Friday 15 January 2016

Sejenak Saja, Mari Kita Tengok Gedung Ini



Hey, kawan. Ingatkah saat sore seperti ini, kita pernah duduk di emperan Geserna menikmati rayuan senja?

Ah, barangkali kalian sedikit lupa. Tak apa. Terkadang kesibukan menyita kenangan yang tersimpan. Kalian masih ingat, bukan? Kita duduk manis di emperan Geserna, menunggu komando pengurus memasuki area sembhayang. Ada yang mengaji, atau menikmati sajian langit. Sungguh, kita tak kalah semangat dengan personil 5 Menara Gontor. Sebab kita juga merancang mimpi-mimpi dalam arakan awan lewat senja. 

Ya, ya, ya.....

Menatap gedung ini di sore hari, rasanya, ingin menangis. Menangis sebab suatu masa di dalam hidup ini terasa berlalu begitu saja. Menangis, sebab masih banyak kerinduan yang tersisa. Dan menangis, karena masih ada cerita yang hanya bisa kita kenang dan tertawa mengingatnya.

Hey, apa kalian ingat saat berbuka puasa di emperan gedung ini? ya,,, sedari pagi terlebih dahulu kita membuat janji untuk pergi ke kantin. Membeli takjil. Barulah saat suara tarhim menjelang maghrib berkumandang, kita akan duduk melingkar. Saling berbagi makanan dan minuman. Ah, benar-benar indah masa itu. Akankah, kita bisa berkumpul disana suatu hari nanti? Menunggu senja datang lalu menikmati takjil dan gorengan sampai perut kita susah saat sujud? Ha..ha...haaa......

Ada banyak cerita di dalam gedung ini, kawan. Apalagi, saat di masa ujian. Hemmmmm............... lagi-lagi, sore kali ini membuat saya ingin terus menulis Bumi Djauhari. Saya tak bermaksud sombong, tetapi saya meyakini, seberapa banyak lembar yang disuguhkan tuk temukan titik akhir cerita Bumi Djauhari, saya yakin takkan mampu. Bukan hanya saya seorang, melainkan seluruh insan yang pernah merasakan nuansa di dalamnya akan setuju. 

Sebab dari sanalah kami belajar mengeja dan membaca kehidupan. Dari sanalah kita mengerti egois dan kebersamaan. Dan masih banyak yang tak mampu dituangkan dalam aksara tentangnya.
Hey, jangan terburu bersedih. Mari kita mengingat yang lain saja. hemmm, ingatkah kalian saat terlambat datang sembhayang, kita akan berdiri di depan menunggu iqab. Atau, saat pelatihan LDP dan PKM. Alamak, tersiksa sekali saat itu. lari kesana kemari, makan dalam tempo lima menit dan peluit memburu ke seluruh arah. Ah, benar-benar melelahkan tetapi kita masih selalu saja tertawa. Entahlah, jikalau salah satu diantara kita bertemu dengan para pemburu peluit itu suatu hari nanti, janganlah tak menyapa. Sapa saja dengan senyum terindah yang kita miliki. Senyum kebersamaan. Senyum persaudaraan.

Ya, gedung ini menyimpan banyak kenangan. Termasuk, saat kawan kita membacakan iqab. Ah, sudahlah. Kenangan yang kurang menyenangkan akan terasa lebih indah jika disimpan tanpa amarah. Sebaiknya, kita mengingat saat masa-masa pensi saja. pentas seni. Hayo, lupakah? Ah, bukannya semua ikut bertasipasi? Atau, saat selesai makan malam selepas maghrib menunggu tarhim shalat isya’? kita akan kembali duduk di emperan menikmati sajian langit malam. Ada yang saling berbagi cerita, dan ada pula merangkai mimpi masa depan sambil menatap bebintang.

Baiklah, baiklah. Saya tak ingin berkata banyak. Saya ingin menikmati senja dari bilik jendela. Kali ini, nuansanya memang berbeda. Senja yang saya lihat boleh saja tak sama dengan yang disajikan langit Madura, tetapi bagi saya, anda-anda semua akan tetap bersama senja. Selalu. 

akh, hampir saja saya lupa. Sebenarnya, ini rahasia saya. Tak apalah saya katakan sekarang. Kalaulah salah satu diantara kalian selama menyantri pernah mendengar sekali atau beberapa kali suara letusan kembang api, he……hee..heeeee……..Saya-lah Pelakunya dari balik Geserna…………………

2 comments:

Hikayat Seorang Santri Bodoh

Usiaku lima belas tahun waktu itu. Saat aku terbuang ke Madura. Ya, di sebuah pesantren Al-Amien inilah aku harus bersemedi. Tak tanggung...