Usiaku
lima belas tahun waktu itu. Saat aku terbuang ke Madura. Ya, di sebuah
pesantren Al-Amien inilah aku harus bersemedi. Tak tanggung-tanggung. Empat
tahun harus aku tempuh tanpa melihat seragam abu-abu di luar. Padahal, aku
sangat benci pesantren. Apalagi kalau bukan sistem pendidikannya yang kolot dan
terbelakang. Tak satupun kudapati sosok inspiratif yang menyuruhku masuk
pesantren. Kecuali orang tua. Bagiku, sudah seharusnya, sebuah fase pencarian
jati diri berada di luar. Bersama kawan sekelas mencorat-coret seragam, merayakan
kelulusan SMA. Sayangnya, keinginan tersebut harus sirna. Dan semenjak itu, aku
merasa Tuhan tak lagi ada
Masa-masa
awal menyantri, tentu bukanlah hari yang menggembirakan. Selain cuaca Madura
yang lebih panas dibandingkan kampung halaman, kerudung yang kukenakan juga
menambah riuh cuaca. Aku tak pernah memakai kerudung sebelumnya. Tak pernah.
Pakaianku setiap hari, hanya celana dan kaos pendek. Jauh dari kesan muslimah
apalagi sebagai sosok yang saliha. Jadilah aku harus beradaptasi dengan
menggunakan kerudung kemanapun pergi. Kecuali di dalam kamar dan kamar mandi.
Selain
itu, aku kesulitan dalam pelajaran imla’.
Aku sangat benci pelajaran ini. Sebenarnya, pelajaran semacam dikte sewaktu
Sekolah Dasar ini, amatlah mudah. Apa susahnya menulis kalimat yang diucapkan pengajar.
Hanya saja, kalimat-kalimat tersebut berbahasa Arab. Dan aku, selalu berhasil
celingak-celinguk tak karuan. Tak tahu cara menulisnya. Memang, aku bisa
sedikit mengaji. Tetapi menulis kalimat yang terdiri dari huruf-huruf hijaiyah,
belum pernah aku lakukan. Alhasil, seluruh kalimat yang aku tulis tak memiliki
spasi. Bak rimbun rerumputan saja. Bagaimana mungkin tulisanku memiliki jarak
antar kata, sedangkan aku sendiri tak paham dimana seharusnya spasi itu
diletakkan dan apa pula maksud dari kalimat tersebut. Parahnya, pelajaran ini
berlangsung dua kali dalam seminggu ditambah pelajaran yang berbau bahasa Arab
lainnya yang dalam sehari notabene berlangsung dua sampai empat mata pelajaran.
Tentu
keadaan ini yang membuatku tak kerasan. Berbagai macam keinginan sempat muncul
di dalam benak. Termasuk niat untuk kabur dari pesantren. Apa susahnya keluar
tengah malam sedangkan uang ada. Hanya membulatkan tekad untuk keluar dari
‘penjara suci’ ini. Sayangnya, bukan persoalan tekad yang membuatku ciut kala
itu, tapi wajah kedua orang tua yang pasti kecewa sebab aku kalah oleh keadaan.
Ah,
andai kau tau kawan, betapa tersiksanya berdiam diri di dalam penjara suci
dengan beban pikiran yang melebihi muatan. Kepala terasa sesak. Tak ada jalan
berpikir. Aku merasa kalah gara-gara pelajaran. Bahkan aku sering berdiri di
dalam kelas serta menjadi bahan tawa kawan-kawan yang lain sebab susah
menghafal mahfudzot tetapi cepat pula
menghilang. Pernah pula aku disuruh keluar ruangan sebab tak setor hafalan. Aku
benar-benar merasa Tuhan sengaja mempermainkanku saat itu.
Terkadang
pula, aku bertanya pada diri sendiri, mengapa Tuhan memberikan jalan hidup yang
sama sekali tak ada dalam daftar cerita hidup yang kurangkai. Sungguh aku tak
bisa menerka keinginan Tuhan kala itu. Aku hanya bisa bertanya tanpa pernah
kutemui jawaban. Seakan alam pun tak mau memberi alasan mengapa Pencipta
Semesta melemparku ke dalam keterpurukan.
Sungguh,
menjadi orang bodoh dan ditertawakan itu amat menyakitkan. Hingga suatu sore,
aku teringat percakapan dengan salah seorang ustadzah. Namanya, ustadzah Fatma.
Beliau memanggilku tatkala masih dalam masa syu’bah.
Tak diduga, beliau bertanya mengenai bela diri yang kutekuni sebelum menyantri.
Ah,
saat itu aku merasa berbeda. Terasa ada celah dalam jalan gelap. Aku tak tau, darimana
ustadzah mendapati kabar tentang pencak silat ini. Yang jelas, aku tak mau tau
sebab tak ada gunanya. Yang kubutuhkan saat itu, adalah sebuah cerita baru. Sebuah
cerita akan hidup setiap manusia yang berbeda-beda dan memiliki tantangan
sesuai kodratnya. Hingga akhirnya, aku berhasil menjadi alumni dari sebuah
pesantren. Dari sebuah lembaga, yang jauh dari kesan kolot dan terbelakang. Tak
seperti anggapanku pada awal mondok dulu. Barangkali, manusia itu akan jadi
lebih baik dengan berhijrah. Bukan karena aku merasa menjadi orang baik, tapi
hakekat hijrah itu sendiri yang akan menyediakan perubahan.