Kesempatan kali
ini, perkenankan saya ceritakan kepada anda semua, tentang kenikmatan
kebersamaan. Keindahan perjuangan. Tentang cerita sesama perantau dan pemilik
nasib yang sama; santri.
Hari senin seperti
ini, biasanya kami melalukan puasa sunnah yang dianjurkan nabi. Jangan anda
tanyakan berbuka dengan menu takjil apa, sebab telah disediakan ibu dapur.
Jangan heran, semalam sesaat selesai makan, kami harus menulis nama sebagai
daftar santri yang akan berpuasa esok hari. Khusus untuk saya, ibu dapur akan
memberikan takjil tadi selepas makan malam sebab sudah menghafal tabi’at saya
yang malas sekali ke dapur untuk mengambil takjil.
Kembali kepada menu
takjil, sedari pulang sekolah kami telah berbuat janji terlebih dahulu dengan
kawan-kawan. Ya, sekedar untuk membeli gorengan beserta es untuk berbuka nanti.
Barulah selepas shalat ashar, kami akan buru-buru mengganti pakaian pergi ke
kantin. Kalau terlalu sore, alamat kita kehabisan stok gorengan.
Dan inilah yang
saya tunggu. Ya, saat dentam bel bergaung tiga kali. Kami akan pergi ke Geserna
tempat kami sembhayang. Serempak memakai mukena yang di tangan masing-masing
membawa sebungkus makanan dan air. Setiba di Geserna, kami akan menaruh makanan
tadi di emperan. Barulah kami akan masuk ke dalam, menghampar sajadah. Lalu
beranjak ke belakang, duduk memanjang
dan berhadap-hadapan sesuai angkatan. Mengaji. Tetapi kalau saya, ya, terkadang
bercerita. Ha..ha..haaa....
Kalaulah suara
tarhim mengalun, aktivitas mengaji tadi akan berhenti. Bagi mereka yang tidak
berpuasa, akan kembali ke depan menuju sajadah yang telah dihampar. Sedangkan
bagi yang berpuasa, keluar menuju emperan Geserna. Duduk melingkar sekaligus
menyemut. Membuka bungkusan makanan, lalu saling berbagi sesama kawan.
Terkadang ada yang membawa satu plastik bahkan dua plastik full. Tentu saya tak
menyebut namanya dalam tulisan ini. Dan makanan tadi, ludes saat adzan menyapa.
Bahkan, saat pengurus menyuruh ke dalam, ia dengan senyum tulusnya tak hiraukan
himbauan tadi sebab masih sibuk mengunyah. Kalaupun ada sisa, makanan akan
disambar kembali setelah sebelum shalat isya’ alias selepas makan malam.
Jujur, ada
kerinduan saat mengingat masa itu. Saat berbagi makanan. Berbagi cerita sembari
menunggu suara tarhim selesai dikumandangkan. Atau saat tertawa melihat kawan
yang kekenyangan dan membuat susah saat rukuk apalagi sujud. Barangkali,
kenikmatan yang saya rasakan itu bercampur baur dengan nasib kami yang sama.
Yakni sesama perantau yang jauh dari orang tua. Sebab orang tua kami saat
disana adalah para murabbi. Saudara kami, adalah kawan-kawan sekalian. Rasanya,
kenikmatan berbuka tadi memang bukan disebabkan seberapa lezat takjil yang kami
makan, melainkan kebersamaan saat duduk melingkar di emperan Geserna. Berbagi
makanan dan cerita. Mengumbar senyum bahkan saling mensuport.
Sekali lagi saya
harus bersyukur, sebab Tuhan telah menakdirkan saya memasuki Bumi Djauhari.
Menyantri meski awalnya terpaksa. Saya bersyukur sebab telah Tuhan
mempertemukan dengan banyak kawan yang masing-masing memiliki karakter berbeda.
Barangkali, saya juga bersyukur sebab bertemu dengan kawan yang kekenyangan
tadi. Dan satu hal yang tak boleh luput dalam tulisan ini, saya mesti bersyukur
sebab Tuhan memberi kesempatan untuk duduk di emperan Geserna tadi, melihat
langit selatan selepas makan malam, sembari menunggu tarhim menuju shalat
isya’. Bagi sebagian ustadzah, akan menyibukkan diri sambil mengaji. Tetapi
saya, akan duduk disana melihat alam bintang. Merajut cita-cita dan harapan ke
depan. Seakan impian tadi terasa dekat menjadi nyata. Bahkan terkadang duduk
bersama kawan-kawan, menikmati kenidahan bintang tadi. Ya, saling tersenyum.
Saling berbagi. Saling merangkul sesama perantau.
Isnain, 04 Jan ‘15
Selepas berbuka puasa
~kini, saya tak lagi melihat kawan yang kekenyangan tadi. Dan tentu, saya tak lagi menikmati sajian langit selatan di emperan Geserna~
~kini, saya tak lagi melihat kawan yang kekenyangan tadi. Dan tentu, saya tak lagi menikmati sajian langit selatan di emperan Geserna~
No comments:
Post a Comment