Tuesday 18 August 2015

Mengenang Sahabatku, ....


Aku bertemu dengan ibumu kemaren sore. Rupanya terlintas cukup ceria meski duka masih merundung. Di sebelahnya, adikmu merunduk sambil mengupas ketela. Tak mungkin aku tak menyapa mereka meski diselimuti rasa bimbang untuk bersalaman tidaknya. Sebab, aku takut mereka semakin mengingatmu tatkala berjuma dengan kawan-kawanmu.
Aku masih mengingatnya, kawan. 3 hari sebelum kepergianmu, aku datang berkunjung dengan seplastik oleh-oleh yang aku sendiri ragu menyebutnya oleh-oleh. Mengingat, keuanganku sangatlah buruk akhir-akhir ini. Tapi percayalah, yang kubawakan untukmu waktu itu bersumber dari muara hati yang paling dalam.
Ah, hari itu terasa bahagia untukku. Terutama, disaat kita bernostalgia semasa sekolah dulu. Tak ubahnya sesama perantau yang jarang pulang, pun begitu aku denganmu bercakap ria sebab lama tak bersua. Begitu mudahnya cerita mengalir mengingat perjuangan kita tatkala bersekolah dulu.
Kau masih ingat, Dian, bukan? Tepat sepuluh hari kau pergi, aku bertemu dengannya di bank BRI Mayang. Kau pasti bisa menebaknya, apa yang terjadi pada kita berdua. Ya, saling bernostalgia. Sama tatkala aku mengunjungimu hari itu. Mengenang anak-anak yang sudah berada di jalan masing-masing, mengingat Lek Kadim-supir angkot terbaik yang pernah kutemui- dan tentu mengingatmu, kawan.
Lek Kadim, ya, kau pasti masih mengingatnya. Ia seorang supir biasa tetapi hatinya luar biasa. Bayangkan saja, kita yang beranggota enam belas anak, dengan membayar ongkos separuh dari tarif dewasa, diajak berkeliling lewati jalan yang lebih jauh. Dan itu bukan hanya sekali, melainkan berkali-kali. Terlebih, disaat kita selesai ujian. Refreshing alasannya. Barangkali, aku tak cukup miris mengingatnya jikalau angkot yang kita tumpangi baik-baik saja. Tapi kau masih ingat, bukan. Tatkala kita berkali-kali mendorong angkot sebab mogok, lalu bensin yang sangat boros membuat lek Kadim mengeluarkan uang lebih banyak.
Bahkan, saat tiga kawan kita kecelakaan dan dirawat di RS Dr. Soebandi. Jarak yang belasan kilo hanya dibayar seperti kita mengongkos pulang sekolah. Ai, sungguh baik lek Kadim tetapi aku tak tahu keberadaannya saat ini.
Ah, kawan-kawan angkot. Kau tentu tertawa mengingat kejahilan kita di atas angkot, saling berebutan siapa yang menjadi kernet, saling menasehati, saling bertengkar pun kita juga bersama-sama. Atau, saat kita berjalan kaki dari sekolah sampai rumah karena bernadzar lulus sekolah. Yaa, setidaknya jarak 8 kilo tak terasa jikalau kita bersama-sama melaluinya. Bersama-sama teriak seperti orang gila bahkan bersama-sama menyanyikan lagu nasional untuk hilangkan lelah. Dan itu terbukti sampai kita memasuki garis finish. Dan teparlah kita di rumah setelahnya.
Owh, iya, kawan, sebentar lagi Miksil wisuda. Dian mengajakku untuk reuni anak-anak angkot. Ia berinisiatif di rumah Miksil. Yaa, setidaknya selametan yang menjadi latar belakang . Semoga saja terwujud. Sudah tujuh tahun aku tak berjumpa mereka. Barangkali, aku sedikit pikun mengingat wajah-wajah yang semakin dewasa.
Kawan, aku menulis begini, tentu tak ada maksud berarti. Aku hanya sekedar bernostalgia. Sama seperti aku bertemu kawan-kawan yang lain. Aku yakin kau bahagia di alam sana. Aku yakin pula, saat ini kau berada di tempat terindah yang tak ada di dunia. Maafkan kesalahan sahabatmu ini. Dan teruntuk keluargamu, aku yakin mereka akan tabah menerima suratan Tuhan...


Oleh sahabatmu, Hant_k

Mengenang kepergian salah seorang sahabat, tertanggal 18 Juli 2015 

No comments:

Post a Comment

Hikayat Seorang Santri Bodoh

Usiaku lima belas tahun waktu itu. Saat aku terbuang ke Madura. Ya, di sebuah pesantren Al-Amien inilah aku harus bersemedi. Tak tanggung...