Monday 11 January 2016

Bukan Tuhan yang Tak Adil, Melainkan Kita Tak Mampu Melihat



Suatu perjalanan yang bernama kehidupan ini, tidak selalu dipenuhi aneka tawa. Tidak pula air mata. Keduanya menyapa silih berganti bahkan tak jarang bertamu bersama-sama.

Selama dua puluh tiga tahun ini, terlalu congkak jikalau aku mengatakan telah mengerti hakekat kehidupan. Bagaimanapun juga, hidup itu sulit dimengerti. Bagi sebagian orang, barangkali menyebutku gila sebab bersusah payah mencari makna hidup. Tetapi bagiku, hidup tetaplah sebuah misteri. Sebuah teka-teki yang memberi banyak peluang sekaligus jebakan. Atau, hidup ini juga turut seperti puzzle. Yang akan diketahui alur cerita utuhnya di keping akhir. Kalau begitu, aku masih memiliki dua puluh tiga keping. Masih? Itu bukan masih, melainkan sudah. Ya, aku sudah memiliki dua puluh tiga keping puzzle. Dan aku tak tau, berapa jumlah keping hidupku ini.

Sekali lagi, hidup ini amat runyam. Penuh pertanyaan yang tak jarang tanpa jawaban. Andai saja mengakhiri hidup itu tak dosa, sedari dulu sudah kuselesaikan puzzle terakhir ini. Berbagai nyanyian hinaan selalu kudengarkan selama bertahun-tahun, rupanya tak kunjung selesai dilantunkan. Masih dengan personil lama ataupun personil baru. Ya, hidup memang runyam. Serunyam matahari di musim pancaroba. 

Terkadang, aku bertanya pada Tuhan, adilkah ini? Aku merasa adil meski terkadang Tuhan tak lagi adil. Aku merasa, Ia sengaja mempermainkanku. Tetapi sejatinya otak merespon. Tuhan bukan tak adil melainkan aku sendiri yang tak mampu melihat. Tetapi, batin dan otak tak selamanya sinkron. Ada salah satu jalur yang terkadang berhaluan. 

Ya, aku tahu Tuhan melihatku tengah menulis macam ini. dan aku tau pula, kalaulah Ia mengerti maksud tulisanku ini. Tak apa. Aku sudah benar-benar lelah hari ini. Dan Tuhan, aku masih ingin mencari hakekat hidup itu. Seburuk apapun aku. Sehina apapun manusia macamku ini. Aku masihlah ingin mencari makna kehidupan itu. Sampai mati. Sampai aku berada di kehidupan selanjutnya.

14.55

No comments:

Post a Comment

Hikayat Seorang Santri Bodoh

Usiaku lima belas tahun waktu itu. Saat aku terbuang ke Madura. Ya, di sebuah pesantren Al-Amien inilah aku harus bersemedi. Tak tanggung...