Monday 11 January 2016

Saya dan Kucing di Suatu Masa



 Bagi kami, Pussy telah dianggap sebagai anggota keluarga. Barangkali pula, saya tak terlalu kreatif memberinya nama. Bukan apa-apa, sebab tempo hari, ada seekor kucing milik tetangga yang kerasan di rumah, dan saya pun memberinya nama Pussy. Entahlah, saya hanya ingin mempermudah saja. sebab sehari-hari, kami memanggilnya dengan sebutan, Pus. Saat diberi makan, kami akan menyuruhnya, “Tunggu sebentar, Pus”. Saat anak tetangga kami yang masih balita ingin bermain, kami memanggilnya, “Pus, kemari”. Atau, saat sejenak saja tak ada padahal kami ingin memberinya makan, maka kami akan mencari, “Pus, Pus, Puuussss”.

Akhir-akhir ini, kucing kami sakit. Menggigil. Tak mau makan. Sehari sebelumnya, kami dibuatnya kalang kabut. Seharian tak pulang. Dicari ke halaman belakang tak ada. Ke tempat biasanya ia bermain pun sama. Bapak, ibu bahkan bibi saya pun pasrah. Bingung bercampur kasian memikirkan kemana seharian ia berada. Hingga akhirnya, selepas hujan lebat di kemarin malam, tiba-tiba ia berdiri di depan teras. Badannya kurus. Amat kurus malah. Ia tak lagi mengeong seperti biasanya, melainkan bersuara seperti kesakitan. Susu yang saya berikan tak mau diminum. Hanya mengeluarkan suara. Bapak pun tak mau diam. Diberinya kain sebagai selimut. Tak lupa pula air minum.

Keesokannya bahkan lebih parah. Suara qori’ menjelang adzan Subuh, ia kembali meraung kesakitan. Berjalan tertatih-tatih ingin keluar rumah. Dibuatnya susu masih tetap tak diminum. Barulah saat disuap sedikit-sedikit, ia akan minum sekalipun lebih banyak yang tumpah. Seharian saya dan bapak merawatnya dengan berbagai cara. Pagi-pagi, kami jemur di depan teras. Bukankah, vitamin D baik untuk tubuh sekalipun tubuh binatang? Susu pun kami tegukkan perlahan. Di siang hari, kami memberinya air degan. Takut dia salah makan lalu keracunan. Di sore hari kami memberinya minum minyak goreng. Untuk informasi ini, kami memperolehnya dari paman yang memelihara banyak kucing di rumahnya. Tetapi sama saja. Ia terus muntah-muntah. Dan terus ingin berada di luar rumah. Akhirnya saya membiarkannya pergi. Bermaksud mengetahui tujuannya. Dengan terseok-seok ia berjalan. Perlahan. Sangat pelan. Lalu rubuh dan bangkit lagi. Saya tak tega melihatnya, saya pungut kembali. Yang saya tau, tujuannya hanya ke tempat biasanya ia bermain. Itu saja.

Dan sekarang, Pussy telah tiada.........

Ada hal yang menyentuh saat ia sakit kemarin subuh. Sebelum ia sakit dan meninggal, biasanya setiap hari ia tidur di kasur saya. Di ujung kaki. Ia akan terlentang sambil berguling kemana-mana. Saya membiarkan saja sebab terlihat lucu dengan polanya. Terkadang, kalau sudah lapar atau selepas bermain, ia akan mengeong di depan kamar sampai saya membukanya atau cukup bersuara, dan pergi. Saya merasa sangat terharu saat kemarin subuh, ia meraung seperti memanggil saya di depan pintu kamar. Rupanya ia berjalan dari tempat tidurnya di belakang, dan meraung di depan kamar. Setelah pintu dibuka, ia masuk ke dalam dengan terseok-seok dan merasa ingin meloncat ke ranjang. Saya pun memungutnya sebab ia sudah tak bisa meloncat. Sejenak saya tertegun. Kucing kami ini yang meraung kesakitan, tetapi masih melalukan hal yang membuat saya ingin menangis. Ia memang dekat dengan saya. Apa yang saya makan, ia akan turut mencicipi. Keripik, kerupuk, bahkan es krim, ia menghabiskannya dengan lahap. Bila saya tak memberi, ia akan mengeong dengan lirih, dengan tatapan menyentuh.  Ah, kalau sudah begini saya tak tega.
Terkadang pula, ia akan turut berlari tatkala melihat saya datang mengendarai sepeda. Ia akan mengeong dan mengelus kaki, sambil mengikuti saya masuk ke dalam kamar. Atau, saat saya mandi. Ia akan mengikuti dan menunggu saya di depan pintu sampai selesai. 

Dan kini, ia tak lagi ada......................................

Saya belajar banyak hal dari Pussy. Jujur saja, seharian kemarin saya tak tega melihatnya sakit demikian parah. Andai saja di kampung kami terdapat seorang dokter hewan, sedari pagi saya membawanya berobat. Anda bayangkan saja, tubuhnya yang mengurus dan selalu meraung kesakitan, tiba-tiba ia tak bersuara. Tak ada satu suara pun. Matanya menutup. Saya benar-benar tak tega. Bahkan saya berkata kepada Tuhan, “Seandainya mati adalah jalan terbaik untuknya, aku ikhlas, Engkau mengambilnya sebab memang dariMu ia hadir. Barangkali pula, Tuhan, aku tak bisa merawatnya dengan baik. Terkadang aku mengusirnya sebab ia sering berdiri di jendela kamar dan meraung-raung. Terkadang pula aku tak memberinya suapan es krim, sebab ia lahap melebihi aku sendiri. Barangkali, ia akan lebih baik saat tak lagi bersamaku. Aku berterima kasih atas cerita-cerita yang ada selama enam bulan ini. Termasuk, saat ia usil bergelantungan di kaki. Dan meski terkadang aku menjadi pencuri di dalam keluarga, aku ikhlaskan ia kembali pada-Mu”

Kalaulah anda ingin bertanya, mengapa pula saya menjadi pencuri di dalam keluarga? Sebab memang terkadang saya mencuri jatah ikan untuk keluarga, dan memberinya pada Pussy. Bahkan sering bapak dan ibu hanya makan sedikit, dan sepiring penuh itu saya berikan pada kucing hitam itu. 

Satu hal lagi, saya berdo’a begitu, semalam sebelum tidur. Saya tengok matanya membuka sedikit lalu saya berdo’a di dalam hati. Ia menatap saya begitu lirih, sampai saya sendiri tak tega dan menitikkan air mata. Saya pun kembali ke kamar. Dan sebelum saya membuka pintu, saya lihat ia masih menatap saya. Seolah mengerti apa yang saya katakan kepada Tuhan. Dan subuh tadi pagi, ia telah pergi. Meninggal dengan kepala menelungkup ke bumi.

11 Januari 2016
At: 05.50

No comments:

Post a Comment

Hikayat Seorang Santri Bodoh

Usiaku lima belas tahun waktu itu. Saat aku terbuang ke Madura. Ya, di sebuah pesantren Al-Amien inilah aku harus bersemedi. Tak tanggung...