Secangkir kopi di pagi hari, benar-benar
terasa amat nikmat. Setidaknya, bagi saya. Atau, anda setuju pula?
Baiklah-baiklah.
Kebiasaan saya memang begitu. Tanpa mengisi
perut dengan asupan lainnya, seringkali secangkir kopi menyusui usus lewat
salam. Ya, terkadang terasa nyeri di lambung, tetapi biarlah. Toh, selepas
tegukan pertama, pikiran saya seakan berada di atas padang. Padang pasir atau
padang pinus. Beruntung bukan berada di padang buaya yang menjaga para bandar
narkoba.
Ya..ya...yaa....
Kopi benar-benar mampu menyulap diri menjadi
sebuah kenikmatan yang digerus bibir-bibir tamak manusia seperti saat ini.
barangkali, anda setuju tentang pengorbanan biji kopi dari semula menjadi
kembang sampai menjadi sisa ampas yang dibuang. Tetapi saya tak mau
membicarakan pengorbanan kopi. Amat bosan selalu mengulang topik yang sama
tanpa sudut pandang berbeda. Dan kali ini, dengarkan saja apa celotehan saya.
Hanya ingin bercerita. Itu saja.
Saya amat rindu secangkir kopi di pagi hari.
Benar-benar rindu.
Saya tak tak lagi menikmati kopi di setiap
pagi. Bahkan sampai seminggu lebih saya tak lagi meneguknya. Saya menggantinya
dengan segelas air selepas bangun istirahat malam. Entahlah, amat susah memang.
Mengganti kebiasaan yang amat dicintai dengan tugas baru yang belum dibiasakan.
Barangkali anda ingin bertanya, ada gerangan apa saya merubah haluan aktivitas
di pagi hari?
Oh, tentu ada. Saya memiliki alasan mengapa
saya mengubahnya. Saya hanya mengikuti saran seseorang. Yang sedari dulu
cerewet melihat saya menghabiskan bercangkir-cangkir kopi setiap hari. Pagi
hari, siang sampai malam. Saya tak lagi bertemu dengannya sekarang. Jarak amat
jauh barangkali bisa ditempuh dengan transportasi bahkan teknologi. Tetapi saya
pasrah. Teknologi tak selamanya mampu menjawab kedalaman isi hati seseorang.
Sekalipun jarak antar kita satu meter, sekalipun kita memakai teknologi
tercanggih, tetapi tabi’a hati yang tak mampu diubah, semuanya terasa sama.
Barangkali, sebab jarak yang terhitung sangat
jauh ini membuat saya mengikuti nasehatnya. Mengganti secangkir kopi menjadi
segelas air di pagi hari. Saya tak perlu memberitahunya sebagai bentuk pamer.
Barangkali, saya termasuk orang bodoh yang terus bertahan dengan tubuh penuh
luka. Ah, biarkan saja. toh, dia tetap menjadi salah satu motivasi bagi saya
dalam merenungi aksara. Barangkali, luka mampu membuat puisi lebih nyaman
bermunculan di atas kertas.
No comments:
Post a Comment