Friday 15 January 2016

Teror Ibu Kota, ISIS-kah?



Lagi, Jakarta kembali mengalami teror. Kali ini, pelaku berhasil melakukan pengeboman di jalan M.H Thamrin. Korbannya pun berjatuhan termasuk kelima pelaku tewas di tempat. Polisi mengindikasi, dalang di balik kekisruhan adalah teroris ISIS. Bahkan tidak cukup sampai disitu, kepolisian juga memberikan pernyataan sejatinya memang telah menerima informasi mengenai ancaman teror hanya saja tidak mengetahui kapan dan dimana. 

Jika benar ISIS pelakunya, sungguh biadab orang-orang dalam organisasi tersebut. Saya sungguh tidak bisa berpikir, bagaimana pola pikir para teroris tersebut? Kalaulah mereka berdalih ingin mendirikan negara Islam, apakah dengan melakukan kekerasan? Contoh saja negara Islam Iran atau Arab Saudi. Apakah mereka melakukan kekerasan terhadap orang yang tidak sepaham dengan pikiran mereka? Lalu, apabila mereka berdalih berjihad atas nama Allah, sungguh mereka telah keliru menafsirkan perintah Allah.
Saya pernah membaca sebuah buku yang dikarang oleh seorang yang hijrah pola pikir. Di dalamnya saya menemukan pernyataan penulis, bahwa selama menjadi mahasiswa, rupanya ia dicuci otaknya dengan menggunakan salah satu ayat suci al-qur’an yang menyatakan bunuhlah/berperanglah melawan orang kafir. Hingga akhirnya, ia sadar jikalau dirinya berada di jalan yang salah.

Kalaulah begitu, baiklah, di dalam kesempatan ini akan saya ulas pandangan saya mengenai ayat tadi. Sekalipun harus saya akui, saya bukan hafidz, ahli tafsir atau seorang ulama yang memiliki kemampuan ilmu yang mumpuni. Tetapi tulisan ini lahir sebagai bentuk kegeraman saya terhadap orang semacam teroris.
Wahai para teroris bahkan anggota ISIS. Beranjak dari perintah ayat tadi, sudah seharusnya anda semua menengok kembali otak dan akal pikiran masing-masing. Apakah anda akan menyatakan bahwa dengan melakukan bom bunuh diri di tengah khalayak atau menembaki orang yang tidak tau apa-apa yang anda sebut sebagai jihad, akan menjamin anda masuk surga? Hei teroris, surga dan neraka yang menentukan Allah SWT. Kita sebagai hamba hanya bisa pasrah dan ikhtiar. Dalam hablul minallah maupun hablul minan naas, sepantasnya kita melakukan pekerjaan hanya murni niat lillahi ta’ala saja, Bukan berharap surga atau takut neraka. Mengapa anda melakukan hitung-hitungan pahala di depan Allah?

Kedua, apakah anda merasa jalan jihad yang diyakini sudah sesuai al-qur’an? Cobalah anda tengok hati dan akal anda! Janganlah pernah merasa anda sudah benar meyakini kebenaran prinsip jihad tersebut, sebab ayat al-qur’an yang anda yakini, hanya diambil dan ditafsirkan separuh saja. lihatlah ayat-ayat yang lain, niscaya akan anda temukan bahwa untuk memahami sesuatu, pahamilah keseluruhan jangan separuhnya jika tidak, akan tersesat seperti anda. Sesungguhnya, anda bisa melakukan penafsiran yang lebih baik dengan menggunakan asbabun nuzul misalnya. Dengannya, anda akan mengetahui sejarah turunnya ayat yang anda ambil separuh tadi. Anda akan melihat, mengapa Allah menurunkan ayat tadi sekaligus dengan peristiwa masa lalu. Sinkronkan dengan keadaan saat ini. 

Ketiga, jikalau anda menganggap melawan orang kafir harus dengan membunuh, lihatlah ayat qur’an sekaligus hadist nabi yang lainnya. Jangan anda ambil separuh-separuh jika tidak, hidup anda separuh juga. Ya, seharusnya anda memahami, bunuh diri adalah perbuatan dosa bukan perbuatan mulia seperti ucapan anda. Sungguh memalukan! Bahkan anda meyakini, dengan membunuh orang-orang yang tak sepaham dengan anda adalah perbuatan mulia. Sekali lagi, lihatlah hadist nabi yang lain. Lihatlah, apa yang dikatakan sang nabi bahwa membunuh seorang yang tidak tau apa-apa, sama halnya dengan membunuh seluruh manusia. Sayang sekali, anda memiliki semangat jihad yang luar biasa, akan tetapi anda arahkan ke jalan nestapa.

Saya sebagai muslim, sungguh malu memiliki saudara yang mengaku beragama Islam tetapi membunuh orang-orang. Saya lebih baik berkawan dengan para pelacur, pencopet, daripada saya mengenal orang yang mengaku memahami Islam tetapi pembunuh.

No comments:

Post a Comment

Hikayat Seorang Santri Bodoh

Usiaku lima belas tahun waktu itu. Saat aku terbuang ke Madura. Ya, di sebuah pesantren Al-Amien inilah aku harus bersemedi. Tak tanggung...