Aku masih
mengingatnya, bu. Kalimat itu, tak mungkin aku lupa. Ya, sebaris kalimat yang
tak pernah bosan mengabsen dari bibirmu. Jujur saja, setiap kali nasehat tadi
meluncur, selalu saja aku berpikir mengapa kau tak pernah bosan mengatakannya
setiap hari. Sedangkan aku hanya mengangguk bahkan terkadang bak mendengar
angin lalu.
“Jangan sampai
sore. Nanti, kau mesti mengaji. Kasian kawan-kawanmu menunggu” Lanjutmu
kemudian.
Kini, aku sudah
dewasa, bu. Tak lagi kudengar kalimat tadi meluncur dari bibirmu. Ada perasaan
rindu mengingat kenangan di masa kecil. Rasa-rasanya, baru kemarin aku terlelap
dalam omelanmu setiap hari. Tak lain sebabnya, aku bermain sampai ke ujung
villa. Mengejar layangan, bermain sepeda sampai desa sebelah. Kau tau, bu.
Ingin sekali aku kembali ke masa lalu. Saat mengejar layangan yang putus lalu
menyangkut di dahan pepohonan lalu memanjatnya. Terang saja kau marah kalaulah
aku ketahuan. Bahkan, puluhan layangan yang kusimpan di bawah tempat tidur
sebab takut ketahuan, berhasil kau berikan pada saudaraku. Dan, kau hanya
menyisakan satu layangan.
Tetapi ibu, kini,
tatkala aku tak lagi mengejar layangan, ataupun bersepeda ke desa sebelah,
nasehatmu turut tak terdengar. Rupanya waktu mengantar kepada alam perubahan.
Ya, masa telah menemaniku menjadi sosok dewasa. Dan aku, ingin sekali mendengar
nasehatmu bahkan omelanmu seperti dulu.
Yaa, meski aku tak
sepaham engkau memahami hidup, tetapi harus kukatakan ini padamu, kalaulah
macam begini tabi’at hidup.
“Sebelum senja
datang menguningkan usia, cepatlah pulang”
Begitulah
nasehatmu; dulu
07 September 2015
No comments:
Post a Comment