Monday 25 January 2016

Sekilas Tentang Kopi; Bagi Saya




Secangkir kopi di pagi hari, benar-benar terasa amat nikmat. Setidaknya, bagi saya. Atau, anda setuju pula? Baiklah-baiklah. 

Kebiasaan saya memang begitu. Tanpa mengisi perut dengan asupan lainnya, seringkali secangkir kopi menyusui usus lewat salam. Ya, terkadang terasa nyeri di lambung, tetapi biarlah. Toh, selepas tegukan pertama, pikiran saya seakan berada di atas padang. Padang pasir atau padang pinus. Beruntung bukan berada di padang buaya yang menjaga para bandar narkoba.

Ya..ya...yaa....

Kopi benar-benar mampu menyulap diri menjadi sebuah kenikmatan yang digerus bibir-bibir tamak manusia seperti saat ini. barangkali, anda setuju tentang pengorbanan biji kopi dari semula menjadi kembang sampai menjadi sisa ampas yang dibuang. Tetapi saya tak mau membicarakan pengorbanan kopi. Amat bosan selalu mengulang topik yang sama tanpa sudut pandang berbeda. Dan kali ini, dengarkan saja apa celotehan saya. Hanya ingin bercerita. Itu saja.

Saya amat rindu secangkir kopi di pagi hari. Benar-benar rindu.

Saya tak tak lagi menikmati kopi di setiap pagi. Bahkan sampai seminggu lebih saya tak lagi meneguknya. Saya menggantinya dengan segelas air selepas bangun istirahat malam. Entahlah, amat susah memang. Mengganti kebiasaan yang amat dicintai dengan tugas baru yang belum dibiasakan. Barangkali anda ingin bertanya, ada gerangan apa saya merubah haluan aktivitas di pagi hari?

Oh, tentu ada. Saya memiliki alasan mengapa saya mengubahnya. Saya hanya mengikuti saran seseorang. Yang sedari dulu cerewet melihat saya menghabiskan bercangkir-cangkir kopi setiap hari. Pagi hari, siang sampai malam. Saya tak lagi bertemu dengannya sekarang. Jarak amat jauh barangkali bisa ditempuh dengan transportasi bahkan teknologi. Tetapi saya pasrah. Teknologi tak selamanya mampu menjawab kedalaman isi hati seseorang. Sekalipun jarak antar kita satu meter, sekalipun kita memakai teknologi tercanggih, tetapi tabi’a hati yang tak mampu diubah, semuanya terasa sama.

Barangkali, sebab jarak yang terhitung sangat jauh ini membuat saya mengikuti nasehatnya. Mengganti secangkir kopi menjadi segelas air di pagi hari. Saya tak perlu memberitahunya sebagai bentuk pamer. Barangkali, saya termasuk orang bodoh yang terus bertahan dengan tubuh penuh luka. Ah, biarkan saja. toh, dia tetap menjadi salah satu motivasi bagi saya dalam merenungi aksara. Barangkali, luka mampu membuat puisi lebih nyaman bermunculan di atas kertas.


No comments:

Post a Comment

Hikayat Seorang Santri Bodoh

Usiaku lima belas tahun waktu itu. Saat aku terbuang ke Madura. Ya, di sebuah pesantren Al-Amien inilah aku harus bersemedi. Tak tanggung...