Barangkali, cerita saya mengenai tembakau telah saya tuangkan di dalam tulisan terdahulu. Khususnya yang saya peruntukkan kepada para pelancong yang menjenguk para petani tembakau di kampung.
Ternyata,
selembar cerita mengenai musim tembakau kali ini masih menyisakan banyak
hikayat yang pada awalnya hanya saya terka tak pasti.
Anda
tau, abu raung yang menimpa kabupaten khususnya kampung tembakau kami ini
memiliki efek yang tidak kalah menghebohkan dibandingkan teror thamrin beberapa
hari yang lalu. Saya tak mau mengatakan kalaulah harga tembakau merosot tajam
akibat ulah abu raung, melainkan saya juga ingin menyatakan bahwa hal ini tidak
terlepas dari peranan ekonomi global pula yang turut lesu.
Tetapi,
biarlah Tuhan yang menjawab apa sebab sebenarnya. Yang saya ingin ceritakan
kali ini, hanyalah sisa cerita yang ada.
Kemarin
lusa, kawan SMP saya menengok lewat pesan singkat. Saling bertanya kabar dan
ujungnya ekonomi keluarga. Maklum, kawan saya ini baru saja melangsungkan
perkawinan. Dan, yaaa.. saya jawab apa adanya. Terutama, tentang tembakau.
Tiba-tiba saja dia memotong alur sapa dengan secuil cerita.
“Kau
tau, Riel. Tetanggaku sampai cerai gara-gara tembakau. Dan di Antirogo, malah
suami-isteri bunuh diri sebab menanggung hutang yang banyak gara-gara tembakau
sekarang ini”
“Ya,
kau benar kawan. Banyak orang menanggung rugi sekaligus hutang sampai puluhan
juta. Nasib, nasib”
“Memang.
Malah tembakau yang berton-ton ada yang dibakar di depan gudang. Gara-gara tak
laku pas ditawarkan”
Sejenak
mengingat percakapan dengan kawan berkacamata ini, saya ingin tertawa sendiri.
Rasa-rasanya, kok saya seperti orang-orang tua saja, ya. Sudah seperti juragan
saja. sok pusing. Padahal memang sebenarnya saya juga memusingkan hidup ini.
Ya,
sudahlah. Apapun yang terjadi. Bagaimanapun harga tembakau kini, kami sama-sama
pusing. Tak hanya para petani atau kuli tembakau, melainkan semua elemen
masyarakat di kampung juga turut merasakan.
Anda
tidak percaya? Baiklah, datanglah ke kampung kami ini. letaknya di kabupaten
Jember, tepi selatan provinsi Jawa Timur. Ada sebuah pasar di kampung kami,
yang para pemilik toko kelontongnya keturunan tionghoa. Kami memang hidup
berdamai. Tak ada konflik dan saling menghargai. Silahkan anda bertanya.
Bagaimana keadaan konsumen di pasar ini. Saya yakin, tanpa saya berkeliling
membuat kesepakatan jawaban, insya Allah mereka akan serempak berkata begini:
“Tembakau
kali ini, benar-benar mematikan ekonomi”
24 Januari 2016
17. 47
Merajut kembali cerita
yang ada
No comments:
Post a Comment