Wednesday 6 January 2016

Segelintir Cerita Berbuka Bersama



Kesempatan kali ini, perkenankan saya ceritakan kepada anda semua, tentang kenikmatan kebersamaan. Keindahan perjuangan. Tentang cerita sesama perantau dan pemilik nasib yang sama; santri.
Hari senin seperti ini, biasanya kami melalukan puasa sunnah yang dianjurkan nabi. Jangan anda tanyakan berbuka dengan menu takjil apa, sebab telah disediakan ibu dapur. Jangan heran, semalam sesaat selesai makan, kami harus menulis nama sebagai daftar santri yang akan berpuasa esok hari. Khusus untuk saya, ibu dapur akan memberikan takjil tadi selepas makan malam sebab sudah menghafal tabi’at saya yang malas sekali ke dapur untuk mengambil takjil.
Kembali kepada menu takjil, sedari pulang sekolah kami telah berbuat janji terlebih dahulu dengan kawan-kawan. Ya, sekedar untuk membeli gorengan beserta es untuk berbuka nanti. Barulah selepas shalat ashar, kami akan buru-buru mengganti pakaian pergi ke kantin. Kalau terlalu sore, alamat kita kehabisan stok gorengan.
Dan inilah yang saya tunggu. Ya, saat dentam bel bergaung tiga kali. Kami akan pergi ke Geserna tempat kami sembhayang. Serempak memakai mukena yang di tangan masing-masing membawa sebungkus makanan dan air. Setiba di Geserna, kami akan menaruh makanan tadi di emperan. Barulah kami akan masuk ke dalam, menghampar sajadah. Lalu beranjak ke belakang,  duduk memanjang dan berhadap-hadapan sesuai angkatan. Mengaji. Tetapi kalau saya, ya, terkadang bercerita. Ha..ha..haaa....
Kalaulah suara tarhim mengalun, aktivitas mengaji tadi akan berhenti. Bagi mereka yang tidak berpuasa, akan kembali ke depan menuju sajadah yang telah dihampar. Sedangkan bagi yang berpuasa, keluar menuju emperan Geserna. Duduk melingkar sekaligus menyemut. Membuka bungkusan makanan, lalu saling berbagi sesama kawan. Terkadang ada yang membawa satu plastik bahkan dua plastik full. Tentu saya tak menyebut namanya dalam tulisan ini. Dan makanan tadi, ludes saat adzan menyapa. Bahkan, saat pengurus menyuruh ke dalam, ia dengan senyum tulusnya tak hiraukan himbauan tadi sebab masih sibuk mengunyah. Kalaupun ada sisa, makanan akan disambar kembali setelah sebelum shalat isya’ alias selepas makan malam.
Jujur, ada kerinduan saat mengingat masa itu. Saat berbagi makanan. Berbagi cerita sembari menunggu suara tarhim selesai dikumandangkan. Atau saat tertawa melihat kawan yang kekenyangan dan membuat susah saat rukuk apalagi sujud. Barangkali, kenikmatan yang saya rasakan itu bercampur baur dengan nasib kami yang sama. Yakni sesama perantau yang jauh dari orang tua. Sebab orang tua kami saat disana adalah para murabbi. Saudara kami, adalah kawan-kawan sekalian. Rasanya, kenikmatan berbuka tadi memang bukan disebabkan seberapa lezat takjil yang kami makan, melainkan kebersamaan saat duduk melingkar di emperan Geserna. Berbagi makanan dan cerita. Mengumbar senyum bahkan saling mensuport.
Sekali lagi saya harus bersyukur, sebab Tuhan telah menakdirkan saya memasuki Bumi Djauhari. Menyantri meski awalnya terpaksa. Saya bersyukur sebab telah Tuhan mempertemukan dengan banyak kawan yang masing-masing memiliki karakter berbeda. Barangkali, saya juga bersyukur sebab bertemu dengan kawan yang kekenyangan tadi. Dan satu hal yang tak boleh luput dalam tulisan ini, saya mesti bersyukur sebab Tuhan memberi kesempatan untuk duduk di emperan Geserna tadi, melihat langit selatan selepas makan malam, sembari menunggu tarhim menuju shalat isya’. Bagi sebagian ustadzah, akan menyibukkan diri sambil mengaji. Tetapi saya, akan duduk disana melihat alam bintang. Merajut cita-cita dan harapan ke depan. Seakan impian tadi terasa dekat menjadi nyata. Bahkan terkadang duduk bersama kawan-kawan, menikmati kenidahan bintang tadi. Ya, saling tersenyum. Saling berbagi. Saling merangkul sesama perantau.

Isnain, 04 Jan ‘15
Selepas berbuka puasa
~kini, saya tak lagi melihat kawan yang kekenyangan tadi. Dan tentu, saya tak lagi menikmati sajian langit selatan di emperan Geserna~

No comments:

Post a Comment

Hikayat Seorang Santri Bodoh

Usiaku lima belas tahun waktu itu. Saat aku terbuang ke Madura. Ya, di sebuah pesantren Al-Amien inilah aku harus bersemedi. Tak tanggung...