Bagi kami, Pussy telah dianggap sebagai
anggota keluarga. Barangkali pula, saya tak terlalu kreatif memberinya nama.
Bukan apa-apa, sebab tempo hari, ada seekor kucing milik tetangga yang kerasan
di rumah, dan saya pun memberinya nama Pussy. Entahlah, saya hanya ingin
mempermudah saja. sebab sehari-hari, kami memanggilnya dengan sebutan, Pus.
Saat diberi makan, kami akan menyuruhnya, “Tunggu sebentar, Pus”. Saat anak
tetangga kami yang masih balita ingin bermain, kami memanggilnya, “Pus,
kemari”. Atau, saat sejenak saja tak ada padahal kami ingin memberinya makan,
maka kami akan mencari, “Pus, Pus, Puuussss”.
Akhir-akhir ini, kucing kami sakit. Menggigil.
Tak mau makan. Sehari sebelumnya, kami dibuatnya kalang kabut. Seharian tak
pulang. Dicari ke halaman belakang tak ada. Ke tempat biasanya ia bermain pun
sama. Bapak, ibu bahkan bibi saya pun pasrah. Bingung bercampur kasian
memikirkan kemana seharian ia berada. Hingga akhirnya, selepas hujan lebat di
kemarin malam, tiba-tiba ia berdiri di depan teras. Badannya kurus. Amat kurus
malah. Ia tak lagi mengeong seperti biasanya, melainkan bersuara seperti
kesakitan. Susu yang saya berikan tak mau diminum. Hanya mengeluarkan suara.
Bapak pun tak mau diam. Diberinya kain sebagai selimut. Tak lupa pula air
minum.
Keesokannya bahkan lebih parah. Suara qori’
menjelang adzan Subuh, ia kembali meraung kesakitan. Berjalan tertatih-tatih
ingin keluar rumah. Dibuatnya susu masih tetap tak diminum. Barulah saat disuap
sedikit-sedikit, ia akan minum sekalipun lebih banyak yang tumpah. Seharian
saya dan bapak merawatnya dengan berbagai cara. Pagi-pagi, kami jemur di depan
teras. Bukankah, vitamin D baik untuk tubuh sekalipun tubuh binatang? Susu pun
kami tegukkan perlahan. Di siang hari, kami memberinya air degan. Takut dia
salah makan lalu keracunan. Di sore hari kami memberinya minum minyak goreng.
Untuk informasi ini, kami memperolehnya dari paman yang memelihara banyak
kucing di rumahnya. Tetapi sama saja. Ia terus muntah-muntah. Dan terus ingin
berada di luar rumah. Akhirnya saya membiarkannya pergi. Bermaksud mengetahui
tujuannya. Dengan terseok-seok ia berjalan. Perlahan. Sangat pelan. Lalu rubuh
dan bangkit lagi. Saya tak tega melihatnya, saya pungut kembali. Yang saya tau,
tujuannya hanya ke tempat biasanya ia bermain. Itu saja.
Dan sekarang, Pussy telah tiada.........
Ada hal yang menyentuh saat ia sakit kemarin
subuh. Sebelum ia sakit dan meninggal, biasanya setiap hari ia tidur di kasur
saya. Di ujung kaki. Ia akan terlentang sambil berguling kemana-mana. Saya membiarkan
saja sebab terlihat lucu dengan polanya. Terkadang, kalau sudah lapar atau
selepas bermain, ia akan mengeong di depan kamar sampai saya membukanya atau
cukup bersuara, dan pergi. Saya merasa sangat terharu saat kemarin subuh, ia
meraung seperti memanggil saya di depan pintu kamar. Rupanya ia berjalan dari
tempat tidurnya di belakang, dan meraung di depan kamar. Setelah pintu dibuka,
ia masuk ke dalam dengan terseok-seok dan merasa ingin meloncat ke ranjang.
Saya pun memungutnya sebab ia sudah tak bisa meloncat. Sejenak saya tertegun.
Kucing kami ini yang meraung kesakitan, tetapi masih melalukan hal yang membuat
saya ingin menangis. Ia memang dekat dengan saya. Apa yang saya makan, ia akan
turut mencicipi. Keripik, kerupuk, bahkan es krim, ia menghabiskannya dengan
lahap. Bila saya tak memberi, ia akan mengeong dengan lirih, dengan tatapan menyentuh.
Ah, kalau sudah begini saya tak tega.
Terkadang pula, ia akan turut berlari tatkala
melihat saya datang mengendarai sepeda. Ia akan mengeong dan mengelus kaki,
sambil mengikuti saya masuk ke dalam kamar. Atau, saat saya mandi. Ia akan
mengikuti dan menunggu saya di depan pintu sampai selesai.
Dan kini, ia tak lagi
ada......................................
Saya belajar banyak hal dari Pussy. Jujur
saja, seharian kemarin saya tak tega melihatnya sakit demikian parah. Andai saja
di kampung kami terdapat seorang dokter hewan, sedari pagi saya membawanya
berobat. Anda bayangkan saja, tubuhnya yang mengurus dan selalu meraung
kesakitan, tiba-tiba ia tak bersuara. Tak ada satu suara pun. Matanya menutup.
Saya benar-benar tak tega. Bahkan saya berkata kepada Tuhan, “Seandainya mati
adalah jalan terbaik untuknya, aku ikhlas, Engkau mengambilnya sebab memang
dariMu ia hadir. Barangkali pula, Tuhan, aku tak bisa merawatnya dengan baik.
Terkadang aku mengusirnya sebab ia sering berdiri di jendela kamar dan
meraung-raung. Terkadang pula aku tak memberinya suapan es krim, sebab ia lahap
melebihi aku sendiri. Barangkali, ia akan lebih baik saat tak lagi bersamaku.
Aku berterima kasih atas cerita-cerita yang ada selama enam bulan ini. Termasuk,
saat ia usil bergelantungan di kaki. Dan meski terkadang aku menjadi pencuri di
dalam keluarga, aku ikhlaskan ia kembali pada-Mu”
Kalaulah anda ingin bertanya, mengapa pula
saya menjadi pencuri di dalam keluarga? Sebab memang terkadang saya mencuri
jatah ikan untuk keluarga, dan memberinya pada Pussy. Bahkan sering bapak dan
ibu hanya makan sedikit, dan sepiring penuh itu saya berikan pada kucing hitam
itu.
Satu hal lagi, saya berdo’a begitu, semalam
sebelum tidur. Saya tengok matanya membuka sedikit lalu saya berdo’a di dalam
hati. Ia menatap saya begitu lirih, sampai saya sendiri tak tega dan menitikkan
air mata. Saya pun kembali ke kamar. Dan sebelum saya membuka pintu, saya lihat
ia masih menatap saya. Seolah mengerti apa yang saya katakan kepada Tuhan. Dan
subuh tadi pagi, ia telah pergi. Meninggal dengan kepala menelungkup ke bumi.
11 Januari 2016
At: 05.50
No comments:
Post a Comment