(Dimuat di Jawa Pos
Radar Madura)
Sebagai makhluk yang paling
sempurna, manusia senantiasa lupa akan jati dirinya. Ia lupa dari mana ia
berasal dan juga lupa siapa yang
menciptakannya. Sungguh ironis melihat hal seperti ini. Mengingat, betapa
majunya zaman saat ini yang menuntut manusia dalam melakukan sesuatu dengan
tergesa-gesa dan juga rela tergila-gila kerja karena terobsesi pada
“kesuksesan” yang tak jarang berujung pada deperesi. Tragisnya, mereka
kehilangan apa yang diharapkan semua orang yakni kebahagiaan.
Kebahagiaan
bukanlah benda yang bisa dibeli. Sebagaimana kisah Socrates, seorang filsuf
Yunani yang terkenal akan kecintaannya kepada pasar. Ia selalu pergi ke pasar
jika jadwalnya memungkinkan. Sering kali, ia mengubah jadwalnya supaya bisa
datang ke sana. Kendati demikian, ia jarang sekali membeli sesuatu. Salah
seorang muridnya bertanya: Mengapa anda begitu sering pergi ke pasar dan berbelanja
begitu sedikit?” Socrates tersenyum dan menjawab, “ Aku hanya suka
melihat segala macam barang-barang bagus yang tak kubutuhkan itu”
Dalam hal ini,
jika kita menganggap kebahagiaan adalah benda yang bisa dibeli, maka seberapa
banyak benda yang akan kita beli untuk mendatangkan kebahagiaan itu sendiri?
Dan juga, seberapa besar uang yang akan kita keluarkan untuk membeli benda yang
bernama kebahagiaan tersebut? Sedangkan manusia itu sendiri tak pernah puas
akan apa yang ia miliki. Manusia memiliki sifat yang selalu merasa kurang dan
kurang. Selalu melihat apa yang belum ia miliki bukan seberapa banyak yang
telah ia miliki. Yang ada dalam pikirannya hanyalah kebahagiaan yang bisa
dilihat dari segi nominal atau material
sehingga kebahagiaan yang dirasakan hanya bersifat sesaat.
Setelah kita
mengetahui bahwa kebahagiaan bukanlah sebuah benda, lantas apa kebahagiaan itu
sendiri? Menurut asumsi penulis, kebahagiaan adalah siapa diri kita. Dalam kata
lain, kebahagiaan adalah keadaan diri kita yang asli. Sebuah kondisi jiwa yang
jarang dimiliki manusia saat ini karena batin mereka hanya dipenuhi dengan kata
kerja dan kerja tanpa mengetahui tujuan dari pekerjaan itu sendiri selain mendapatkan
sisi material.
Kebahagiaan yang
penulis rujuk saat ini adalah kebahagiaan yang tidak bisa diproduksi atau
dibuat di suatu pabrik. Kebahagiaan itu sudah ada sejak semula. Ia sudah
menyatu dengan diri manusia itu sendiri. Oleh karenanya, kebahagiaan itu
disebut dengan kebahagiaan batin. Sebuah kebahagiaan yang tidak seorang pun
yang tidak memilikinya namun jarang yang sadar akan kehadirannya.
Dengan mengetahui
bahwa kebahagiaan itu ada pada diri kita sendiri, maka kita akan mampu untuk
membedakan antara kebahagiaan sejati dan kebahagiaan sesaat. Sehingga akhirnya
kita akan lebih banyak bersyukur atas karunia Allah SWT selama ini. Misalnya,
setiap pagi kita tidak pernah bersyukur kepada Allah akan kesempatan diri kita untuk
mencicipi kehidupan ini, sehingga kita bisa bertemu dengan orang tua, saudara,
sahabat dan orang terdekat kita. Padahal, jika Allah berkenan menghentikan
denyut jantung kita sedetik saja, barulah saat itu kita menyadari betapa besar
nikmat yang telah Ia berikan. Oleh karena itu Allah memperingati manusia sampai
sebanyak tiga puluh satu kali pada surat Ar-Rahman dengan lafadz “Fabiayyi Aa
Laa i Robbikuma Tukaddzibaan” Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu
dustakan?
Oleh karena itu,
melihat manusia cenderung kepada kufur daripada syukurnya, hendaknya kita lebih
memaknai janji Allah yang termaktub dalam surat Ibrahim ayat 7: “Lain
Syakartum Faaziidannakum wa Lain Kafartum Inna ‘Adzabi La Syadiid”. Barang
siapa yang bersyukur, maka akan aku tambah nikmatnya dan barang siapa yang
mengingkari, sesungguhnya adzabku sangatlah pedih. Namun yang paling penting
dalam meraih kebahagiaan itu sendiri adalah sikap kita dalam mencari
kebahagiaan di dunia dan juga kebahagiaan di akhirat. Karena itulah kebahagiaan
sejati yang dicintai Ilahi Rabbi.
No comments:
Post a Comment