Masih
ingatkah saat kau berceloteh panjang lebar saat kita masih berseragam yang
sama? Kalaulah kau lupa tempatnya, kuberitahu di emperan qo’ah menghadap
jalanan yang dilalui kendaraan. Kau tau, aku masih menyimpan ceritamu sampai
sekarang. Apalagi kalau bukan mengenai Muhammadiyah yang sering kusingkat MU.
Jujur
saja, aku bukan orang Muhammadiyah terlebih NU. Meski sedikit kuakui, kalangan
masyarakat di sekitar rumah merupakan warga berbasis PKB tatkala pemilu datang
-dan kau tau bukan, pendiri PKB tentu berhubung langsung dengan pendiri NU-.
Ya, barangkali semacam euforia begitu. Tetapi bagiku, apalagi dalam hal pemilu,
tentu akan memilih dan memilah bakal calon yang benar-benar sesuai nurani.
Tanpa membawa embel-embel partai apa yang menyokongnya.
Ah,
kembali lagi pada ceritamu. Jujur saja, saat kau bercerita kalaulah keluargamu
berasal dari kalangan Muhammadiyah, kerongkonganku terasa tersekat. Bukan
apa-apa, tetapi kembali kepada kalangan masyarakat yang turut membesarkanku
sangatlah jarang anggotanya yang berasal dari Muhammadiyah bahkan bisa
dikatakan tak ada satupun. Hanya, beberapa waktu ini kehadirannya beserta
lembaganya turut meramaikan masyarakat sekitar rumah. Tetapi, tentu tak ada
konflik. Kami saling menghargai.
Barangkali,
kau akan bertanya, lantas kenapa diungkapkan kalau aku merasa tak apa? Jangan
terburu-buru dulu menghakimi, kan kuceritakan semuanya. Seperti biasa, aku
selalu jujur dan terbuka kepadamu, bukan?
Begini,
aku yakin kau cukup paham kalalulah beberapa dekade yang lalu, keadaan dua
organisasi ini sangatlah sentral meski sampai kini tetap sentral tetapi
seakan-akan saling berseberang dan tak mau berpegangan tangan. Ya, ini bisa
dilihat saat sidang isbat untuk menetapkan awal puasa maupun hari raya.
Beruntunglah, saat pemerintahan presiden kita yang sekarang, penetapan awal
puasa dan hari raya kemarin bisa serentak. Apalagi, sidangnya tertutup dan
kedua organisasi tadi turut hadir. Semoga berlangsung terus ke depan. Amien.
Kau
tau, kalaulah keadaan yang sangat memanas beberapa waktu lalu masih melekat
pada masyarakat. Apalagi pada masyarakat di sekelilingku. Tak ada rasa benci
memang. Apalagi rasa untuk saling memusuhi. Hanya saja tersemat perasaan ganjil
tatkala telingaku mendengar. Entah mendengar tentang perbedaan prinsip ataupun
cara meyakini.
Sungguh,
ingin sekali kukatakan kepada mereka kalaulah perbedaan itu rahmat. Tak perlu
dibuat ribet dan merasa paling benar sendiri. Tapi, kau taulah kalaulah aku
hanya anak muda yang tak tau apa-apa. Oleh karenanya, saat kau bercerita
mengenai silsilah keluargamu, aku belajar untuk memahami perbedaan.
Jujur
saja, berat menerima pemikiran yang bertolak belakang dengan ajaran yang diyakini
selama ini. Tetapi aku beruntung. Aku merasa beruntung sebab telah mengenalmu.
Oleh sebab itu, aku belajar untuk memahami Muhammadiyah maupun NU. Sebab,
sampai saat ini pun aku tidak pernah menasbihkan diri bahkan membai’atkan diri
untuk menjadi kader keduanya.
Ya,
aku ada untuk keduanya. Aku ingin berada untuk Indonesiaku tercinta. Aku ingin
berada di dalam pelukan Islam yang rahmatan lil’alamien. Tanpa melihat
organisasi yang memayungi. Tanpa melihat suku maupun agama yang dianut.
Semuanya sama. Hanya tingkat keimanan dan ketaqwaan yang membedakannya.
Sekali
lagi, aku beruntung mengenalmu. Sebab, semenjak itu aku belajar menemui KH.
Ahmad Dahlan beserta KH. Hasyim Asy’ari. Meski aku tak pernah bertemu langsung
dengan keduanya, tetapi aku bisa menemui pemikiran mereka dari balik buku dan
tokoh-tokoh saat ini.
Harus
kuakui, meski kedua organisasi ini berbeda dalam cara implementasi dakwahnya,
tetapi orientasi keduanya tetaplah sama. Muhammadiyah bisa jadi lebih keras
dalam mengaplikasikan fiqh disebabkan latar belakang penyebaran islam yang
berada di Jogja waktu itu. Dimana banyak masyarakat yang menyembah berhala.
Jadi, diperlukan sebuah pendekatan yang agak keras. Berbeda dengan NU yang
notabene masyarakatnya lebih bisa dikompromi. Dimana, pendekatan yang digunakan
NU lebih bernuansa tradisi lokal yang turut melekat pada masyarakat. Jadi,
pendekatan yang digunakan KH. Hasyim Asy’ari lebih terasa damai sebab menyatu
dnegan adat istiadat masyarakat. Pada hakekatnya, keduanya sama. Sama-sama
menyebarkan dan menegakkan Islam dengan cara dan kebutuhan masing-masing.
Bukankah,
kebutuhan makan manusia berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan tubuhnya? Begitu
pula dengan cara dakwah keduanya.
Ya,
itulah yang kutemui dari kedua organisasi besar di negeri kita. Jujur, aku
menulis begini tanpa mengesampingkan organisasi yang lain. Tak mungkin aku
seperti itu. Barangkali, sebab latar belakang yang kuceritakan di atas-lah
mengapa aku mengambil judul begitu.
Terima
kasih, darimu aku belajar memadukan perbedaan.
06 September 2015
No comments:
Post a Comment