Sunday 1 November 2015

Surat Terbuka Untuk Pelancong Yang Menjenguk Tembakau Kami



Peristiwa di sore itu, telah berlalu dalam minggu lalu. Tetapi saya masih mengingatnya. Sangat.
“Tak taukah kau? Ada turis di lapangan”
Owh, ya? Kedua alis saya tiba-tiba saja mengkerut. Tak percaya. Lekas saya beranjak ke lapangan, meski mata sedikit terantuk.
Dari tepi jalan saya melihat rombongan turis tadi. Sedang bercengkerama dengan kamera yang memotret para pemilik lakon lapangan. Para pemain sirkus yang menjadi objek ketertarikan para turis ini sebelum singgah ke Banyuwangi dan Bali. Ya, apalagi kalau bukan tembakau.
Kabupaten serta kampung saya ini, memang terkenal dengan tembakaunya. Bahan pokok membuat rokok sekaligus cerutu bagi para turis. Puluhan gudang tembakau tersebar di pelosok kabupaten apalagi di kampung saya, jumlahnya amat banyak. Tak heran mereka memandang takjub para petani dan kuli yang sedang menjemur atau menggambang tembakau di lapangan. Apalagi, lapangan kami berada di tepi jalan. Jalan utama lewat jalur darat selatan menuju Bali.
Sesekali saya menyapa mereka. Bertanya negeri asal beserta gerangan apa yang membuat mereka menyapa negeri saya, Indonesia. Hanya sekedar basa-basi begitu. Mengingat, bahasa inggris saya masih hancur kalang kabut. Beruntunglah mereka memahami bahasa saya. Hehehhe........
Barangkali, satu kalimat yang diungkapkan banyak turis tadi yang membuat saya berani menulis kejadian sore itu. Satu kalimat tentang kesepakatan bersama tanpa bermusyawarah dulu antar turis tadi. Ya, satu kalimat yang sangat berarti bagi saya pribadi. Dan kalimat itu berisi: “Saya begitu bahagia di negera kamu dan saya menikmatinya. Apalagi, orang-orang di kampung kamu ramah dan bersahabat”
Wah, saya sangat bahagia mendengarnya. Kalimat tadi yang diucapkan satu orang tetapi kesepakatan semuanya, mampu membuat saya senyum-senyum sendiri. Senyum yang bersaing saat tulisan pertama saya dimuat di koran pertama kali.
Sayang, mereka tak memiliki waktu amat banyak. Padahal, ingin sekali saya bercerita panjang lebar tentang kampung saya. Kampung tembakau kami. Tembakau yang menjadi urat nadi kami. Sebab pada urat-uratnyalah kami akan bertahan hidup. Ingin pula saya bercerita, bagaimana para bapak dan ibu kami merawat daun-daun tembakau tadi seperti merawat anak sendiri. Bagaimana daun-daun tembakau tadi, saat abu semburan gunung Raung meletus dan menutupi tubuh tembakau, kami membersihkan dengan kuas sangat perlahan agar debunya tak lagi merusak daun tembakau yang telah dijemur.
Dan satu hal lagi, saya ingin sekali mengatakan kepada turis tadi, bagaimana keadaan kami dengan tembakau-tembakau tadi. Saat ini, masih banyak gudang tembakau yang tutup. Tak buka. Tak mau membeli tembakau para petani. Alangkah sialnya nasib kami. Kalaupun ada gudang yang mau membeli, harus para petani yang memiliki kartu anggota. Matilah para petani yang bukan anggotanya.
“Ah, Gara-gara abu Raung. Tembakau tak laku”
“Kayaknya bukan. Memang ekonomi kita tiap tahun terus merosot”
“Entahlah. Memiliki tembakau, tak sebahagia tahun-tahun lalu. Nasib, nasib”
Jujur saja, entah karena abu Raung ataupun keadaan ekonomi yang kian lesu yang membuat tembakau-tembakau kami tak laku. Kenyataannya, kejayaan tembakau mulai surut. Saya teringat saja pada kisah kejayaan Majapahit. Perlahan tapi pasti, memudar. Tetapi, apakah kampung tembakau kami akan turut memudar lalu hilang seperti Majapahit tadi? Lalu, setelah seribu tahun akan ada seorang artefak yang akan menemukan kampung yang sarat dengan tembakau tengah terkubur puluhan meter di bawah tanah?
Owh, tentu khayalan saya di atas sangat mengerikan. Saya masih yakin, petani-petani di kampung saya masih akan terus menanam tembakau. Kami akan merawatnya meski berbulan-bulan baru akan menuai hasil. Entah rugi ataupun untung, tembakau telah menjadi darah daging kami. Menjadi urat nadi kehidupan para anak petani. Dan meski, ada beberapa gudang telah menutup diri dan ribuan karyawan di PHK.
Dan terakhir, saya ingin bercerita kepada para pelancong dari luar negeri tadi:
terima kasih atas pernyataan keramahan orang-orang di kampung kami. Sesulit apapun keadaan ekonomi, sekeras apapun kehidupan kami, bibir kami akan terus merekah. Akan terus menyapa para pelancong ataupun masyarakat lainnya. Cukuplah kami memanipulasi diri dengan sinar persahabatan. Cahaya keramahan. Meski hati menyimpan secuil cerita: Ada saudara kami, yang membakar berkwintal-kwintal tembakau sebab tak laku. Banyak diantara kami, menanggung rugi sekaligus hutang puluhan juta. Dan ada saudara kami, mati bunuh diri gara-gara tembakau tak ada yang mau beli”



Oktober ‘15
Kampung tembakau, Pakusari, Kabupaten Jember

No comments:

Post a Comment

Hikayat Seorang Santri Bodoh

Usiaku lima belas tahun waktu itu. Saat aku terbuang ke Madura. Ya, di sebuah pesantren Al-Amien inilah aku harus bersemedi. Tak tanggung...