Sunday 13 September 2015

Sekelumit Kisah Di Pesantren (Bagian Satu)



 Bagiku, bicara tentang pesantren takkan pernah ada habisnya. Ia telah menjelma bak tetesan air yang sedikit demi sedikit tercecer hingga akhirnya berhasil melubangi sebongkah batu. Ya, daku tak bermaksud sombong atau melebihkan apa yang telah daku jalani selama Lima tahun.

Kau tau, kawan. Barangkali, saat ini adalah waktu yang paling tepat tuk ceritakan mengenai salah satu masa dalam hidupku yang dijalani di tanah rantau. Tak ada maksud tertentu. Hanya sebatas jemari tangan yang gatal ingin menulis di dinding blog ini. Sebab, dengan cara inilah terkadang muncul pertanyaan dari dalam benak daku kepada Tuhan. Khususnya, mengenai takdir. Dan inilah, asal muasal kisahku ini.
Selepas SMP, tepatnya saat daku menyibukkan diri di sekolah dengan mengikuti les untuk masuk SMA, daku menerima kabar jikalau Bumi Djauhari-lah tempat daku menimba ilmu selanjutnya. Bukan di SMA favorit yang menjadi impian daku dan kawan-kawan seperjuangan. 

Awalnya, daku shock. Bagaimana mungkin seorang manusia seperti daku menyantri dan itupun jauh dari tanah kelahiran. Ya, di ujung timur Madura sana tempat perantauannya. Jujur saja, daku tak suka yang berhubungan dengan pesantren. Seratus persen. Bagi daku, hidup akan terasa hidup kalaulah menjalani kehidupan di luar sana bukan malah mendekam di dalam pesantren. 

Ya, pikiran daku sangatlah sempit kala itu. Yang ada di dalam benak hanyalah anggapan mengenai sistem pesantren yang masih ketinggalan dengan pendidikan di luar sana. Meski anggapan tersebut terbukti salah di akhirnya. 

Kau tau, kawan. Di malam daku menerima brosur tempat daku menimba ilmu nantinya, daku tak bisa tidur. Pikiran daku melanglang buana. Mosi tak percaya sempat pula daku lontarkan pada Tuhan. Rasanya, Tuhan tak adil memberikan jalan hidup pada daku. Hidup yang berjalan susah, masih ditambah menyantri pula. Ai, buruk tenan nasib daku ini.

Ada perasaan malu tatkala kawan-kawan di kelas ataupun di angkot bertanya mengenai kebenaran keinginan daku untuk sekolah di SMA favorit. Malu, sebab keinginan tersebut ternyata sebatas angin lalu saja. Dan disaat daku mengatakan sebenarnya terkait pesantren, kawan-kawan daku tak ada yang percaya. Sebagian heran. Sebagian kecil mensuport. Daku paham, kalaulah mereka terheran dengan keputusan ini. Jangankan mereka, daku sendiri bingung tak percaya dengan takdir yang akan dijalani. 

Kau tau, manusia macamku ini, yang hobinya main layangan setiap setiap siang ataupun bersepeda sampai ujung villa hingga ibuku marah, tak bakal ada yang percaya kalaulah aku akan masuk ke pesantren. Bagi mereka, kalau ada orang macamku ini masuk ke pesantren, artinya itu proses agar daku inysaf. Karenanya, mendekam di dalam pesantren adalah jalan satu-satunya. Lalu, apa bedanya daku dengan narapidana? Bukankah, mereka mendekam di dalam penjara sebagai hukuman atas perbuatan yang mereka lalukan sehingga mereka menjadi lebih baik saat kelar nantinya? Lalu, kesalahan apa yang daku perbuat sampai-sampai daku harus mendekam di dalam pesantren? Alamak. Nasib sudah buruk masih ditambah dengan anggapan yang buruk pula. Kian miris jiwa daku ini. (bersambung)

No comments:

Post a Comment

Hikayat Seorang Santri Bodoh

Usiaku lima belas tahun waktu itu. Saat aku terbuang ke Madura. Ya, di sebuah pesantren Al-Amien inilah aku harus bersemedi. Tak tanggung...