Wednesday 18 November 2015

PEREMPUAN BERCADAR





Inilah pengalaman saya bertemu dengan seseorang. Tentang manusia yang terkadang dipandang bersalah sebab kelakuan segelintir lainnya.......

Tujuh hari lalu, aku bertemu dengan seorang perempuan bercadar. Barangkali akan tampak biasa, tak ada kesan istimewa pula saat berpapasan dengannya. Tapi, ya, kesan itu datang tanpa pamit. Ada saja yang membuat mata dan hati kita berdecak. Entah kagum atau malah sebaliknya.
Kembali ke perempuan bercadar tadi, siang itu di masjid alun-alun kota, aku menyapanya lewat isyarat senyum. Lalu berpaling seperti bertemu yang lain. Eits, tunggu dulu. Tatkala mata memanjakan diri melihat arakan awan di langit utara, mataku terperangah melihat wajahnya. Sangat rupawan. Ya, kala itu ia tengah berada di lorong kamar mandi. Tentu saja kain penutup mukanya lagi terbuka. Ai, cantik betul wajahnya. Nyaris sempurna. Wajah yang bukan keturunan arab maupun tionghoa. Meski kulit putih dan hidung mancung, aku yakin, perempuan bercadar itu bukanlah keturunan kedua bangsa tadi. Asli made in Indonesia.
Seketika itu juga, pikiranku singgah di Jakarta. Kepada salah seorang seorang sahabat yang sedang kuliah di Ibu Kota. Semenjak memutuskan bercadar, banyak cercaan yang harus ia terima. Pernah suatu ketika, saat berjalan di lorong suatu mall, ada seorang bapak-bapak yang tiba-tiba saja menghampiri lalu berkata di dekat telinganya: “Dasar ISIS. Teroris”
Astaga, parah betul pandangan manusia macam itu. Bercadar belum tentu ISIS ataupun teroris. Bercadar adalah pilihan. Kalaupun ada yang menjadi teroris atau bahkan ISIS, jangan salahkan cadarnya. Jangan salahkan pula agamanya. Salahkan saja pikiran orang tersebut.

Ya, beginilah hidup dan kehidupan itu. Semoga saja kawan saya tadi tetap kuat seperti saat ini. Sampai mati. Dan untuk perempuan bercadar yang saya temui di masjid alun-alun kota, semoga saja saya bisa berjumpa kembali di lain hari. Banyak yang ingin saya tanyakan dan banyak pula kekaguman yang mesti saya ungkapkan.


11 November 2015

No comments:

Post a Comment

Hikayat Seorang Santri Bodoh

Usiaku lima belas tahun waktu itu. Saat aku terbuang ke Madura. Ya, di sebuah pesantren Al-Amien inilah aku harus bersemedi. Tak tanggung...