Aku bertemu dengan ibumu kemaren sore. Rupanya terlintas cukup ceria
meski duka masih merundung. Di sebelahnya, adikmu merunduk sambil mengupas
ketela. Tak mungkin aku tak menyapa mereka meski diselimuti rasa bimbang untuk
bersalaman tidaknya. Sebab, aku takut mereka semakin mengingatmu tatkala
berjuma dengan kawan-kawanmu.
Aku masih mengingatnya, kawan. 3 hari sebelum kepergianmu, aku datang
berkunjung dengan seplastik oleh-oleh yang aku sendiri ragu menyebutnya
oleh-oleh. Mengingat, keuanganku sangatlah buruk akhir-akhir ini. Tapi
percayalah, yang kubawakan untukmu waktu itu bersumber dari muara hati yang
paling dalam.
Ah, hari itu terasa bahagia untukku. Terutama, disaat kita bernostalgia
semasa sekolah dulu. Tak ubahnya sesama perantau yang jarang pulang, pun begitu
aku denganmu bercakap ria sebab lama tak bersua. Begitu mudahnya cerita
mengalir mengingat perjuangan kita tatkala bersekolah dulu.
Kau masih ingat, Dian, bukan? Tepat sepuluh hari kau pergi, aku bertemu
dengannya di bank BRI Mayang. Kau pasti bisa menebaknya, apa yang terjadi pada
kita berdua. Ya, saling bernostalgia. Sama tatkala aku mengunjungimu hari itu.
Mengenang anak-anak yang sudah berada di jalan masing-masing, mengingat Lek
Kadim-supir angkot terbaik yang pernah kutemui- dan tentu mengingatmu, kawan.
Lek Kadim, ya, kau pasti masih mengingatnya. Ia seorang supir biasa
tetapi hatinya luar biasa. Bayangkan saja, kita yang beranggota enam belas
anak, dengan membayar ongkos separuh dari tarif dewasa, diajak berkeliling
lewati jalan yang lebih jauh. Dan itu bukan hanya sekali, melainkan
berkali-kali. Terlebih, disaat kita selesai ujian. Refreshing alasannya.
Barangkali, aku tak cukup miris mengingatnya jikalau angkot yang kita tumpangi
baik-baik saja. Tapi kau masih ingat, bukan. Tatkala kita berkali-kali
mendorong angkot sebab mogok, lalu bensin yang sangat boros membuat lek Kadim
mengeluarkan uang lebih banyak.
Bahkan, saat tiga kawan kita kecelakaan dan dirawat di RS Dr. Soebandi.
Jarak yang belasan kilo hanya dibayar seperti kita mengongkos pulang sekolah.
Ai, sungguh baik lek Kadim tetapi aku tak tahu keberadaannya saat ini.
Ah, kawan-kawan angkot. Kau tentu tertawa mengingat kejahilan kita di
atas angkot, saling berebutan siapa yang menjadi kernet, saling menasehati,
saling bertengkar pun kita juga bersama-sama. Atau, saat kita berjalan kaki
dari sekolah sampai rumah karena bernadzar lulus sekolah. Yaa, setidaknya jarak
8 kilo tak terasa jikalau kita bersama-sama melaluinya. Bersama-sama teriak
seperti orang gila bahkan bersama-sama menyanyikan lagu nasional untuk
hilangkan lelah. Dan itu terbukti sampai kita memasuki garis finish. Dan
teparlah kita di rumah setelahnya.
Owh, iya, kawan, sebentar lagi Miksil wisuda. Dian mengajakku untuk reuni
anak-anak angkot. Ia berinisiatif di rumah Miksil. Yaa, setidaknya selametan
yang menjadi latar belakang . Semoga saja terwujud. Sudah tujuh tahun aku tak
berjumpa mereka. Barangkali, aku sedikit pikun mengingat wajah-wajah yang
semakin dewasa.
Kawan, aku menulis begini, tentu tak ada maksud berarti. Aku hanya
sekedar bernostalgia. Sama seperti aku bertemu kawan-kawan yang lain. Aku yakin
kau bahagia di alam sana. Aku yakin pula, saat ini kau berada di tempat
terindah yang tak ada di dunia. Maafkan kesalahan sahabatmu ini. Dan teruntuk
keluargamu, aku yakin mereka akan tabah menerima suratan Tuhan...
Oleh sahabatmu,
Hant_k
Mengenang
kepergian salah seorang sahabat, tertanggal 18 Juli 2015
No comments:
Post a Comment