Wednesday 4 May 2016

Kebahagiaan Bukanlah Sebuah Benda



(Dimuat di Jawa Pos Radar Madura)

            Sebagai makhluk yang paling sempurna, manusia senantiasa lupa akan jati dirinya. Ia lupa dari mana ia berasal dan juga lupa siapa yang  menciptakannya. Sungguh ironis melihat hal seperti ini. Mengingat, betapa majunya zaman saat ini yang menuntut manusia dalam melakukan sesuatu dengan tergesa-gesa dan juga rela tergila-gila kerja karena terobsesi pada “kesuksesan” yang tak jarang berujung pada deperesi. Tragisnya, mereka kehilangan apa yang diharapkan semua orang yakni kebahagiaan.
            Kebahagiaan bukanlah benda yang bisa dibeli. Sebagaimana kisah Socrates, seorang filsuf Yunani yang terkenal akan kecintaannya kepada pasar. Ia selalu pergi ke pasar jika jadwalnya memungkinkan. Sering kali, ia mengubah jadwalnya supaya bisa datang ke sana. Kendati demikian, ia jarang sekali membeli sesuatu. Salah seorang muridnya bertanya: Mengapa anda begitu sering pergi ke pasar dan berbelanja begitu sedikit?” Socrates tersenyum dan menjawab, “ Aku hanya suka melihat segala macam barang-barang bagus yang tak kubutuhkan itu
            Dalam hal ini, jika kita menganggap kebahagiaan adalah benda yang bisa dibeli, maka seberapa banyak benda yang akan kita beli untuk mendatangkan kebahagiaan itu sendiri? Dan juga, seberapa besar uang yang akan kita keluarkan untuk membeli benda yang bernama kebahagiaan tersebut? Sedangkan manusia itu sendiri tak pernah puas akan apa yang ia miliki. Manusia memiliki sifat yang selalu merasa kurang dan kurang. Selalu melihat apa yang belum ia miliki bukan seberapa banyak yang telah ia miliki. Yang ada dalam pikirannya hanyalah kebahagiaan yang bisa dilihat dari segi nominal atau  material sehingga kebahagiaan yang dirasakan hanya bersifat sesaat.
            Setelah kita mengetahui bahwa kebahagiaan bukanlah sebuah benda, lantas apa kebahagiaan itu sendiri? Menurut asumsi penulis, kebahagiaan adalah siapa diri kita. Dalam kata lain, kebahagiaan adalah keadaan diri kita yang asli. Sebuah kondisi jiwa yang jarang dimiliki manusia saat ini karena batin mereka hanya dipenuhi dengan kata kerja dan kerja tanpa mengetahui tujuan dari pekerjaan itu sendiri selain mendapatkan sisi material.
            Kebahagiaan yang penulis rujuk saat ini adalah kebahagiaan yang tidak bisa diproduksi atau dibuat di suatu pabrik. Kebahagiaan itu sudah ada sejak semula. Ia sudah menyatu dengan diri manusia itu sendiri. Oleh karenanya, kebahagiaan itu disebut dengan kebahagiaan batin. Sebuah kebahagiaan yang tidak seorang pun yang tidak memilikinya namun jarang yang sadar akan kehadirannya.
            Dengan mengetahui bahwa kebahagiaan itu ada pada diri kita sendiri, maka kita akan mampu untuk membedakan antara kebahagiaan sejati dan kebahagiaan sesaat. Sehingga akhirnya kita akan lebih banyak bersyukur atas karunia Allah SWT selama ini. Misalnya, setiap pagi kita tidak pernah bersyukur kepada Allah akan kesempatan diri kita untuk mencicipi kehidupan ini, sehingga kita bisa bertemu dengan orang tua, saudara, sahabat dan orang terdekat kita. Padahal, jika Allah berkenan menghentikan denyut jantung kita sedetik saja, barulah saat itu kita menyadari betapa besar nikmat yang telah Ia berikan. Oleh karena itu Allah memperingati manusia sampai sebanyak tiga puluh satu kali pada surat Ar-Rahman dengan lafadz “Fabiayyi Aa Laa i Robbikuma Tukaddzibaan” Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?
            Oleh karena itu, melihat manusia cenderung kepada kufur daripada syukurnya, hendaknya kita lebih memaknai janji Allah yang termaktub dalam surat Ibrahim ayat 7: “Lain Syakartum Faaziidannakum wa Lain Kafartum Inna ‘Adzabi La Syadiid”. Barang siapa yang bersyukur, maka akan aku tambah nikmatnya dan barang siapa yang mengingkari, sesungguhnya adzabku sangatlah pedih. Namun yang paling penting dalam meraih kebahagiaan itu sendiri adalah sikap kita dalam mencari kebahagiaan di dunia dan juga kebahagiaan di akhirat. Karena itulah kebahagiaan sejati yang dicintai Ilahi Rabbi.

No comments:

Post a Comment

Hikayat Seorang Santri Bodoh

Usiaku lima belas tahun waktu itu. Saat aku terbuang ke Madura. Ya, di sebuah pesantren Al-Amien inilah aku harus bersemedi. Tak tanggung...