bukit di belakang langgar.
Kami tak pernah mengeluh. Kami selalu tertawa. Tak ada beban.
Semua saling membantu. Sekalipun bukan jadwal piket. Kami, yang berjumlah
belasan orang yang sering disebut anak lapangan –karena rumah kami dekat
lapangan-, selalu membantu kawan yang sedang piket sesama anak lapangan. Kami
sangat kompak. Bahkan, kalau tak mau mengaji, kami semua takkan ngaji. Ya,
ganjaran yang harus diterima bukan hanya amarah. Melainkan betis akan dipukul
dengan rotan sebanyak 2-3 kali. Beruntung jikalau pukulan tak telalu bertenaga,
parahnya, guru ngaji saya selalu semangat untuk menghukum. Selepas shalat
maghrib dan dzikir, kami akan ditanyakan satu per satu mengapa tidak mengaji
tanpa alasan. Jadilah, setelah memberi alasan, kami akan berdiri sambil
mengantri.
Ya, seperti ingin menerima makanan saja. Bedanya, saya harus
melumuri betis dengan air liur. Konon, sakitnya akan berkurang. Ah, saya rasa
itu hanya hiburan kawan saya saja supaya tak terlalu tegang menerima pukulan.
Toh, betis yang diberi liur tidaknya, rasa sakit yang saya rasakan tetaplah
sama. Menghasilkan beberapa garis memar bekas rotan di betis belakang.
Lagi-lagi, kami tak marah. Kami masih tertawa. Terus
bahagia. Terutama, saat pergi mencuci piring-piring ke sungai tatkala kemarau.
Anda bisa bayangkan, mengapa kami begitu lama mencuci
piring-piring yang terkadang berjumlah dua keranjang ini, sedangkan kami
berjumlah belasan orang? Ya, apalagi kalau bukan dua alasan berikut ini.
Pertama, sebagian dari kami masih berhenti di gudang.
Mengambil mangga. Sialnya, saya tak pernah ikut mengambil apalagi memakannya,
tetapi, ikut dihukum oleh guru ngaji.
Kedua, ini kegiatan favorit saya. Mencari ikan dan bermain
melempar batu agar bisa berjalan ke atas sungai.
Selengkapnya, saya akan ceritakan di salah satu tulisan tentang
salah seorang sahabat ngaji saya ini di lembar berikutnya.
No comments:
Post a Comment