Tuesday 24 May 2016

Catatan Sepintas; Kawan Ngaji




Kami kawan ngaji sewaktu kecil. Langgar yang kami tuju, sebenarnya, hanya berjarak 1-2 kilometer. Hanya saja, kami jarang sekali melewati jalan tercepat ini. Ya, lewati pinggiran jalan raya pengubung antar kabupaten ini. Kami lebih menyukai lewat jalan setapak. Lewati bukit, sungai dan rumah orang-orang. Memetik buah entah siapa pemiliknya sambil mengendap-ngendap. Takut ketahuan.

Anda bayangkan saja, kami berjumlah belasan anak yang rata-rata memiliki jarak yang lebih jauh dari sebagian kawan lain di langgar. Jadilah, kami sering berangkat lebih siang jika di waktu piket. Kalau anda ingin bertanya tentang piket, jangan tanyakan tentang menyapu langgar. Melainkan, kami lebih sering mencuci piring dan peralatan masak yang kotor. Beruntung jika musim hujan. Mata air melimpah di dasar sumur. Tetapi naas saat kemarau. Kami harus mencuci ke sungai yang harus menuruni bukit di belakang langgar.

Kami tak pernah mengeluh. Kami selalu tertawa. Tak ada beban. Semua saling membantu. Sekalipun bukan jadwal piket. Kami, yang berjumlah belasan orang yang sering disebut anak lapangan –karena rumah kami dekat lapangan-, selalu membantu kawan yang sedang piket sesama anak lapangan. Kami sangat kompak. Bahkan, kalau tak mau mengaji, kami semua takkan ngaji. Ya, ganjaran yang harus diterima bukan hanya amarah. Melainkan betis akan dipukul dengan rotan sebanyak 2-3 kali. Beruntung jikalau pukulan tak telalu bertenaga, parahnya, guru ngaji saya selalu semangat untuk menghukum. Selepas shalat maghrib dan dzikir, kami akan ditanyakan satu per satu mengapa tidak mengaji tanpa alasan. Jadilah, setelah memberi alasan, kami akan berdiri sambil mengantri.

Ya, seperti ingin menerima makanan saja. Bedanya, saya harus melumuri betis dengan air liur. Konon, sakitnya akan berkurang. Ah, saya rasa itu hanya hiburan kawan saya saja supaya tak terlalu tegang menerima pukulan. Toh, betis yang diberi liur tidaknya, rasa sakit yang saya rasakan tetaplah sama. Menghasilkan beberapa garis memar bekas rotan di betis belakang.

Lagi-lagi, kami tak marah. Kami masih tertawa. Terus bahagia. Terutama, saat pergi mencuci piring-piring ke sungai tatkala kemarau.

Anda bisa bayangkan, mengapa kami begitu lama mencuci piring-piring yang terkadang berjumlah dua keranjang ini, sedangkan kami berjumlah belasan orang? Ya, apalagi kalau bukan dua alasan berikut ini.
Pertama, sebagian dari kami masih berhenti di gudang. Mengambil mangga. Sialnya, saya tak pernah ikut mengambil apalagi memakannya, tetapi, ikut dihukum oleh guru ngaji.

Kedua, ini kegiatan favorit saya. Mencari ikan dan bermain melempar batu agar bisa berjalan ke atas sungai.
Selengkapnya, saya akan ceritakan di salah satu tulisan tentang salah seorang sahabat ngaji saya ini di lembar berikutnya.

No comments:

Post a Comment

Hikayat Seorang Santri Bodoh

Usiaku lima belas tahun waktu itu. Saat aku terbuang ke Madura. Ya, di sebuah pesantren Al-Amien inilah aku harus bersemedi. Tak tanggung...