Maukah
kau menuruti keinginanku, sayang? Tentang cara awal kita menyapa. Sampaikanlah
pada semua orang. Aku menginginkan paradok dalam cerita ini menjadi nyata.
Setidaknya, nyata bagi diriku ke depannya. Lalu, bila sepuluh atau dua puluh
tahun lagi aku lupa, maka ingatkan paradok itu kembali padaku. Tak perlu takut.
Barangkali aku terbuai dalam kemunafikan.
***
“Kenapa
moderator tadi menyebut namaku dengan lengkap?”
“Apa
salahnya, itu gelarmu. Bukankah kau bersusah payah mencapai semua gelar tadi?
Itu bentuk penghormatan apa yang kau peroleh selama ini. dengarkan ini,
dipersilahkan kepada Prof. Dr. ............S.H.M.H, M.M. menuju tempat yang yan
telah disediakan. Wuih, keren, bukan?”
“Bukankah
kamu sudah tau, aku tak suka dipanggil dengan gelar tadi?”
“Aku
tak paham dengan jalan pikirmu. Aku bingung. Sudahlah, sekarang apa maumu?
Acara sudah selesai. Ya, sudah selesai”
“Ya,
memang, acara sudah selesai. Dan aku selesai pula berbicara. Tak kusangka kau
tak hargai keinginanku. Sedari dulu aku mengenalmu, aku mencapai semua gelar
tadi bukan untuk bergaya. Bukan pula untuk berdecak pinggang. Semua gelar yang
kuperoleh, hanyalah imbalan semata. Aku tak mencari itu”
“Kau
aneh, ya. Semua orang bersusah-susah mencari gelar. Kau sendiri seperti ingin gelar
tadi hilang. Jangan sok suci kalau masih munafik”
“Terserah
kau sajalah”
Lelaki
yang memiliki banyak gelar tadi melenggang pergi. Ringan. Kakinya melangkah
sederhana. Sesederhana angannya menatapi kehidupan.
No comments:
Post a Comment