Monday 25 January 2016

Sisa Cerita Tembakau



 Barangkali, cerita saya mengenai tembakau telah saya tuangkan di dalam tulisan terdahulu. Khususnya yang saya peruntukkan kepada para pelancong yang menjenguk para petani tembakau di kampung.




Ternyata, selembar cerita mengenai musim tembakau kali ini masih menyisakan banyak hikayat yang pada awalnya hanya saya terka tak pasti.
Anda tau, abu raung yang menimpa kabupaten khususnya kampung tembakau kami ini memiliki efek yang tidak kalah menghebohkan dibandingkan teror thamrin beberapa hari yang lalu. Saya tak mau mengatakan kalaulah harga tembakau merosot tajam akibat ulah abu raung, melainkan saya juga ingin menyatakan bahwa hal ini tidak terlepas dari peranan ekonomi global pula yang turut lesu.
Tetapi, biarlah Tuhan yang menjawab apa sebab sebenarnya. Yang saya ingin ceritakan kali ini, hanyalah sisa cerita yang ada.
Kemarin lusa, kawan SMP saya menengok lewat pesan singkat. Saling bertanya kabar dan ujungnya ekonomi keluarga. Maklum, kawan saya ini baru saja melangsungkan perkawinan. Dan, yaaa.. saya jawab apa adanya. Terutama, tentang tembakau. Tiba-tiba saja dia memotong alur sapa dengan secuil cerita.
“Kau tau, Riel. Tetanggaku sampai cerai gara-gara tembakau. Dan di Antirogo, malah suami-isteri bunuh diri sebab menanggung hutang yang banyak gara-gara tembakau sekarang ini”
“Ya, kau benar kawan. Banyak orang menanggung rugi sekaligus hutang sampai puluhan juta. Nasib, nasib”
“Memang. Malah tembakau yang berton-ton ada yang dibakar di depan gudang. Gara-gara tak laku pas ditawarkan”
Sejenak mengingat percakapan dengan kawan berkacamata ini, saya ingin tertawa sendiri. Rasa-rasanya, kok saya seperti orang-orang tua saja, ya. Sudah seperti juragan saja. sok pusing. Padahal memang sebenarnya saya juga memusingkan hidup ini.
Ya, sudahlah. Apapun yang terjadi. Bagaimanapun harga tembakau kini, kami sama-sama pusing. Tak hanya para petani atau kuli tembakau, melainkan semua elemen masyarakat di kampung juga turut merasakan.
Anda tidak percaya? Baiklah, datanglah ke kampung kami ini. letaknya di kabupaten Jember, tepi selatan provinsi Jawa Timur. Ada sebuah pasar di kampung kami, yang para pemilik toko kelontongnya keturunan tionghoa. Kami memang hidup berdamai. Tak ada konflik dan saling menghargai. Silahkan anda bertanya. Bagaimana keadaan konsumen di pasar ini. Saya yakin, tanpa saya berkeliling membuat kesepakatan jawaban, insya Allah mereka akan serempak berkata begini:
“Tembakau kali ini, benar-benar mematikan ekonomi”


24 Januari 2016
17. 47
Merajut kembali cerita yang ada

No comments:

Post a Comment

Hikayat Seorang Santri Bodoh

Usiaku lima belas tahun waktu itu. Saat aku terbuang ke Madura. Ya, di sebuah pesantren Al-Amien inilah aku harus bersemedi. Tak tanggung...