Bagiku, bicara tentang pesantren takkan pernah
ada habisnya. Ia telah menjelma bak tetesan air yang sedikit demi sedikit
tercecer hingga akhirnya berhasil melubangi sebongkah batu. Ya, daku tak
bermaksud sombong atau melebihkan apa yang telah daku jalani selama Lima tahun.
Kau tau, kawan. Barangkali, saat ini adalah
waktu yang paling tepat tuk ceritakan mengenai salah satu masa dalam hidupku
yang dijalani di tanah rantau. Tak ada maksud tertentu. Hanya sebatas jemari
tangan yang gatal ingin menulis di dinding blog ini. Sebab, dengan cara inilah
terkadang muncul
pertanyaan dari dalam benak daku kepada Tuhan. Khususnya, mengenai takdir. Dan
inilah, asal muasal kisahku ini.
Selepas SMP, tepatnya saat daku menyibukkan
diri di sekolah dengan mengikuti les untuk masuk SMA, daku menerima kabar
jikalau Bumi Djauhari-lah tempat
daku menimba ilmu selanjutnya. Bukan di SMA favorit yang
menjadi impian daku dan kawan-kawan seperjuangan.
Awalnya, daku shock. Bagaimana mungkin seorang
manusia seperti daku menyantri dan itupun jauh dari tanah kelahiran. Ya, di
ujung timur Madura sana tempat perantauannya. Jujur saja, daku tak suka yang
berhubungan dengan pesantren. Seratus persen. Bagi daku, hidup akan terasa
hidup kalaulah menjalani kehidupan di luar sana bukan malah mendekam di dalam
pesantren.
Ya, pikiran daku sangatlah sempit kala itu.
Yang ada di dalam benak hanyalah anggapan mengenai sistem pesantren yang masih
ketinggalan dengan pendidikan di luar sana. Meski anggapan tersebut terbukti
salah di akhirnya.
Kau tau, kawan. Di malam daku menerima brosur
tempat daku menimba ilmu nantinya, daku tak bisa tidur. Pikiran daku melanglang
buana. Mosi tak percaya sempat pula daku lontarkan pada Tuhan. Rasanya, Tuhan
tak adil memberikan jalan hidup pada daku. Hidup yang berjalan susah, masih
ditambah menyantri pula. Ai, buruk tenan nasib daku ini.
Ada perasaan malu tatkala kawan-kawan di kelas
ataupun di angkot bertanya mengenai kebenaran keinginan daku untuk sekolah di
SMA favorit. Malu, sebab keinginan tersebut ternyata sebatas angin lalu saja.
Dan disaat daku mengatakan sebenarnya terkait pesantren, kawan-kawan daku tak
ada yang percaya. Sebagian heran. Sebagian kecil mensuport. Daku paham,
kalaulah mereka terheran dengan keputusan ini. Jangankan mereka, daku sendiri
bingung tak percaya dengan takdir yang akan dijalani.
Kau tau, manusia macamku ini, yang hobinya
main layangan setiap setiap siang ataupun bersepeda sampai ujung villa hingga
ibuku marah, tak bakal ada yang percaya kalaulah aku akan masuk ke pesantren.
Bagi mereka, kalau ada orang macamku ini masuk ke pesantren, artinya itu proses
agar daku inysaf. Karenanya, mendekam di dalam pesantren adalah jalan
satu-satunya. Lalu, apa bedanya daku dengan narapidana? Bukankah, mereka
mendekam di dalam penjara sebagai hukuman atas perbuatan yang mereka lalukan
sehingga mereka menjadi lebih baik saat kelar nantinya? Lalu, kesalahan apa
yang daku perbuat sampai-sampai daku harus mendekam di dalam pesantren? Alamak.
Nasib sudah buruk masih ditambah dengan anggapan yang buruk pula. Kian miris
jiwa daku ini. (bersambung)
No comments:
Post a Comment