Tuesday 24 May 2016

Tuturan Sopir Sore Ini



Jujur saja, semenjak kelas 3 Sekolah Dasar, saya baru mengenal sosok yang bernama ‘sopir’. Bukan apa-apa, nyatanya mulai usia 9 tahun itulah, untuk pertama kalinya saya naik angkot seorang diri. Maklum saja, jarak antara rumah dan sekolah terpaut agak jauh. Sedangkan kedua orang tua saya mesti bekerja di sawah. Akhirnyalah, saya pergi sekolah seorang diri. Bahkan, semenjak TK, saya sudah naik becak tanpa diantar apalagi ditunggu orang tua di sekolah. Eits, tunggu dulu. Pengayuh becak sudah disewa ibu saya, untuk antar jemput tentunya. Dan ini berlangsung sampai kelas 2 Sekolah Dasar.
Yah, terkadang saya bertanya mengapa saya tak pernah ditunggu orang tua di sekolah, seperti sebagian besar teman saya. Ah, tak apalah. Toh, saya tak menangis dan memiliki banyak teman yang menghantarkan banyak persoalan yang mesti diselesaikan.
Terkait sopir tadi, khususnya saat Sekolah Menengah Pertama, saya memiliki sopir langganan khusus teman-teman saya yang sejalur. Lek Kadim namanya. Jangan pernah tanyakan bagaimana kebaikannya, sebab sampai sekarang, saya belum pernah menemukan sopir pengganti ini.
Menginjak perantauan saya ke Bumi Djauhari, saya juga mengenal beberapa sopir bus Damri. Ya, setiap pergi-pulang, saya akan menumpang bus pemerintah ini. Sempat di akhir perjalanan pulang saya sewaktu menyantri, sopir ini tiba-tiba bercerita terkait profesi yang digeluti. Ia merasa miris terkait anggapan orang-orang. Maklum saja, sebagian besar menilai sopir memiliki perilaku buruk. Baik karena ugal-ugalan, bekerja sama dengan pencopet, bahkan wanita. Dan sopir yang bercerita kepada saya itu, berusaha untuk mengembalikan pandangan orang-orang dengan sebaik mungkin melayani penumpang. Hasil perbuatan yang dilakukannya memang tak seberapa. Tetapi ia tak pernah menyerah. Setidaknya, ia bisa mengembalikan spirit pengemudi kepada banyak penumpang melalui pelayanan yang ia berikan.
Sedangkan sopir yang akan saya ceritakan kali ini, tak ubahnya sopir bus Damri waktu lalu. Kemarin, saya turut mengantarkan orang tua berobat dengan menyewa sopir angkot yang menjadi langganan keluarga. Kebetulan, masih terdapat seorang penumpang yang hendak turun di terminal desa. Mengetahui kendaraan yang ditumpangi melewati rumahnya, penumpang tersebut meminta menumpang kembali dan urung turun di terminal.
Anda tau, sopir langganan keluarga saya ini justru menolak dengan halus sembari menjelaskan kalaulah ia menuruti permintaan penumpang ini, justru ia mengambil hak sopir lain. Sebab, di terminal telah banyak para sopir angkot yang akan mengangkut penumpang menuju kota.
Aii, alangkah indahnya saling menghargai yang ada diantara sopir. Saya tak banyak menemukan sopir yang bertabiat seperti ini. Yang saya lihat, justru sopir akan setuju dan menurunkan penumpang di tempat yang dikehendaki. Tetapi, sore kemarin memberikan saya pelajaran. Agar saya mampu melihat seluruh insan yang saya temui setiap hari dengan penuh pandangan positif. Terlepas bagaimana tabi’at sebenarnya. Seperti penumpang yang akhirnya turun di terminal bukan di kota seperti yang ia minta. Dan anda tau, ternyata, penumpang tadi membawa satu ranjang dan sekarung penuh berisi pakaian, yang ia jajakan ke rumah-rumah warga di pelosok desa yang jauh dari tempat kelahiran saya.

12 Mei 2016
07.55
Dua insan dalam satu pengamatan
Manusia dikaruniai dua mata, dua telinga, dan satu mulut.

No comments:

Post a Comment

Hikayat Seorang Santri Bodoh

Usiaku lima belas tahun waktu itu. Saat aku terbuang ke Madura. Ya, di sebuah pesantren Al-Amien inilah aku harus bersemedi. Tak tanggung...