Friday 15 January 2016

Pagi Ini, Ku-akhiri




Adakah kau temui,
Nyanyian embun tak lagi mampu sunggingkan senyum?
Berkatalah, tak usah meraung
Aku muak menyembah bayangan palsu kehidupan
Sungguh, liur langit tak lagi lahir menjadi selembar moksa
Wahai, Kaki alam
Sejenak saja percikkan cinta
Agar kumampu membaca hidup macam apa yang terjadi
Semua terasa beku. Dingin. Menggigil.

Kalaulah kau tak mampu perlihatkan,
Hadirkan saja bayangan semu
Tabi’at palsunya memang busuk
Tetapi lebih baik dari takdir yang tak kupahami

Wahai, Tuhan yang selalu diceritakan selalu ada
Kepada siapa lagi aku bercerita,
Tentang jalan hidup yang tak kumengerti
Akankah ini memang tulisan yang Kau hendaki?

Bukankah Kau tak mau biarkan manusia selalu menghempas kedua anak sungai?
Maafkan aku berkata begini,
Jawaban yang selalu kucari benar-benar mati

Sudahlah, barangkali memang kedua anak sungai memang harus terus mengalir
Agar tak ada kemarau dalam tubuh purnama
Hingga kutemukan  titik di akhir cerita hidupku


16 January ‘16
08.03
Pulanglah, dari kebisingan hidup

No comments:

Post a Comment

Hikayat Seorang Santri Bodoh

Usiaku lima belas tahun waktu itu. Saat aku terbuang ke Madura. Ya, di sebuah pesantren Al-Amien inilah aku harus bersemedi. Tak tanggung...