Tuesday 8 September 2015

Belajar Dari MU & NU





Masih ingatkah saat kau berceloteh panjang lebar saat kita masih berseragam yang sama? Kalaulah kau lupa tempatnya, kuberitahu di emperan qo’ah menghadap jalanan yang dilalui kendaraan. Kau tau, aku masih menyimpan ceritamu sampai sekarang. Apalagi kalau bukan mengenai Muhammadiyah yang sering kusingkat MU.
Jujur saja, aku bukan orang Muhammadiyah terlebih NU. Meski sedikit kuakui, kalangan masyarakat di sekitar rumah merupakan warga berbasis PKB tatkala pemilu datang -dan kau tau bukan, pendiri PKB tentu berhubung langsung dengan pendiri NU-. Ya, barangkali semacam euforia begitu. Tetapi bagiku, apalagi dalam hal pemilu, tentu akan memilih dan memilah bakal calon yang benar-benar sesuai nurani. Tanpa membawa embel-embel partai apa yang menyokongnya.
Ah, kembali lagi pada ceritamu. Jujur saja, saat kau bercerita kalaulah keluargamu berasal dari kalangan Muhammadiyah, kerongkonganku terasa tersekat. Bukan apa-apa, tetapi kembali kepada kalangan masyarakat yang turut membesarkanku sangatlah jarang anggotanya yang berasal dari Muhammadiyah bahkan bisa dikatakan tak ada satupun. Hanya, beberapa waktu ini kehadirannya beserta lembaganya turut meramaikan masyarakat sekitar rumah. Tetapi, tentu tak ada konflik. Kami saling menghargai.
Barangkali, kau akan bertanya, lantas kenapa diungkapkan kalau aku merasa tak apa? Jangan terburu-buru dulu menghakimi, kan kuceritakan semuanya. Seperti biasa, aku selalu jujur dan terbuka kepadamu, bukan?
Begini, aku yakin kau cukup paham kalalulah beberapa dekade yang lalu, keadaan dua organisasi ini sangatlah sentral meski sampai kini tetap sentral tetapi seakan-akan saling berseberang dan tak mau berpegangan tangan. Ya, ini bisa dilihat saat sidang isbat untuk menetapkan awal puasa maupun hari raya. Beruntunglah, saat pemerintahan presiden kita yang sekarang, penetapan awal puasa dan hari raya kemarin bisa serentak. Apalagi, sidangnya tertutup dan kedua organisasi tadi turut hadir. Semoga berlangsung terus ke depan. Amien.
Kau tau, kalaulah keadaan yang sangat memanas beberapa waktu lalu masih melekat pada masyarakat. Apalagi pada masyarakat di sekelilingku. Tak ada rasa benci memang. Apalagi rasa untuk saling memusuhi. Hanya saja tersemat perasaan ganjil tatkala telingaku mendengar. Entah mendengar tentang perbedaan prinsip ataupun cara meyakini.
Sungguh, ingin sekali kukatakan kepada mereka kalaulah perbedaan itu rahmat. Tak perlu dibuat ribet dan merasa paling benar sendiri. Tapi, kau taulah kalaulah aku hanya anak muda yang tak tau apa-apa. Oleh karenanya, saat kau bercerita mengenai silsilah keluargamu, aku belajar untuk memahami perbedaan.
Jujur saja, berat menerima pemikiran yang bertolak belakang dengan ajaran yang diyakini selama ini. Tetapi aku beruntung. Aku merasa beruntung sebab telah mengenalmu. Oleh sebab itu, aku belajar untuk memahami Muhammadiyah maupun NU. Sebab, sampai saat ini pun aku tidak pernah menasbihkan diri bahkan membai’atkan diri untuk menjadi kader keduanya.
Ya, aku ada untuk keduanya. Aku ingin berada untuk Indonesiaku tercinta. Aku ingin berada di dalam pelukan Islam yang rahmatan lil’alamien. Tanpa melihat organisasi yang memayungi. Tanpa melihat suku maupun agama yang dianut. Semuanya sama. Hanya tingkat keimanan dan ketaqwaan yang membedakannya.
Sekali lagi, aku beruntung mengenalmu. Sebab, semenjak itu aku belajar menemui KH. Ahmad Dahlan beserta KH. Hasyim Asy’ari. Meski aku tak pernah bertemu langsung dengan keduanya, tetapi aku bisa menemui pemikiran mereka dari balik buku dan tokoh-tokoh saat ini.
Harus kuakui, meski kedua organisasi ini berbeda dalam cara implementasi dakwahnya, tetapi orientasi keduanya tetaplah sama. Muhammadiyah bisa jadi lebih keras dalam mengaplikasikan fiqh disebabkan latar belakang penyebaran islam yang berada di Jogja waktu itu. Dimana banyak masyarakat yang menyembah berhala. Jadi, diperlukan sebuah pendekatan yang agak keras. Berbeda dengan NU yang notabene masyarakatnya lebih bisa dikompromi. Dimana, pendekatan yang digunakan NU lebih bernuansa tradisi lokal yang turut melekat pada masyarakat. Jadi, pendekatan yang digunakan KH. Hasyim Asy’ari lebih terasa damai sebab menyatu dnegan adat istiadat masyarakat. Pada hakekatnya, keduanya sama. Sama-sama menyebarkan dan menegakkan Islam dengan cara dan kebutuhan masing-masing.
Bukankah, kebutuhan makan manusia berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan tubuhnya? Begitu pula dengan cara dakwah keduanya.
Ya, itulah yang kutemui dari kedua organisasi besar di negeri kita. Jujur, aku menulis begini tanpa mengesampingkan organisasi yang lain. Tak mungkin aku seperti itu. Barangkali, sebab latar belakang yang kuceritakan di atas-lah mengapa aku mengambil judul begitu.
Terima kasih, darimu aku belajar memadukan perbedaan.


06 September 2015

No comments:

Post a Comment

Hikayat Seorang Santri Bodoh

Usiaku lima belas tahun waktu itu. Saat aku terbuang ke Madura. Ya, di sebuah pesantren Al-Amien inilah aku harus bersemedi. Tak tanggung...