Saya tak pernah tau, sejak kapan saya begitu mengagumi senja
dan bintang. Yang saya ingat, saya begitu bahagia menatap keduanya. Sangat.
Barangkali, inilah salah satu alasan diantara beberapa
alasan yang harus saya gali lagi terkait senja dan bintang.
Dulu, sewaktu saya pergi ngaji, dan kami yang piket harus
mencuci piring-piring kotor ke sungai, kami harus menuruni bukit untuk sampai
ke sana. Atau, kami memilih jalan lain yaitu lewati gudang tembakau yang
dibelakangnya berbatasan langsung dengan bibir sungai. Anda tau, senja yang
sangat memikat saya sampai saat ini, selain senja di Bumi Djauhari, ya, senja saat
saya pergi ke sungai ini. Sebelumnya, saya memang sering melihat senja dari
bibir sungai. Bukan apa-apa, sungai ini mengalir ke arah barat. Jadi, saya
sering duduk menikmati sejenak keindahan alam ini.
Kembali kepada senja yang memikat saya sampai rasanya teler.
Waktu itu, kami berjalan lewati gudang tembakau. Bukan lewati bukit di belakang
langgar. Antara sungai dan gudang tembakau, dibatasi dengan tembok sebagai
benteng. Satu-satunya penghubung antara keduanya, hanyalah anak tangga yang
melingkar.
Wauw, sungguh pemandangan yang takkan pernah terlupakan.
Tatkala saya berjalan melewati pintu tangga, dan berdiri di salah satu anak
tangga, mata saya terpana melihat kecantikan senja. Selain tubuh jingga yang
mempesona, senja kali ini seakan-akan turut tenggelam di ujung sungai. Ya,
sungai yang deras ini,
menghadap ke arah barat. Jadilah, sinar jingga senja,
memantul di atas tubuh sungai. Waktu itu, beberapa kawan saya melarang saya
melihat senja, sebab mata telanjang tak baik melihat sinar matahari secara
langsung. Hanya saja saya tak hiraukan nasehat mereka. Saya takjub melihat
senja sembari menuruni anak tangga, dan senja seakan menyatu dengan sungai.
Ya, barangkali, inilah salah satu alasan saya mencintai
senja bersama bintang sekaligus. Dimulai dari petualang ngaji di sore hari
sampai pulang menatap bintang di malam hari
No comments:
Post a Comment