Suatu perjalanan yang bernama kehidupan ini,
tidak selalu dipenuhi aneka tawa. Tidak pula air mata. Keduanya menyapa silih
berganti bahkan tak jarang bertamu bersama-sama.
Selama dua puluh tiga tahun ini, terlalu
congkak jikalau aku mengatakan telah mengerti hakekat kehidupan. Bagaimanapun
juga, hidup itu sulit dimengerti. Bagi sebagian orang, barangkali menyebutku
gila sebab bersusah payah mencari makna hidup. Tetapi bagiku, hidup tetaplah
sebuah misteri. Sebuah teka-teki yang memberi banyak peluang sekaligus jebakan.
Atau, hidup ini juga turut seperti puzzle. Yang akan diketahui alur cerita
utuhnya di keping akhir. Kalau begitu, aku masih memiliki dua puluh tiga
keping. Masih? Itu bukan masih, melainkan sudah. Ya, aku sudah memiliki dua
puluh tiga keping puzzle. Dan aku tak tau, berapa jumlah keping hidupku ini.
Sekali lagi, hidup ini amat runyam. Penuh
pertanyaan yang tak jarang tanpa jawaban. Andai saja mengakhiri hidup itu tak
dosa, sedari dulu sudah kuselesaikan puzzle terakhir ini. Berbagai nyanyian hinaan
selalu kudengarkan selama bertahun-tahun, rupanya tak kunjung selesai
dilantunkan. Masih dengan personil lama ataupun personil baru. Ya, hidup memang
runyam. Serunyam matahari di musim pancaroba.
Terkadang, aku bertanya pada Tuhan, adilkah
ini? Aku merasa adil meski terkadang Tuhan tak lagi adil. Aku merasa, Ia
sengaja mempermainkanku. Tetapi sejatinya otak merespon. Tuhan bukan tak adil
melainkan aku sendiri yang tak mampu melihat. Tetapi, batin dan otak tak
selamanya sinkron. Ada salah satu jalur yang terkadang berhaluan.
Ya, aku tahu Tuhan melihatku tengah menulis
macam ini. dan aku tau pula, kalaulah Ia mengerti maksud tulisanku ini. Tak
apa. Aku sudah benar-benar lelah hari ini. Dan Tuhan, aku masih ingin mencari
hakekat hidup itu. Seburuk apapun aku. Sehina apapun manusia macamku ini. Aku
masihlah ingin mencari makna kehidupan itu. Sampai mati. Sampai aku berada di
kehidupan selanjutnya.
14.55
No comments:
Post a Comment