Tuesday 24 May 2016

Alasan mengapa saya mencintai senja dan bintang secara bersama



Saya tak pernah tau, sejak kapan saya begitu mengagumi senja dan bintang. Yang saya ingat, saya begitu bahagia menatap keduanya. Sangat.

Barangkali, inilah salah satu alasan diantara beberapa alasan yang harus saya gali lagi terkait senja dan bintang.

Dulu, sewaktu saya pergi ngaji, dan kami yang piket harus mencuci piring-piring kotor ke sungai, kami harus menuruni bukit untuk sampai ke sana. Atau, kami memilih jalan lain yaitu lewati gudang tembakau yang dibelakangnya berbatasan langsung dengan bibir sungai. Anda tau, senja yang sangat memikat saya sampai saat ini, selain senja di Bumi Djauhari, ya, senja saat saya pergi ke sungai ini. Sebelumnya, saya memang sering melihat senja dari bibir sungai. Bukan apa-apa, sungai ini mengalir ke arah barat. Jadi, saya sering duduk menikmati sejenak keindahan alam ini.

Kembali kepada senja yang memikat saya sampai rasanya teler. Waktu itu, kami berjalan lewati gudang tembakau. Bukan lewati bukit di belakang langgar. Antara sungai dan gudang tembakau, dibatasi dengan tembok sebagai benteng. Satu-satunya penghubung antara keduanya, hanyalah anak tangga yang melingkar.
Wauw, sungguh pemandangan yang takkan pernah terlupakan. Tatkala saya berjalan melewati pintu tangga, dan berdiri di salah satu anak tangga, mata saya terpana melihat kecantikan senja. Selain tubuh jingga yang mempesona, senja kali ini seakan-akan turut tenggelam di ujung sungai. Ya, sungai yang deras ini, 
menghadap ke arah barat. Jadilah, sinar jingga senja, memantul di atas tubuh sungai. Waktu itu, beberapa kawan saya melarang saya melihat senja, sebab mata telanjang tak baik melihat sinar matahari secara langsung. Hanya saja saya tak hiraukan nasehat mereka. Saya takjub melihat senja sembari menuruni anak tangga, dan senja seakan menyatu dengan sungai.

Ya, barangkali, inilah salah satu alasan saya mencintai senja bersama bintang sekaligus. Dimulai dari petualang ngaji di sore hari sampai pulang menatap bintang di malam hari

No comments:

Post a Comment

Hikayat Seorang Santri Bodoh

Usiaku lima belas tahun waktu itu. Saat aku terbuang ke Madura. Ya, di sebuah pesantren Al-Amien inilah aku harus bersemedi. Tak tanggung...