Sunday 9 August 2015

Mencari Tuhan Kembali




Rasa-rasanya, judul di atas amat menyedihkan. Betatapun riuhnya tanya anda, atau tak acuhnya sikap anda, itulah kenyataannya. Saya sedang berusaha mencari Tuhan saya yang sempat hilang dalam ratusan hari ini.
Mungkin anda akan tertawa terpingkal-pingkal, sambil lalu mengoceh dengan kalimat “Dasar orang gila! Tuhan, kok dicari? Ia ada disetiap kehidupan”
Tak apa anda berkata begitu. Toh, kenyataannya saya memang begitu. Saya tak akan marah. Dan saya akan berusaha untuk tak pernah marah-marah ke depannya. Sudah cukup sahabat saya menjadi muara amarah saya.
Mungkin anda bertanya, kemana Tuhan saya selama ini? Apakah ia pergi? Ataukah, anda tak mau bertanya? Tak apa, saya pun akan tetap menjawabnya.
Sejatinya, saya sudah menemukan Tuhan sejak kecil. Ia diperkenalkan orang tua serta guru ngaji. Bahkan, lima kali sehari saya selalu berusaha bertamu. Setiap meminta sesuatu, Ia selalu memberi. Bahkan, saat saya tak lagi bertamu pun, Ia tetap memberi. Sungguh baik, bukan Tuhan saya? Meski dosa selalu saya tabung setiap harinya.....
Dosa? Wah, rupanya orang macam saya juga mengenal dosa. Iya, tentunya. Saya cerita beginipun lantaran dosa. Lihatlah, gara-gara dosa saya yang menggila itu, mata hati saya enggan diajak bicara. Betapa jahatnya setan yang selalu berhasil menghasut saya. Siapa? Setan? Tentu bukan. Setan memang bertugas menghasut manusia, tetapi manusia memiliki akal sebagai penasehat. Ingat, akal sebagai penasehat bukan sebagai raja. Sebab raja manusia adalah hati.
Nah, sudah ketemu bukan benang merahnya? Bagaimana saya bisa memimpin kalau rajanya saya tak terlihat. Kerajaan saya diselimuti abu tebal. Dan saya harus menyapunya perlahan. Itu untuk sekedar menemui raja. Lalu, untuk mengajak bicara? Waduh, butuh berapa lama yaa?
Tapi, bukan persoalan waktu yang membuat rajutan syaraf saya rumit. Justru apa yang harus saya lakukan untuk menyapu debu tadi, itu yang menjadi persoalannya sekarang. Kalau hanya sekedar menyapu, ya bisa.
Eh, tunggu dulu. Tadi saya mengatakan kalau manusia memiliki akal yang bisa pertimbangkan baik buruknya suatu bisikan, bukan? Owh, itu artinya saya harus berbuat baik kepada setiap orang. selalu.
Baiklah, barangkali seperti ini langkah-langkahnya:
Pertama, saya harus selalu tersenyum jika bertemu seseorang. Tak boleh marah-marah apalagi membentak orang tua khususnya.
Kedua, semua perintah Tuhan, harus saya lakukan. Bahkan yang dianjurkanNya pun harus dilakukan. Tetapi, ingat! Jangan riya’! Jangan ujub! Jangan cari popularitas! Mencari Tuhan, kok dijadikan popularitas? Orang gila namanya.
Terakhir, sekalipun Tuhan tak lagi ditemukan, ataupun raja tak lagi mau ditemui, teruslah lakukan dua langkah tadi. Biarkan Tuhan tau, kalaulah saya benar-benar mencariNya.
“Hey, lihat orang gila tadi. Dia tetap mengomel-ngomel mencari Tuhannya. Barangkali, ia harus dimandikan dulu untuk menemui Tuhannya”


Elang_Timur

No comments:

Post a Comment

Hikayat Seorang Santri Bodoh

Usiaku lima belas tahun waktu itu. Saat aku terbuang ke Madura. Ya, di sebuah pesantren Al-Amien inilah aku harus bersemedi. Tak tanggung...