Jujur saja, semenjak kelas 3
Sekolah Dasar, saya baru mengenal sosok yang bernama ‘sopir’. Bukan apa-apa,
nyatanya mulai usia 9 tahun itulah, untuk pertama kalinya saya naik angkot
seorang diri. Maklum saja, jarak antara rumah dan sekolah terpaut agak jauh.
Sedangkan kedua orang tua saya mesti bekerja di sawah. Akhirnyalah, saya pergi
sekolah seorang diri. Bahkan, semenjak TK, saya sudah naik becak tanpa diantar
apalagi ditunggu orang tua di sekolah. Eits, tunggu dulu. Pengayuh becak sudah
disewa ibu saya, untuk antar jemput tentunya. Dan ini berlangsung sampai kelas
2 Sekolah Dasar.
Yah, terkadang saya bertanya
mengapa saya tak pernah ditunggu orang tua di sekolah, seperti sebagian besar
teman saya. Ah, tak apalah. Toh, saya tak menangis dan memiliki banyak teman
yang menghantarkan banyak persoalan yang mesti diselesaikan.
Terkait sopir tadi, khususnya
saat Sekolah Menengah Pertama, saya memiliki sopir langganan khusus teman-teman
saya yang sejalur. Lek Kadim namanya. Jangan pernah tanyakan bagaimana
kebaikannya, sebab sampai sekarang, saya belum pernah menemukan sopir pengganti
ini.
Menginjak perantauan saya ke Bumi
Djauhari, saya juga mengenal beberapa sopir bus Damri. Ya, setiap pergi-pulang,
saya akan menumpang bus pemerintah ini. Sempat di akhir perjalanan pulang saya
sewaktu menyantri, sopir ini tiba-tiba bercerita terkait profesi yang digeluti.
Ia merasa miris terkait anggapan orang-orang. Maklum saja, sebagian besar
menilai sopir memiliki perilaku buruk. Baik karena ugal-ugalan, bekerja sama
dengan pencopet, bahkan wanita. Dan sopir yang bercerita kepada saya itu,
berusaha untuk mengembalikan pandangan orang-orang dengan sebaik mungkin
melayani penumpang. Hasil perbuatan yang dilakukannya memang tak seberapa.
Tetapi ia tak pernah menyerah. Setidaknya, ia bisa mengembalikan spirit
pengemudi kepada banyak penumpang melalui pelayanan yang ia berikan.
Sedangkan sopir yang akan saya
ceritakan kali ini, tak ubahnya sopir bus Damri waktu lalu. Kemarin, saya turut
mengantarkan orang tua berobat dengan menyewa sopir angkot yang menjadi
langganan keluarga. Kebetulan, masih terdapat seorang penumpang yang hendak
turun di terminal desa. Mengetahui kendaraan yang ditumpangi melewati rumahnya,
penumpang tersebut meminta menumpang kembali dan urung turun di terminal.
Anda tau, sopir langganan
keluarga saya ini justru menolak dengan halus sembari menjelaskan kalaulah ia
menuruti permintaan penumpang ini, justru ia mengambil hak sopir lain. Sebab,
di terminal telah banyak para sopir angkot yang akan mengangkut penumpang
menuju kota.
Aii, alangkah indahnya saling
menghargai yang ada diantara sopir. Saya tak banyak menemukan sopir yang
bertabiat seperti ini. Yang saya lihat, justru sopir akan setuju dan menurunkan
penumpang di tempat yang dikehendaki. Tetapi, sore kemarin memberikan saya
pelajaran. Agar saya mampu melihat seluruh insan yang saya temui setiap hari
dengan penuh pandangan positif. Terlepas bagaimana tabi’at sebenarnya. Seperti
penumpang yang akhirnya turun di terminal bukan di kota seperti yang ia minta.
Dan anda tau, ternyata, penumpang tadi membawa satu ranjang dan sekarung penuh
berisi pakaian, yang ia jajakan ke rumah-rumah warga di pelosok desa yang jauh
dari tempat kelahiran saya.
12 Mei 2016
07.55
Dua insan dalam satu pengamatan
Manusia dikaruniai dua mata, dua telinga, dan satu mulut.
No comments:
Post a Comment